Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Benih yang mulai tumbuh
Hari-hari setelah malam pertama itu berjalan dengan damai. Tidak ada ucapan manis yang berlebihan, tidak ada kemewahan, namun kehangatan terasa mulai memenuhi sudut-sudut rumah kecil mereka.
Seminggu ini berjalan damai, Nara merasa begitu bebas dari tekanan dirumahnya dulu. Ada ketenangan yang melegakan detak jantung Nara yang biasa berpacu cepat karna sering menahan amarah.
Nara mulai merasakan bagaimana rumah itu perlahan-lahan menjadi tempat di mana hatinya merasa tentram. Bukan karena megahnya rumah atau perhiasan indah, tapi karena ada Rama yang diam-diam selalu berusaha hadir dengan cara yang sederhana.
Setiap pagi, Nara selalu bangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan. Namun, di beberapa kesempatan, ia justru mendapati Rama sudah berada di dapur lebih dulu. Seperti pagi itu, ketika aroma roti bakar memenuhi ruang makan. Nara turun dengan langkah pelan, dan di sana dilihatnya Rama tengah sibuk mempersiapkan sarapan.
“Kenapa nggak bangunin aku Mas?” tanya Nara, setengah malu, setengah terharu.
Rama menoleh sebentar, lalu mengangkat bahu kecil. “Biar kamu istirahat. Aku nggak mau kamu capek,” jawabnya singkat. Suaranya pelan tapi penuh makna.
Nara hanya tersenyum. Di hatinya, kata-kata itu terasa begitu manis. Bukan karena Rama pintar berkata-kata, tapi karena perhatian itu nyata. Bukan sekadar janji.
“Jadi gini rasanya hati yang diratukan.” Batin Nara merasa bahagia sepenuhnya.
Jika dibanding dengan mantan suaminya, sifat Rama sangat berbanding terbalik. Dulu Nara tak boleh sampai telat menyiapkan sarapan, setiap hari rumah harus bersih, dan tak boleh melanggar apa yang menurut suaminya tetapkan. Bisa dikatakan patriarki dalam rumah tangganya dulu.
Setelah sarapan, Rama selalu menyempatkan diri memeriksa Aiden yang masih tertidur. Ia membetulkan selimut Aiden, mengecup pipinya dengan penuh kasih. Nara sering berpura-pura sibuk di dapur hanya untuk mengamati pemandangan itu.
Hatinya menghangat, merasa semakin yakin bahwa kehadiran Rama dalam hidup mereka adalah takdir baik yang dikirimkan Tuhan untuknya dan Aiden.
Sebelum berangkat kerja, Rama selalu menghampiri Nara. Ia menggenggam tangan istrinya sebentar. Tidak ada kata-kata berlebihan. Hanya satu kalimat yang ia ucapkan setiap hari, “Aku berangkat dulu.” Namun genggaman hangat itu terasa seperti janji tak terucap bahwa ia akan selalu pulang, selalu kembali pada mereka.
“Iya, hati-hati dijalan dan nanti Mas Rama mau makan malam sama apa?” Tanya Nara memastikan keinginan suaminya, mau bagaimanapun Nara ingin menjadi istri yang baik.
Rama memutar tubuhnya kembali menghadap Nara, “apapun, semua masakan mu cocok dimulut ku.” Balas Rama, kemudian berlalu dari hadapan Nara.
Seperti ada ribuan kupu-kupu bertebaran dalam hati Nara, hal sesimpel itu tapi bisa mengukir senyum manis yang lama tak Nara dapatkan.
*
*
*
Siang ini saat Nara tengan menemani Aiden bermain, dering teleponnya berbunyi dan tertulis >Suamiku, tengah melakukan panggilan vidio.
“Lagi apa?” Tanya Rama begitu teleponnya tersambung.
“Menemani Aiden bermain.” Jawab Nara sambil mengubah tampilannya menjadi kamera belakang.
Terlihat disana Rama tengah istirahat makan siang, ada sepiring nasi didepannya.
Nara memperhatikan cara Rama mengajak Aiden mengobrol, mengalir dengan seru tanpa jelas apa yang mereka bahas dan bagaimana Aiden merespon dengan anggukan dan tawanya.
“Ini lebih indah, lebih indah dari apapun. Dia menerima anakku dengan ikhlasnya dan tak membedakan jika Aiden anak sambungnya.” tenang dan bahagia, begitu isi hati Nara hari-hari ini.
*
*
*
Malam itu, setelah Aiden terlelap, Nara duduk di beranda kecil rumah mereka. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Bulan menggantung penuh di langit, cahayanya melengkapi malam yang damai.
Nara memeluk kedua lututnya, matanya menerawang jauh. Ada damai yang mulai mengisi dadanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa rumah ini benar-benar rumah—tempat di mana hatinya berlabuh.
Tempat bernaung dan menuangkan ekspresi dengan bebasnya.
Langkah pelan Rama membuyarkan lamunannya. Lelaki itu datang membawa dua gelas teh hangat. Tanpa bicara, ia duduk di samping Nara, menyodorkan satu gelas padanya.
“Disini dingin, minumlah teh hangat itu agar sedikit menghangatkan.” Ucap Rama.
“Terima kasih Mas,” ucap Nara, menerima gelas itu.
“Sama-sama.”
Mereka duduk dalam diam, hanya ditemani suara malam. Hening itu justru terasa menenangkan. Lalu Rama berbisik, “Aku suka malam begini. Tenang. Sama seperti hatiku sekarang, sejak ada kamu dan Aiden di rumah ini.”
Nara menoleh pelan. Kata-kata itu sederhana, tapi menembus hatinya begitu dalam. Tak pernah ada pria yang berbicara sejujur dan setulus itu padanya sebelumnya.
“Aku juga, Aku merasa rumah ini hangat. Karena kamu.” balas Nara jujur.
Rama hanya tersenyum tipis, matanya menatap bulan, lalu menatap Nara. Tatapan itu begitu dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak mampu ia ucapkan dengan kata-kata.
“Kenapa kamu begitu menerima ku dan Aiden?” tanya Nara ingin mengetahui banyak tentang Rama.
“Aku melihatmu ada ketenangan.” Jawab Rama tanpa menoleh.
“Itu saja?” Tanya Nara lagi.
“Tidak ada manusia yang langsung jatuh cinta begitu baru saja berkenalan dan bertemu, tapi kita harus mencoba berjalan pasti cinta itu akan datang dengan sendirinya. Jadi semua harus dicoba.”
Nara menatap fokus wajah Rama yang baru saja mengeluarkan banyak kata dari mulutnya, jawabannya tak menyudutkan apapun, tapi ada harapan didalamnya.
*
*
*
Malam itu, ketika mereka kembali ke kamar, suasana terasa berbeda. Tidak ada lagi kecanggungan seperti malam pertama. Nara merasa lebih tenang, lebih siap membuka hatinya.
Rama duduk di tepi ranjang, menatap wajah Nara dengan lembut. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Nara pelan. “Aku ingin kamu merasa aman di sisiku, Nara…” bisiknya.
Nara tersenyum, hatinya bergetar. “Aku sudah merasa aman, Mas Rama…” jawabnya pelan.
Perlahan, jarak di antara mereka menghilang. Rama menggenggam wajah Nara, menatap matanya dalam-dalam. Lalu ia mengecup keningnya, lama, penuh kasih. Malam itu, untuk pertama kalinya, Nara benar-benar membuka hatinya sepenuhnya.
Sentuhan Rama lembut, tidak tergesa. Ia lebih banyak membelai rambut Nara, menatapnya, mencium pipinya dengan penuh kasih. Nara membalas dengan genggaman tangannya, membiarkan dirinya larut dalam pelukan hangat itu.
Malam itu, keintiman mereka bukan tentang hasrat semata. Malam itu adalah malam dua jiwa yang saling mendekap erat, menghapus luka lama, dan menanamkan benih kasih yang baru.
Dan sebelum mereka terlelap, Rama membisikkan kata-kata yang membuat Nara merasa sangat berarti, “Aku nggak sempurna, Nara… Tapi aku akan berusaha jadi tempat pulang untuk kamu dan Aiden.”
Nara menahan air matanya, tapi satu tetes jatuh juga. “Aku percaya itu, Mas… Aku percaya, aku pasrahkan hidup ku kali ini pada mu.”
*
*
*
Esoknya, Nara terbangun lebih dulu. Dilihatnya Rama masih terlelap, wajahnya tenang. Aiden pun masih tidur di ranjang kecilnya. Nara tersenyum sendiri, lalu turun untuk menyiapkan sarapan.
Hari-hari selanjutnya, Nara dan Rama mulai menemukan irama kebersamaan mereka. Kadang mereka duduk berdua di sore hari, menonton Aiden bermain di halaman. Kadang Rama membantu Nara membersihkan kebun, meski lebih sering mereka justru sibuk saling mencuri pandang dan tersenyum.
Kebahagiaan itu sederhana. Tidak selalu diwarnai kata-kata manis atau kejutan besar. Tapi perhatian kecil Rama—menyiapkan teh hangat, membenarkan selimut, atau sekadar mendengarkan Nara bercerita—cukup membuat Nara merasa bahwa ia tak lagi sendiri.
Nara belajar, cinta tidak harus selalu ramai dengan kata. Cinta bisa lahir dalam diam, dalam tatap mata yang dalam, dalam genggaman tangan yang tulus, dan dalam pelukan yang menenangkan.
Dan di dalam rumah sederhana itu, di bawah atap kecil yang mereka tempati bersama, cinta mereka tumbuh hari demi hari. Pelan. Tapi pasti.
*
*
*