Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7.Rasa Bersalah yang Membara
Langkahku terasa kosong ketika aku tiba di ambang pintu apartemen. Hari belum benar-benar pagi, tapi langit tak lagi kelam. Jakarta mulai bernapas perlahan—suara klakson jauh, denting sendok dari warung seberang, dan angin yang tak membawa aroma apa-apa. Tapi di dalam dadaku, badai belum reda.
Pintu terbuka dengan satu dorongan pelan. Tidak terkunci. Kalea tak pernah mengunci pintu saat aku pergi malam-malam begini. Dulu kami sepakat itu sebagai tanda kepercayaan. Tapi malam ini, pintu yang terbuka lebar justru terasa seperti cermin luka—seolah dunia tahu aku sudah melanggar.
Aku melangkah masuk. Aroma ruangan masih sama: sisa parfum murah, mi instan yang habis, dan lemari buku yang sudah lembap. Tapi semuanya terasa berbeda, seakan udara ikut menuduh. Aku menggantung jaket—bukan jaketku, melainkan kemeja pria beraroma sabun mahal. Aku tak sanggup menatapnya terlalu lama.
Kalea duduk di lantai, punggung bersandar di sofa, selimut melingkari tubuhnya seperti perisai. Matanya terbuka, tapi tidak benar-benar menatapku. Ia memeluk lutut, jari-jari bergerak pelan, bermain dengan ujung rambut.
“Kau pulang,” katanya pelan. Suaranya tak bernada marah, juga tak lembut. Hanya datar, seperti mata air yang kering.
Aku melepas sepatu perlahan. “Aku minta maaf.”
Diam. Kalea tak bereaksi. Tak ada gerakan mata atau napas memburu. Ia hanya duduk di sana, seperti patung yang terlalu letih untuk runtuh.
Aku berjalan ke dapur, pura-pura mencari air. Tapi tangan gemetar, dan gelas di rak terasa terlalu licin. Aku menempelkan kening ke pintu kulkas, mataku basah.
“Kau sudah melakukannya, ya?” Suara Kalea kini lebih pelan, tapi menancap lebih dalam.
Aku tak menjawab.
“Dengan Tristan?”
Satu tetes air mata jatuh di punggung tanganku. “Aku… tidak tahu harus bilang apa.”
Kalea berdiri. Selimut jatuh dari bahunya. Ia melangkah ke arahku, tidak tergesa, tidak pula lambat. Wajahnya masih datar, tapi matanya seperti sumur yang airnya mulai naik.
“Jadi ini yang kau simpan semalam? Ini alasan kenapa kau menatapku seperti orang asing tadi pagi?”
“Kalea—”
“Tidak,” potongnya cepat. “Biarkan aku bicara dulu.”
Aku diam.
“Kau tahu apa yang paling aku takuti, Aurora?” katanya, suaranya mulai retak. “Bukan karena kau melanggar kontrak itu. Bukan. Aku takut… kau memilih untuk menyembunyikannya dariku.”
Aku menunduk. “Aku takut kau benci aku.”
Ia tertawa, pendek, pahit. “Aku tidak bisa membencimu. Tapi aku kecewa. Bukan karena kau menyerahkan tubuhmu, tapi karena kau mengira aku tidak cukup kuat untuk tahu.”
Aku menatap wajahnya. Mata Kalea kini merah. Ia menghapus air matanya cepat, seolah ingin tetap jadi tembokku—meski tembok itu mulai retak.
“Aku tidak tahu kapan semuanya berubah,” kataku. “Semula ini cuma permainan. Lalu Tristan datang, dan dia—dia melihat aku. Bukan umpan, bukan penipu. Tapi Aurora.”
“Dan itu cukup bagimu untuk menyerahkan sesuatu yang bahkan kita simpan delapan tahun?”
Aku menangis. “Aku lelah, Lea. Lelah jadi penipu. Lelah tidur sendiri tiap malam dengan kebenaran palsu. Dan untuk sesaat… di pelukannya, aku merasa nyata.”
Kalea terdiam lama. Ia menatapku seolah berusaha mencari jejak Aurora yang dikenalnya—Aurora yang dulu lari bersamaku di bawah hujan panti asuhan, yang menyelipkan lilin kecil di bawah selimut setiap ulang tahunku.
Lalu ia duduk kembali, menarik napas dalam-dalam. “Oke,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, kita jujur sekarang. Sepenuhnya.”
Aku mengangguk, meski air mataku masih mengalir.
“Apakah kau cinta padanya?”
Pertanyaan itu seperti palu. Aku tak bisa menjawab cepat. Aku memikirkan tangan Tristan yang membelai rambutku semalam, bibirnya yang mencium dahiku setelah semuanya selesai, matanya yang melihatku seperti luka yang ingin dia pelajari.
“Belum,” jawabku pelan. “Tapi aku sedang berjalan ke arah itu.”
Kalea mengangguk sekali. Diam.
“Kau tahu dia berbahaya, kan?”
Aku mengangguk. “Aku tahu.”
Ia menatapku lama. Lalu, “Baik. Kalau begitu, mulai hari ini, kau tidak perlu sembunyi. Tapi aku minta satu hal.”
“Apa?”
“Kalau dia menyakitimu, secara fisik, secara mental, dalam bentuk apa pun—kau kembali padaku. Langsung. Tak ada penundaan, tak ada alasan.”
Aku hampir tersungkur di lantai karena lega. “Iya. Sumpah.”
Ia menarik ku ke pelukan. Kami berdua duduk di lantai, menangis dalam diam, seperti dua gadis enam belas tahun yang baru saja kehilangan dunia tapi memegang tangan satu sama lain seperti pegangan terakhir.
Pelukan itu bukan pengampunan sepenuhnya. Tapi itu cukup.
Tristan menghubungiku tiga kali hari itu. Aku tak mengangkat.
Bukan karena aku marah, bukan karena takut. Tapi karena setiap kali layar ponsel menyala menampilkan namanya, rasa bersalahku muncul lagi seperti tsunami kecil. Ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya—obsesi, mungkin cinta, mungkin keinginan memiliki. Tapi dalam diriku, yang tumbuh adalah keraguan.
Apakah malam itu adalah pilihan? Atau manipulasi?
---
Malamnya, aku berdiri di balkon kecil apartemen. Jakarta sudah kembali terang, tapi pikiranku belum. Kalea tidur di dalam, matanya lelah.
Aku menggenggam secarik kertas kecil—kontrak suci yang hampir ku lempar semalam. Aku tak membakarnya. Tak sanggup.
Malam itu, aku tahu satu hal: cinta yang tumbuh dari rasa bersalah adalah cinta yang harus diuji lebih dari yang lain.
Dan aku belum siap mengaku kalah.
.
.
.
Bersambung...