Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Siang itu, Desa Sumbergondo benar-benar hidup.
Langit membentang biru pucat. Matahari menggantung tinggi, seakan enggan bergeser. Panasnya turun menindih lapangan yang kering, membakar tanah, membungkus tubuh-tubuh yang berkeringat. Tapi tak ada yang mengeluh. Justru senyum menghiasi wajah-wajah yang berkumpul di sana—sejak pagi mereka sudah gotong royong, menyiapkan segala sesuatunya untuk Bersih Desa.
Bendera merah putih kecil tertancap di sudut-sudut lapangan. Janur kuning dipasang di pagar dan pohon-pohon, melambai pelan diterpa angin kering. Umbul-umbul bergaris merah-hijau-biru menari di sepanjang jalan menuju panggung. Anak-anak berlarian membawa balon, es mambo, dan sandal jepit yang sudah aus. Ibu-ibu duduk berkelompok di atas tikar, berkipas dari potongan kardus bekas mie instan. Bapak-bapak berdiri merapat di bawah pohon trembesi dan lamtoro, membicarakan panen, harga pupuk, dan rencana siskamling malam nanti.
Di atas panggung kayu, sebelum musik campursari dimulai,
Pak Lurah berdiri tegap. Pakai baju batik cokelat muda lengkap dengan peci hitam dan lencana kecil di saku kirinya. Suara sound system yang serak-serak basah memperkuat gema pidatonya, walau sesekali tersendat karena kabel yang longgar.
“Saudara-saudara… warga Desa Sumbergondo yang saya banggakan. Hari ini kita kembali diberi kesempatan oleh Gusti Allah untuk nguri-uri tradisi warisan leluhur kita: Bersih Desa. Ini bukan sekadar ritual. Ini wujud rasa syukur. Rasa terima kasih kita kepada bumi yang memberi makan, kepada sawah yang setia meski kemarau panjang, dan kepada gotong royong yang menyatukan kita…”
Tepuk tangan bergema. Beberapa anak muda bersiul pelan dari kejauhan, tapi tetap dengan hormat.
“Mari kita terus jaga desa ini. Jangan hanya waktu hajatan ramai, tapi juga di hari-hari sepi. Mari guyub rukun, bantu tetangga, dan jaga tradisi. Karena kalau kita kehilangan adat… kita kehilangan arah!”
Sorak kecil muncul dari pinggir lapangan. Ibu-ibu angguk-angguk setuju.
Selesai pidato, Pak Lurah menyalami para tokoh masyarakat, lalu duduk di kursi plastik biru di depan panggung. Seorang remaja desa menyuguhkan teh botol dan potongan ketela rebus di piring plastik.
Tak lama, acara hiburan dimulai.
Campursari mengalun. Pemain kendang mulai menepuk pelan. Gamelan ditabuh, suling ditiup lirih. Seorang MC desa berteriak penuh semangat:
“Sugeng siang, warga Sumbergondo! Mari kita sambut… sinden kita yang ayu lan berbakat… ASMARAWATI!”
Dan dari balik panggung, gadis itu muncul.
Langkahnya pelan, wajahnya tenang. Tapi begitu berdiri di depan mikrofon, semua mata terpusat padanya. Suasana yang semula ramai mendadak hening sesaat—seperti ada yang menggantung di udara.
Lalu musik dimulai. Lagu “Kelinci Ucul” berkumandang. Di antara kerumunan, Wiji berdiri diam. Hanya menatap. Di tangan kanannya, dua es lilin mulai mencair. Di hatinya, sesuatu mulai tumbuh—pelan-pelan, tapi tak bisa dihentikan.
"Ngubengi kutho, sak teruse
Ning ndeso-ndeso
Mergo aku anggolek'i sing tak tresnani
Klinciku ucul
Lungo meng ngetan, Suroboyo
Terus nyang Bali
Meng ngulon lungo ning Bandung, ora ketemu
Terus aku ning Jakarta
Jebul ora ketemu
Aduh, klinciku, ojo mbedo aku
Terus bali ning Semarang
Klinciku wus ono kandang
Lha, jebulane grusa-grusu
Keburu nafsu
Wekasane montang-manting, ragate akeh
Aku dhewe sing kebanting"
Mereka sempat bertatapan. Cuma sebentar. Tapi cukup untuk membuat dada Wiji panas bukan karena matahari, tapi karena degup jantung yang tak bisa ditenangkan.
Saat lagu usai, Asmarawati turun ke belakang panggung. Wiji menyelinap mendekat. Ia menyodorkan air dan es lilin yang mulai mencair.
“Asmara… ini. Biar segar.”
Asmarawati menerimanya. Pipinya masih kemerahan karena panas. Tapi senyumnya tetap meneduhkan.
“Makasih, Mas. Pas banget.”
“Kamu cantik banget hari ini,” ucap Wiji tanpa berpikir panjang.
Asmarawati terdiam sejenak, lalu menunduk sambil terkikik kecil.
Setelah memberikan es lilin dan air mineral tadi, Wiji tidak langsung pergi.
“Asmara, nanti kalau udah selesai nyanyi, aku nunggu di sana ya,” katanya sambil menunjuk ke bawah pohon nangka di pinggir lapangan.
Asmarawati hanya mengangguk, lalu kembali ke belakang panggung bersiap untuk naik lagi.
Wiji pun mundur, mencari tempat teduh. Ia duduk di atas akar besar pohon, membiarkan punggungnya bersandar ke batang. Dari sana, ia bisa melihat panggung dengan cukup jelas—tanpa harus berdesakan, tanpa harus terlihat mencolok.
Ia tidak sedang “mengintip” dari kejauhan. Ia mengamati, menyimpan setiap detik dalam ingatannya.
Gerak tangan Asmarawati saat menggoyang selendang hijau tua di bahunya. Sinar kebaya kuningnya yang menyala diterpa matahari. Dan motif Garudhamukha di jariknya—gagah tapi tetap anggun, seperti kepribadiannya.
Dari balik kerumunan, Wiji berkata dalam hati:
“Kamu memang milik panggung, Asma. Tapi aku tetap merasa seperti satu-satunya penontonmu sore ini.”
Orang-orang bertepuk tangan, sebagian bersorak sambil berjoget. Tapi Wiji tetap diam. Menunggu. Menyimpan senyum. Menjaga jarak. Bukan karena ragu—tapi karena tahu, setelah ini… akan ada waktu untuk bicara lebih dalam, di bawah pohon itu, ketika suara gamelan berhenti dan hari mulai meredup.
Sore turun perlahan. Langit menghamparkan cahaya tembaga, sementara angin dari arah sawah membawa aroma daun pisang yang basah. Suara gamelan masih menggema samar dari balai desa, pelan-pelan menyatu dengan lengang jalanan yang mulai senyap.
Di sudut pelataran, Wiji berdiri di samping motornya—GL-MAX.
“Nok” ucapnya pelan, “ayo tak antar pulang.”
Asmarawati melangkah mendekat. Selendang hijau tuanya dilipat rapi, dan wajahnya menunduk sedikit saat naik ke jok belakang. Tangannya tak menyentuh Wiji, hanya menggenggam ujung selendangnya erat. Tapi dari caranya duduk, dari cara ia menarik napas… terasa jelas: ada degup yang tak bisa disembunyikan.
Wiji memutar kunci. Suara mesin GL-MAX itu menyala lembut, dalam, dan percaya diri. Tidak berisik, tapi cukup untuk membuat hati siapa pun yang paham, menoleh kagum.
Mereka melaju—di jalan sempit berdebu yang kini terasa seperti lorong waktu. Di kiri-kanan, ilalang bergoyang. Di kejauhan, burung-burung kecil beterbangan mencari ranting pulang.
Asmarawati diam, matanya mengikuti bayangan mereka di aspal yang memanjang. Sementara Wiji, dari kaca spion, sesekali melirik. Ingin bicara, tapi memilih membiarkan angin yang menyampaikan semuanya.
Sampai akhirnya motor itu berhenti di depan rumah bercat kuning di RT 19. Lampu gantung di teras menyala, dan pohon sawo di pojokan melemparkan bayang yang akrab.
“Nok,” ujar Wiji pelan.
Asmarawati turun, menoleh, dan tersenyum. “Matur nuwun, Mas…”
Wiji hanya mengangguk. Tapi dalam anggukan itu, ada sesuatu yang dalam—sesuatu yang tak pernah dia ucapkan sejak pertama kali mengenalnya.
Ia menunggu sampai pintu kayu itu tertutup, lalu kembali menghidupkan motornya. GL-MAX itu melaju lagi, membelah senja yang sudah hampir habis, menuju rumahnya di RT 12, di ujung jalan yang sama.
Malam mulai menetes perlahan di langit Wonosari. Angin dari arah barat membawa bau jerami basah dan suara kodok sawah yang bersahut-sahutan di kejauhan. Di ujung jalan RT 12, lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu. Beberapa anak kecil masih bermain petak umpet, teriak-teriak lalu tertawa lepas, sebelum suara ibu mereka memanggil dari dalam.
Di teras rumahnya yang sederhana, Wiji duduk menyandar pada tiang kayu. Satu kaki selonjor, satu lagi dilipat. GL-MAX-nya sudah terparkir rapi di samping rumah. Tapi jantungnya masih seperti belum benar-benar berhenti melaju.
Di depannya, malam begitu lapang. Tapi pikirannya sempit—penuh oleh satu nama, satu senyum, satu suara: Asmarawati.
Ia memegang segelas teh hangat yang sudah tak terlalu hangat. Diminumnya seteguk, lalu pandangannya kembali kosong, mengarah ke gelap yang menggantung di langit-langit langgar kecil sebelah rumah. Lamunan Wiji seperti benang panjang yang tak tahu ujungnya di mana.
Suaranya masih terngiang. Ia menghela napas, pelan. Lalu meletakkan gelas di lantai, mengambil ponselnya yang tergeletak di sebelah lampu minyak kecil. Sempat ingin mengetik sesuatu. Tapi jari-jarinya diam. Ia hanya menatap layar, lalu tersenyum sendiri. Ia tahu, tak semua rasa harus langsung diucapkan. Ada yang lebih indah jika dibiarkan tumbuh perlahan—seperti bunga kenanga di halaman, yang baru membuka kelopaknya saat malam benar-benar hening.
Lalu ia menengadah ke langit. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu. Dan di antara gemerlap itu, ada satu yang seolah lebih terang dari yang lain.
Tanpa sadar, ia berbisik lirih…
“Asmarawati…”
“Wiji…”
Suara itu memecah senyap malam. Wiji menoleh cepat. Dari balik pintu, Ruqayah muncul sambil membenahi kerudung tipis di bahunya. Langkahnya pelan, tapi tegas, seperti selalu. Di tangannya ada gelas air putih dan sapu lidi kecil untuk menghalau nyamuk.
“Kowe kok durung mlebu? Wis adzan isya lho, Le.”
Wiji tersenyum kecil. “Nggih, Bu… bentar. Angin enak, adem.”
Bu Ruqayah duduk di sisi lincak, mengibaskan sapu lidi ke arah kakinya. Tak langsung bicara, hanya menatap langit sebentar, lalu menghela napas.
“Dari mana tadi?”
Wiji menoleh sejenak, lalu menjawab ringan, “Tadi ke rumah Tejo, Bu. Bantuin ngangkat kandang ayamnya yang baru.”
Jawabannya tenang, wajar, tak tergesa. Nama Tejo, sahabat dekatnya, cukup kuat untuk dijadikan tameng yang tak dicurigai.
Suara jangkrik makin nyaring. Ruqayah menatap anaknya sesaat. Matanya lembut, tapi tajam. Lalu ia berdiri, menyeka debu dari mukenanya. Lalu Ruqayah melangkah masuk lagi. Tak ada tanya lebih jauh.
Wiji menghela napas pelan. Setelah ibunya masuk, ia pun berdiri, membawa gelas tehnya. Lampu gantung di teras depan berpendar hangat, memantul di dinding semen acian halus yang dicat warna krem muda. Pilar-pilar depan rumah itu kokoh, lantainya keramik mengilap, tampak licin oleh cahaya lampu.
Ia melangkah masuk ke ruang tengah—ruangan luas dengan ubin putih mengilap dan kursi tamu dari kayu jati ukir. Di sudut, televisi layar datar 21 inci menyala, volumenya cukup keras, memutar sinetron unggulan jam delapan malam: Cinta Fitri di SCTV.
Di depan televisi, Halimah, kakaknya, duduk santai di sofa empuk, mengenakan daster biru muda. Sebelah tangannya memeluk bantal.
Di layar, Fitri sedang menangis di depan rumah sakit, sementara Farrel tampak pergi begitu saja.
“Ya Allah, kasian Fitri… lha wong sabarnya kok ora entek-entek!” keluh Halimah, matanya nyaris berkaca.
Wiji tersenyum kecil, meletakkan gelas teh di atas meja kaca dengan taplak renda.
“Halah, nonton sinetron kok sampe mbrebes mili…” godanya.
Halimah menoleh setengah, matanya masih menatap layar. “Ssst! Jangan ganggu!”
Wiji duduk di kursi samping, menyandarkan punggungnya. Meski tampak santai, pikirannya tidak di ruang itu. Ia masih memutar kembali perasaan saat tangan Asmarawati menggenggam erat selendangnya di atas jok GL-MAX yang melaju pelan menyusuri jalan desa.
Dari arah dapur yang luas dan bersih, terdengar suara Ruqayah mengaji, suaranya lembut dan bergetar syahdu, mengisi rumah besar itu dengan ketenangan yang familiar.
Wiji menarik napas, lalu mengambil ponselnya dari saku celana.
Ia membuka inbox. Di urutan paling atas, nama yang akhir-akhir ini selalu muncul: Asmarawati.
Belum ada pesan baru. Tapi ia tetap menatap layar itu lama, seperti berharap namanya akan muncul tiba-tiba.
Lalu, dengan hati-hati, ia mengetik:
“Dek…”
Tapi belum sempat dikirim, ia terdiam.
Kadang, rasa rindu tak perlu buru-buru dikabarkan. Cukup duduk tenang di antara ubin dingin, suara sinetron, dan lantunan ayat suci—sembari membiarkan malam bekerja pada hatinya sendiri.
Ia menatap kosong… memikirkan senyuman itu—senyuman yang tadi ia lihat ketika selendang hijau tua itu turun pelan dari pundak Asmarawati.
Tiba-tiba…
"Mengapa yang lain bisa
Mendua dengan mudahnya
Namun kita terbelenggu
Dalam ikatan tanpa cinta"
Sinetron Cinta Fitri telah selesai, lagu penutup menyeruak dari televisi di pojok ruangan.
Lagu itu memecah malam seperti kenangan yang datang tanpa aba-aba. Gema vokal sendu, melodi sederhana, tapi menyayat perlahan—mengalir masuk ke dada Wiji, seperti air yang menyusup ke celah hati yang belum sempat tertutup rapat.
"Atas nama cinta
Hati ini tak mungkin terbagi
Sampai nanti bila aku mati
Cinta ini hanya untuk engkau
Atas nama cinta
Kurelakan jalanku merana
Asal engkau akhirnya denganku
Ku bersumpah atas nama cinta"