NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:693
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Di bawah terik matahari siang yang menyengat, jalan aspal dekat kantor kecamatan—tak jauh dari desa Wonosari—terlihat mengilap, seolah memantulkan panas yang tak henti menyergap. Ruas jalan lurus menuju Pondok Pesantren Bahrul Hayat hari itu dipadati keramaian. Suasana berubah menjadi semacam panggung terbuka yang ramai oleh suara dan gerak.

Truk-truk besar berderet, mengangkut perangkat sound system berdaya tinggi. Dari speaker-speaker raksasa, dentuman musik DJ terdengar nyaring, memenuhi udara dengan getaran ritmis yang kuat. Suara itu bergema di sepanjang jalan, memantul ke dinding rumah dan pohon-pohon di pinggir desa, membawa suasana pesta yang tak bisa diabaikan.

Getaran suara menjalar ke berbagai penjuru. Beberapa genting rumah warga terdengar berderak, ada yang lepas dan jatuh. Kaca jendela bergetar, bahkan beberapa retak karena tekanan suara yang tinggi. Burung-burung merpati yang biasa bertengger di pagupon beterbangan, mengepakkan sayapnya ke langit untuk menjauh dari keramaian.

Langit siang yang terang seolah ikut dipenuhi suara. Debu tipis terangkat dari tanah, berpadu dengan panas dan musik yang terus mengalir deras. Bagi sebagian orang, ini menjadi tontonan dan hiburan. Bagi yang lain, ini adalah ujian kesabaran terhadap bising yang tak bisa dikendalikan.

Di tengah kerumunan, orang-orang menari mengikuti irama. Anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa larut dalam alunan musik yang terus mengalun. Mereka bergerak bebas di bawah cahaya matahari yang menyilaukan, menjadikan jalan itu ruang sementara bagi ekspresi dan pelepasan.

Pawai ini bukan sekadar barisan kendaraan dan musik. Ia mencerminkan dinamika zaman—antara modernitas yang melaju cepat dan ruang sosial yang mencoba menyesuaikan. Tidak semua setuju, tapi semua merasakannya.

"Bajingan!" makian itu meledak dari mulut seorang warga, atap plafon rumahnya rontok disambar gemuruh suara—karena dentuman musik, dan denting nasib yang tak berani bersuara.

"Yang penting happy, Pakdhe!" sahut tetangganya sambil cekikikan, menyaksikan pawai riuh yang membelah siang bak ular berlampu sorot, meliuk-liuk di atas aspal yang menguapkan panas.

Lalu lintas tersendat. Asap knalpot dan peluh manusia bercampur dalam udara yang tak sabar. Arak-arakan sound horeg menggema dari ujung jalan, ditingkahi sorak dan tawa yang membuncah tanpa malu.

Anak-anak, remaja, bapak-bapak, emak-emak, bahkan para kakek renta yang kakinya gemetar ikut larut dalam lenggak-lenggok irama. Mereka menari tanpa beban, berjoget dengan jiwa yang lepas merdeka.

Barisan penari di depan tampak mencolok. Cewek-cewek jelita dengan kostum menggoda mata menjadi bintang yang tak peduli langit, menjadi ikon yang menari bukan hanya demi irama, tetapi demi tepuk tangan, demi sorot kamera, dan kadang demi rasa ingin dilihat dunia.

Dua, tiga, bahkan empat dancer berdiri di atas bak terbuka. Mereka melambai pada udara, menggoda pandang mata, sementara kampung berguncang—bukan karena dosa, tetapi karena gegap gempita yang tak lagi kenal batas rasa.

Acara meriah itu dihelat oleh Pondok Pesantren Bahrul Hayat dalam rangka hari jadi yang ke-enam puluh sembilan. Romo Yai, sosok kharismatik yang disegani, mengundang semua komunitas sound horeg dari berbagai pelosok Jawa Timur untuk ikut menyemarakkan momen bersejarah itu.

Sebagian besar warga menyambutnya dengan suka cita. Mereka menyulut lentera-lentera kecil dalam hati: pesta akan datang, rejeki mungkin ikut menghampiri. Namun, tak sedikit pula yang menyimpan ganjalan di dada.

“Apakah pantas,” gerutu Cak Sodikin, tetangga dekat Romo Yai, “seorang ulama panutan umat, malah nanggap orang joget-joget gak jelas di jalanan begitu?”

Seorang santri Romo Yai menanggapinya dengan tenang, walau suaranya sedikit bergetar.

“Jangan dilihat dari segi pantas atau tidak pantasnya, Cak. Tapi cobalah dilihat dari sisi manfaatnya.”

“Manfaat? Apa manfaatnya dari tontonan yang tidak mendidik? Yang ada malah merusak. Bukan cuma moral, tapi juga rumah warga!” sanggah Cak Sodikin, suaranya mulai meninggi.

Santri itu tak gentar. “Justru karena acara ini, orang-orang dari berbagai daerah berdatangan. Dan dari kedatangan mereka itulah, peluang ekonomi tumbuh. Warung ramai, pedagang tersenyum, para seniman bisa mengais rezeki.”

“Seniman katamu?” Cak Sodikin mengerutkan kening, nadanya sinis. “Mana ada seni di sana? Yang ada hanya tubuh-tubuh yang memamerkan aura birahi!”

“Tapi itu... demi agar mereka bisa makan, Cak...” suara si santri mulai melirih, seperti angin sore yang tak berani meniup daun.

Cak Sodikin pun makin kebakaran jenggot.

“Kalau demi makan saja harus mengorbankan nilai moral, itu namanya memalukan! Merusak! Tak sepadan dengan harga sebuah perut kenyang.”

Santri Romo Yai hanya bisa menunduk.

Namun Cak Sodikin belum selesai. “Lalu bagaimana dengan atap rumah saya yang rontok gara-gara getaran musik itu? Siapa yang akan tanggung jawab?!”

“Iya, Cak. Nanti akan diganti. Sampean tenang saja...” jawab si santri lirih, mencoba menenangkan.

Dengan langkah berat, Cak Sodikin kembali ke halaman rumahnya. Ia membenahi pot-pot bunga yang terguling akibat dentuman suara yang seperti gempa. Mulutnya berkomat-kamit, antara mengutuk dan menyayangkan.

“Bajingan... Terus saja kalian kejar kenikmatan materi... Tapi melupakan nilai-nilai seni, bahkan nilai-nilai Islami.”

Gerutunya tenggelam dalam gemuruh musik, seperti bisikan hati yang kalah oleh dentang dunia.

Panas terik matahari menggigit kulit, membakar wajah-wajah yang larut dalam arak-arakan. Ribuan pasang mata berjejal di pinggir jalan, berdesakan tanpa ragu, menyambut dentuman musik dan riuhnya kemeriahan. Mereka datang dari berbagai penjuru—tua muda, kaya miskin, anak-anak hingga orang lanjut usia—tumpah ruah, tumplek blek memenuhi ruas jalan dan halaman sekitar pesantren.

Di antara kerumunan, para pedagang asongan tak henti berseliweran. Ada yang menjajakan es mambo, cilok, telur gulung, hingga semangka potong dalam plastik bening—semua larut dalam pesta rakyat, yang sangat merakyat itu.

Arak-arakan semacam ini tak hanya digelar saat hari jadi Pondok Pesantren Bahrul Hayat. Tradisi ini juga marak diadakan saat bersih desa, bahkan lebih semarak kala peringatan hari kemerdekaan. Setiap kelompok peserta biasanya berasal dari satu RT atau satu komunitas. Mereka urunan uang—dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah—untuk menyewa sound horeg, kostum, dancer, bahkan mendatangkan artis lokal seperti sinden atau penyanyi dangdut kampung yang sudah punya nama di wilayahnya.

Malam mulai turun perlahan, tapi gegap gempita belum juga padam. Lampu sorot menari-nari di udara, asap panggung mengepul bak kabut perayaan. Tibalah giliran barisan peserta nomor dua puluh sembilan. Sebuah truk besar melaju perlahan, membawa sound horeg bertuliskan Barokah Audio—milik Arifin, menantu dari Kaji Mispan.

Truk itu mengusung dua belas subwoofer yang menggetarkan tanah. Di belakangnya, barisan emak-emak berkebaya ikut menari gemulai, wajah mereka berseri, seolah tak peduli usia yang telah menua. Mereka dipimpin oleh Asmarawati, sang sinden muda yang anggun. Suaranya melengking lirih, membelah malam dengan tembang-tembang Jawa yang dibalut irama modern. Ia menyanyikan lagu campursari dengan khidmat namun penuh semangat. Para penonton bersorak, sebagian ikut bergoyang, sementara dentuman bass dari Barokah Audio terus mengguncang dada.

Malam pun berubah menjadi perayaan—antara tradisi dan hiburan, antara kebanggaan dan kegelisahan.

"Saben wayah wengi, mikirna isi ati

Apa tenana tresna iki dadi siji

Manteb anggonku mikir

Ra ana sithik kuwatir

Tresna iki bakal apik keukir."

Dengan suara lembut yang mengalun seperti desir angin malam, dan paras secantik rembulan purnama di ujung musim panen, Asmara melangkah pelan di barisan paling depan. Sikapnya gandhes luwes. Gerak kakinya lemah gemulai, tubuhnya anggun menari dalam irama tembang yang ia lantunkan. Ia mengenakan kebaya Jawa berwarna kuning, yang memantulkan cahaya seperti cahaya emas di antara bayang malam. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi bunga melati yang menebar wangi tradisi. Jarik batik bermotif Garudhamukha khas Kediri melilit tubuh bagian bawahnya—hijau tua berlatar hitam, menyiratkan keanggunan dan kekuatan dalam diam.

Di samping barisan, Wiji berjalan sambil berpura-pura sibuk membantu kakak iparnya yang mengawasi sound system Barokah Audio. Ia mengenakan jaket jins biru pudar, wajahnya sedikit tertunduk, tapi matanya terus mengikuti langkah Asmarawati.

Sesekali Wiji menyodorkan botol air mineral kepada sang sinden, dengan tangan gemetar yang ia tutupi dengan senyum canggung. Kadang, saat jalanan berlubang dan tak rata, ia menggandeng tangan Asmarawati, menuntun langkahnya agar tak terperosok atau jatuh jengkelangan. Sentuhan itu tak lebih dari sekilas, tapi cukup membuat jantung mereka berdetak lebih cepat dari dentuman subwoofer yang mengguncang malam.

Sejak siang hingga petang berganti malam, Wiji setia menemani dan mengawal Asmarawati. Sukarela, riang gembira, tanpa pamrih. Dan Asmarawati pun, di balik senyumnya yang tenang, merasakan kehadiran seseorang yang menjaganya. Dengan hati yang lebih tenang, ia melanjutkan nyanyiannya—tembang demi tembang, mengalun seiring detak yang tak lagi hanya berasal dari irama musik, tetapi juga dari dada yang diam-diam berbunga.

"Yakin-yakina, yakin aku tenanan

Sumpahe janji iluhku netes tenan

Kurang-kurange kurangku sepurane

Cen anane ngene."

Hingga lewat tengah malam, arak-arakan itu belum juga usai. Hiruk-pikuknya masih membakar jalanan, hingga panitia memutuskan untuk melanjutkannya sampai fajar menyingsing. Barisan itu menempuh jalur sepanjang empat kilometer, dimulai dari dekat kantor kecamatan, lalu melaju ke arah barat, menyusuri deretan kios di Pasar Legi, hingga mencapai garis akhir di depan gerbang megah Pondok Pesantren Bahrul Hayat.

Sepanjang jalan itu dijejali lautan manusia. Ribuan penonton tumplek blek, datang dari berbagai penjuru Jawa Timur, bahkan ada pula yang menempuh perjalanan dari luar provinsi. Mereka rela berdiri berjam-jam demi menyaksikan kemeriahan yang hanya ada setahun sekali itu. Para pemburu konten pun turut menyemarakkan suasana—kamera digenggam erat, lampu kilat menyala-nyala, mereka mondar-mandir ngalor-ngidul, ngulon-ngétan, memburu sudut-sudut paling dramatis dari deretan truk yang sarat dengan tumpukan boks triplek nan menjulang.

Di bawah tembakan sorot lampu beam berwarna-warni yang menari-nari di langit malam, kerumunan itu terus bergelora. Cahaya tajamnya kadang menantang cakrawala, membelah langit seperti kilatan petir sunyi. Kilauannya bahkan tampak dari puluhan kilometer jauhnya, seolah mengabarkan pada semesta: ada pesta di sini, malam ini. Sementara itu, dentuman dari sound horeg menggema hebat, mengguncang udara hingga ke pelosok desa. Suara bass-nya merambat hingga kiloan meter, menggulung malam dengan gegap gempita yang tak henti-henti.

Di belakang rombongan barisan emak-emak yang dipimpin Asmarawati, tampak rombongan anak-anak muda bersemangat membuntuti. Barisan itu dipimpin oleh Lela—si ratu pemersatu bangsa, julukan yang melekat padanya berkat goyangannya yang menjadi idaman para pria di setiap gelaran sound horeg.

Dengan percaya diri, Lela menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama DJ yang memekakkan telinga. Musik berdentum-dentum membelah malam, dan tubuh Lela bergelombang laksana ombak di tengah samudra pesta. Peluh mengucur deras di pelipisnya, namun tak menyurutkan semangatnya.

"Tarik, Mas!… Enyoh!… Enyoh!" serunya genit, diiringi gaya tubuh yang lentur dan gemulai—namun liar. Setiap lenggokan seolah memanaskan malam yang sudah gila sejak tadi.

Di tepi jalan, seorang lelaki duduk bersila, matanya tak lepas dari sosok Lela yang semakin menjadi-jadi. Wajahnya terpaku pada goyangan Lela yang menggoda, pinggulnya bak bulan purnama… yang retak di tengah.

"Awas katese ceblok!" celetuknya dengan tawa geli, sambil tak henti mengusap keringat dan menelan ludah.

"Ahai… semlohai…" gumamnya lirih, seolah sedang memandangi karya seni yang menggetarkan iman.

Suasana gegap gempita itu berlangsung hingga fajar menyingsing. Para peserta dan penonton bertahan — dari pagi, bergelora sampai pagi lagi. Tak sedikit yang bermalam di trotoar, duduk di atas tikar seadanya, ditemani kopi sachet dan obrolan ngalor-ngidul yang tak ada ujungnya.

Begitu acara rampung, Romo Yai naik ke atas podium sederhana yang berdiri tak jauh dari garis finish. Ia mengenakan baju batik, sarung hitam kotak-kotak, dan peci hitam. Dengan suara lantang dan senyum khasnya, ia mulai berpidato:

“Alhamdulillah… acara ini berjalan dengan lancar, aman, dan penuh berkah,” ucapnya, disambut tepuk tangan meriah.

“Acara ini bukan semata-mata untuk memperingati hari lahir Pondok Bahrul Hayat, tetapi juga sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Karena membahagiakan umat itu hukumnya sunah!” lanjut beliau, sambil mengangkat tangan.

Para penonton mengangguk-angguk setuju.

“Dan inshaAllah… ini adalah festival horeg terbesar di negeri ini!” serunya bangga. “Orang-orang dari berbagai daerah datang, berkumpul di sini. Dan alhamdulillah, mereka ikut menghidupi roda ekonomi warga sekitar. Warung-warung laris, tukang parkir sumringah, penjual cilok mendadak tajir!”

Tawa pun pecah.

“Melihat manfaat yang luar biasa itu…” Romo Yai berhenti sejenak, menarik napas dalam. “Maka, inshaAllah... TAHUN DEPAN BAHRUL HAYAT HOREG LAGI!”

Seketika, tepuk tangan bergemuruh memenuhi udara. Penonton dan peserta serempak berseru,

“Hidup Romo Yai! Hidup Romo Yai!”

Namun dari arah belakang rumah, terdengar satu suara parau menyahut— “Hidup tai!”

Ternyata itu suara Cak Sodikin, yang belum tidur semalaman karena rumahnya bergetar akibat dentuman bass.

“Aku ki ora iso turuuuk, jare festival... jebul kerusuhan swara!” gerutunya sambil menutup kuping dengan bantal.

Siang harinya, ketika sisa gegap gempita mulai meredup, puluhan petugas kebersihan mulai berdatangan. Mereka menyebar menyusuri jalan sepanjang empat kilometer yang semalam dipenuhi riuh pesta. Sampah plastik, botol air mineral, puntung rokok, dan sisa-sisa hura-hura berserakan di mana-mana.

Mayoritas dari mereka adalah sukarelawan—datang dari berbagai komunitas, tanpa disuruh, tanpa dibayar. Di bawah terik mentari yang menyengat kulit, mereka menyapu dengan hati yang tulus. Tak ada panggung, tak ada sorotan kamera. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan debu jalanan.

Suasana pun berubah drastis. Dari gegap gempita menjadi gerutuan. Dari dentuman musik menjadi desahan keluh kesah warga. Sebagian masyarakat merasa bangga, sebagian lainnya mulai ngersulo—mengeluh dengan suara lirih yang kadang menyayat, kadang menggelitik.

“Luar biasa ya, di tempat kita bisa ada acara sebesar dan semegah ini!” kata Rian, ketua karang taruna setempat, dengan mata berbinar. “Tahun depan kalau bisa dibuat lebih gede lagi. Kita sewa sound yang lebih glerrr! Biar orang tahu siapa kita!”

Belum sempat yang lain menyahut, terdengar suara menyambar dari arah samping rumah,

“Glerrr matamu itu!”

Ternyata Cak Sodikin muncul entah dari mana, lengkap dengan sarung batiknya dan raut muka masam.

“Kamu ini mau menjadikan kampung kita seperti kawah Gunung Kelud? Glar-glerr glar-glerr, merusak bangunan di sekitarnya?” semprot Cak Sodikin.

Rian yang tak menyangka disergah begitu mendadak, melongo sejenak. “Lho, kenapa sih, Cak? Sensitif amat sampean ini!”

“Bagaimana aku ndak sensitif, to! Lihat itu!” Ia menunjuk ke arah rumahnya yang atap seng-nya menganga. “Atap rumahku rontok gara-gara sound horegmu itu. Ndak bisa tidur semalam suntuk!”

“Tapi kan sudah diganti rugi, Cak,” ucap Rian mencoba menenangkan.

“Iya, memang sudah diganti. Tapi jangan mentang-mentang kamu bisa ganti rugi, lantas bisa bertindak seenaknya! Itu namanya bukan tanggung jawab, tapi kesombongan!” tegur Cak Sodikin tajam. Lalu tanpa menunggu jawaban, ia berbalik pergi, sandal jepitnya bersuara keras di aspal panas.

Rian hanya bisa berdiri bengong, lalu menggumam pelan, “Karepmulah, Cak…”

Berikut versi naratif penutup dengan nuansa filosofis, menyentuh makna yang lebih dalam tentang peristiwa sosial, pesta, dan kehidupan bersama:

Segala yang ramai pasti akan hening pada waktunya. Segala sorak pun akan reda, dan yang tertinggal hanyalah jejak: sampah di jalan, debu di udara, dan barangkali juga luka kecil di hati yang tak terdengar.

Festival hanyalah sebuah momentum—puncak dari hasrat manusia untuk berkumpul, menari, tertawa, dan merasa hidup. Tapi kehidupan sejati tak berlangsung di puncak. Ia berjalan pelan-pelan di lereng yang sepi, di sela-sela suara yang tak terdengar, di rumah-rumah yang tetap berdiri setelah pesta usai.

Kita sering memaknai kebesaran dari jumlah orang yang hadir, dari kemegahan sound horeg di jalan raya. dan dari kerasnya dentuman suara. Namun sesungguhnya, ukuran sejati dari sebuah peristiwa adalah bagaimana ia dikenang oleh mereka yang terdampak—bukan hanya oleh mereka yang menikmati.

Apakah pesta itu meninggalkan kebaikan? Ataukah hanya meninggalkan lelah dan reruntuhan? Apakah ia menyatukan, atau malah memisahkan yang diam-diam mulai jengah?

Dalam hidup bersama, kebisingan bisa jadi tanda keberanian. Tapi keheningan adalah tempat lahirnya kebijaksanaan. Dan masyarakat yang dewasa bukan yang paling ramai berpesta, melainkan yang tahu kapan berhenti, kapan mendengarkan, dan kapan mengulurkan tangan kepada mereka yang terduduk di pinggir jalan.

Sebab sebesar apapun gegap gempita, ia akan berakhir. Tapi kebaikan—meski kecil, meski sunyi—ia abadi dalam ingatan yang paling dalam.

Maka jika tahun depan Bahrul Hayat akan horeg lagi, semoga bukan hanya suaranya yang besar. Tapi juga kesadaran Romo Yai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!