NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4. Diantara Keheningan

...•••...

Ben merasa kesal dengan kesombongan Adipta, calon suami Hayaning, yang begitu lihai memanipulasi Pak Brata dan kakak-kakak Haya.

"F*ck!" Umpatnya kesal dalam redam.

Bahkan laporan Ben tentang Dipta yang ingin melakukan hal keruh nan kotor terhadap Hayaning secepat mungkin ditutupinya lebih dulu.

Ben tidak tertarik dengan persoalan politik, tetapi ia cukup paham dengan beberapa ilmu dunia itu. Dan ia amat cukup tahu bagaimana tipu daya sosok tikus got berdasi semacam Adipta.

Pria sombong yang menggaungkan namanya sebagai ketua partai elite yang cukup digaungkan di negara ini, demi menarik hati dan meyakinkan seorang bapak sekaligus ketua Jaksa Agung, untuk menjadikan dirinya bagian dari menantu keluarga Adhijokso.

"Bagaimana dengan putriku Ben, dia baik-baik saja kan?" Tanya Pak Brata yang duduk di kursi kebesarannya sementara Adipta duduk di kursi sisi kirinya dengan senyum licik yang dapat Ben tangkap dengan mudah.

Ben berdiri tegak di hadapan mereka, rahangnya mengeras, namun wajahnya tetap datar, seperti biasa. Ia tahu bagaimana menjaga emosi agar tidak terlihat oleh lawan, terlebih sosok seperti Adipta yang senang memprovokasi.

"Putri Bapak baik-baik saja, tak ada ancaman, saya akan pastikan itu," jawab Ben tegas, suaranya dingin dan penuh kendali.

Pak Brata mengangguk kecil, ia amat menyukai cara kerja Ben melindungi putrinya. Selama hampir tiga bulan ini Brata dapat melihat Hayaning enjoy dengan kehidupan nya, tidak seperti sebelumnya yang terlalu banyak diam.

"Terimakasih atas laporannya, kamu bisa kembali."

Ben menerima perintah itu lalu ia segera berbalik pergi dari sana, tentu saja ada kontak mata dengan pria bajingan nan berengsek si tikus got berdasi.

Ben tidak sebodoh itu. Ia sama sekali tidak peduli dengan kuasa yang dimiliki Adipta. Hanya saja, ada kekecewaan yang ia rasakan terhadap Hayaning—karena perempuan itu sendiri yang memintanya untuk diam dan tidak mengungkapkan apa pun tentang malam ketika ia hampir menjadi korban perlakuan keji calon suaminya sendiri.

Sebenarnya, urusan pribadi antara Hayaning dan Adipta bukanlah hal yang perlu ia pikirkan. Namun, keamanan dan keselamatan Hayaning adalah tanggung jawabnya. Dan itu saja sudah cukup menjadi alasan baginya untuk tidak tinggal diam.

•••

Ben kembali menjalankan tugasnya menjaga Haya yang saat itu sedang berada di Ruang Sonata, ruangan khusus di rumah keluarga Hayaning yang didesain untuk latihan musik.

Di tengah ruangan, sebuah piano grand hitam mengkilap berdiri megah, dan di depannya, Haya duduk dengan postur anggun. Jemari lentiknya menari di atas tuts piano, menciptakan melodi lembut yang memikat, sementara guru musiknya berdiri di samping, mengamati setiap gerakan tangan Haya dengan cermat.

Ben berdiri di dekat pintu, matanya waspada seperti biasa. Namun, telinganya tak bisa mengabaikan keindahan musik yang mengalir dari permainan Haya.

"Seperti biasa, Nona, kamu selalu melangkah maju dengan cepat," kata Arabela dalam bahasa Inggris dengan aksen Jerman yang khas.

Wanita berumur tiga puluh itu adalah guru piano pribadi Hayaning, didatangkan langsung oleh Brata dari Jerman untuk memastikan putrinya mendapatkan pendidikan musik terbaik.

"Terima kasih, Arabela," balas Haya dengan senyum tulus, juga dalam bahasa Inggris. "Tapi aku masih merasa bagian ini kurang sempurna." Jemarinya kembali menyentuh tuts piano, memainkan beberapa nada dengan hati-hati.

Arabela mengangguk kecil, matanya mengamati Haya dengan teliti. "Kesempurnaan tidak terjadi dalam semalam, Nona Haya. Tapi dedikasimu sangat mengesankan. Ayahmu pasti bangga."

Ben yang mendengar percakapan itu tetap diam, tetapi ada sedikit kilatan di matanya. Ia jarang melihat sisi ini dari Haya—sisi yang serius dan penuh dedikasi. Biasanya, Haya lebih sering memperlihatkan sifatnya yang manja atau penuh keluhan. Namun di sini, di hadapan piano dan gurunya, ia adalah sosok yang berbeda.

Saat melodi berhenti, Haya mendongak dan menatap kearah pintu yang terbuka, lalu ia kembali menatap guru piano nya. "Bela, apakah latihannya masih panjang?"

Bela tersenyum tipis, "Sudah selesai, Nona," jawab Arabela dengan nada lembut. "Hari ini nona bermain dengan baik. Tapi ingat, teruslah berlatih bagian dinamika. Itu akan membuat permainan nona lebih hidup."

Haya mengangguk kecil. "Terima kasih, Arabela. Aku akan mengingat itu."

Arabela merapikan lembaran musik ke dalam tasnya, lalu berpamitan dengan senyum khasnya.

"Kalau begitu, saya pamit, Nona. Sampai berjumpa Jumat esok."

"Sampai jumpa, Bela," balas Hayaning dengan ramah.

Bela melangkah keluar dari ruangan, namun perhatiannya langsung tertuju pada sosok pria tegap yang berdiri di dekat pintu. Wajahnya begitu menawan, dengan sorot mata tajam dan aura maskulin yang begitu kuat.

Sejak mulai bekerja sebagai guru piano Hayaning di Indonesia, kehidupannya hanya berputar di sekitar pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Sesekali ia memang bergaul dengan beberapa orang di kediaman Adhijokso, tetapi rasanya belum pernah ada sosok yang menarik perhatiannya seperti pria ini—pengawal pribadi tuan putri bungsu Adhijokso.

Bela berdehem pelan, mencoba mengendalikan diri, namun tetap saja tak bisa menahan tatapan matanya yang kembali mencuri pandang ke arahnya. Akhirnya, dengan percaya diri, ia melangkah pergi sambil menebar pesona.

Sementara itu, Ben yang tak peka dan memang tak peduli, hanya mengabaikan kehadiran perempuan itu sepenuhnya.

"Benji," panggil Haya dari dalam, "kemarilah, temani aku bermain piano." Serunya dengan wajah tersenyum lebar.

Ben masuk kedalam ruang musik itu, ia berdiri dibelakang Haya.

Hayaning menghela napas panjang, menatap tuts piano di depannya sebelum kembali berbicara. "Ayolah, Ben, jangan bersikap kaku seperti ini. Anggap saja aku temanmu, bukan sekadar 'nona' yang harus kamu jaga setiap saat."

Ben yang berdiri di belakangnya hanya mengangkat alis sedikit, namun tetap menjaga postur tegaknya.

"Tugas saya bukan untuk menjadi teman, Nona. Tugas saya adalah menjaga keselamatan nona Haya."

Haya memutar bola matanya dengan frustrasi, lalu menoleh untuk menatapnya langsung.

"Tapi kamu bisa melakukan keduanya, kan? Maksudku, kamu bisa bersikap santai sedikit, terutama saat kita hanya berdua di sini. Lagipula, aku ingin bermain piano untukmu."

Ben tampak sedikit terkejut dengan ucapan itu. "Kenapa Nona ingin bermain untuk saya?"

Haya yang kelepasan cepat-cepat mencari alasan. "Ah maksudku, aku ingin kamu mendengarkan hasil latihan ku tadi." Imbuhnya.

Ben menatapnya dengan mata yang sulit dibaca, lalu mengangguk kecil. "Kalau begitu, saya akan mendengarkan."

Ia melangkah ke sisi ruangan, bersandar pada dinding sambil melipat tangannya di depan dada.

Haya kembali menghadap piano, menarik napas panjang sebelum jemarinya mulai menekan tuts, menciptakan melodi lembut yang memenuhi ruangan.

Ben, meski tak menunjukkan banyak ekspresi, merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dalam alunan itu.

Namun, tiba-tiba musiknya berhenti di tengah jalan. Dahinya sedikit mengerut ketika melihat Haya menatapnya tajam.

"Kenapa berhenti, Nona?" tanyanya, bingung.

Haya memiringkan kepalanya sedikit. "Benji, aku ingin kamu duduk di sebelahku."

Ben mengangkat alis, sikapnya tetap kaku. "Itu tidak perlu, Nona. Saya di sini saja—"

"Ben," potong Haya, nada suaranya tak terbantahkan. "Ini perintah."

Ben menatapnya sejenak, sebelum menghela napas panjang dan akhirnya melangkah mendekat. Dengan sedikit ragu, ia menarik kursi di sebelah Haya dan duduk berdekatan dengannya.

Haya tersenyum kecil, puas karena akhirnya Ben menuruti permintaannya. "Begitu lebih baik," katanya, lalu kembali memainkan pianonya.

Ben tetap diam, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang melunak. Ia membiarkan dirinya menikmati melodi yang mengalun indah di sekeliling mereka.

Ketika lagu berakhir, nada terakhir menggantung di udara, berpadu dengan sinar matahari sore yang masuk melalui jendela besar, menyoroti mereka dalam cahaya keemasan.

Tanpa sadar, Haya menoleh ke arah Ben. Tatapan mereka bertemu—seolah waktu melambat. Tidak ada kata yang terucap, hanya keheningan yang berbicara.

Ben memiliki paras yang sempurna. Garis wajahnya tegas, rahangnya kokoh, dan matanya yang tajam berwarna cokelat tua seperti kayu mahoni yang baru dipoles. Rambutnya kecokelatan, memantulkan kilau hangat matahari. Sosoknya bagaikan lukisan hidup yang dirancang begitu sempurna.

Haya merasa seolah terseret ke dalam pusaran yang sulit ia mengerti. Ada sesuatu dalam kehadiran pria ini yang menimbulkan debar tak biasa di dadanya.

Keheningan yang menyelimuti mereka terasa begitu nyata, seperti simfoni tanpa nada yang tetap menggema.

Tiba-tiba, Haya tersadar. Pipinya terasa hangat.

"Benji," panggilnya lirih, hampir seperti bisikan. "Kamu sedang memikirkan apa?"

Ben menatapnya, tapi tidak segera menjawab. Sorot matanya lebih lembut dari biasanya, tetapi bibirnya tetap tertutup rapat. Hingga akhirnya, ia mengalihkan pandangan dan kembali pada sikap formalnya.

"Tidak ada, Nona." Jawabannya singkat dan padat. Walau yang sebenarnya ia tengah mengagumi wajah rupawan perempuan ini.

Haya tersenyum tipis, meskipun ada sedikit kekecewaan yang muncul di hatinya—perasaan yang bahkan tak ingin ia akui.

Benar, ia telah terikat dalam perjodohan. Ia seharusnya tidak membiarkan hatinya melambung untuk pria lain.

Namun, bukankah ironis? Ia yang dijodohkan dengan pria yang penuh tipu daya, kini justru merasa lebih aman di dekat seseorang yang seharusnya hanya menjadi pengawalnya.

Seharusnya... tidak apa-apa, kan?

"Oh," gumamnya pelan, sebelum akhirnya bangkit berdiri. "Kalau begitu, mari kita pergi sebelum hari semakin gelap."

Ben mengangguk singkat, lalu mengikuti Hayaning keluar dari ruangan, meninggalkan cahaya senja yang masih setia menyinari tempat itu.

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!