Azzam Syauqi Atharis pria yang dulunya memilik sifat ceria dan jahil berubah menjadi sosok pria dingin setelah tragedi na'as yang terjadi di dalam keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joelisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Seminggu kemudian.
Setelah sarapan pagi Azzam dan Letta bersiap untuk mengantar Oma Riana ke bandara, wanita tua itu sudah memutuskan untuk kembali ke Jerman ke keluarga Smith tempat asalnya. Awalnya Azzam menentangnya tapi Oma Riana bersikeras ingin pulang ke jerman dengan alasan ingin menghabiskan masa tuanya bersama keluarganya disana. Ia sudah lebih tenang meninggalkan Azzam karena cucunya itu sudah memiliki pendamping.
"Kau bisa mengunjungi Oma kapan pun kau mau." Ujar sang Oma sambil membelai pipi cucunya.
Azzam mengangguk patuh,tidak ada airmata yang mengalir di pipinya tapi Letta tahu suaminya itu sedang menahan airmatanya agar tidak jatuh.
Wanita tua itu kini beralih pada Letta dan memeluknya.
" Titip Azzam ya, Ta. Oma harap, kamu akan selalu setia mendampingi Azzam dalam susah maupun senang. Oma harap stok sabarmu takkan pernah habis. Selalu ingatkan dia jika dia melakukan kesalahan."
Letta tersenyum, meyakinkan bahwa agar tak perlu mengkhawatirkan mereka berdua. Letta akan berusaha sekeras mungkin agar bisa menjadi istri dan cucu menantu yang bisa di andalkan.
Setelah terdengar pengumuman keberangkatan pesawat, Oma Riana menarik kopernya menuju pintu keberangkatan sebelum benar-benar masuk ia melambaikan tangan pada cucu-cucunya sebagai tanda perpisahan.
"Ayo pulang."
Azzam meraih tangan Letta dan menggenggamnya, Letta sudah tidak terkejut lagi karena semenjak menikah Azzam sedikit berubah terlihat begitu posesif terhadapnya. Bahkan tak segan-segan memarahi maid karena membiarkannya mengerjakan perkerjaan rumah padahal itu keinginannya sendiri.
Ting
Sebuah notifikasi pesan terdengar dari ponsel Letta. Gadis itu mengambil ponsel yang sejak tadi ada di dalam tas kecilnya. Azzam yang kepo, ia berusaha mengintip.
Sebuah pesan pemberitahuan tentang reuni SMA yang akan di adakan Lusa.
Letta hendak membalas pesan, tetapi merasa ada yang aneh ia menoleh pada suaminya yang kepo.
"Kamu kepo ya!"
Azzam nyengir, detik berikutnya sebelah alisnya terangkat."Memangnya kenapa? Mau main rahasia-rahasiaan sama suami?"
Bibir Letta mengerucut." Ya biar aku kasih tahu aja kan cukup. Nggak perlu ngintip juga, kan?"
"Jadi, mau diizinin nggak nih?" Azzam sudah bersiap-siap memakai seltbeth, bersiap menjalankan mobilnya.
"Mau! izinin ya."
Dengan gaya tengil Azzam mengedikkan bahu. Istrinya itu mengguncang lengannya memakai jurus andalan." Ayolah, boleh ya? Please..."
"Tergantung."
"Tergantung? Mati dong. Bolehlah ya. kan sesekali doang." Letta tak menyerah, mengeluarkan puppy eyes andalannya, menunjukkan sisi manjanya.
"Boleh. Asal ada syaratnya." Azzam menyeringai kapan lagi ia bisa moduskan? Ia akan tahu, bagaimana pertahanan istrinya itu.
"Syarat?"
Azzam mengangguk mantap wajah tengilnya itu membuat Letta penasaran." Gak ada yang geratis."
Letta menghembuskan nafas kasar. Menanggapi gurauan suaminya itu. Tentu Azzam hanya bergurau, meski di selipkan modus.
"Ck, aku lagi nggak pegang uang."
"Aku nggak kekurangan uang,kalau kamu lupa." Letta yang menunduk mengangkat wajah, mirip seperti anak kecil yang putus asa karena tidak di belikan mainan. Azzam menepikan mobilnya, lalu menghadap ke Letta." Uang aku, uang kamu juga. Kenapa harus minta uang ke kamu."
"Katanya nggak ada yang geratis?"
Azzam tertawa kecil, istrinya ini benar-benar menggemaskan, ingin sekali Azzam mencubit pipinya karena terlalu gemas.
"Terus apa?"
Sebelah alis Azzam terangkat satu. Bibirnya masih menyeringai, jari telunjuknya mengarah ke bibirnya itu. Sontak membuat Letta mendelik.
"Azzam.."
" Memangnya kenapa? Syarat yang mudah bukan, bukankah itu wajar sekalian nyenengin suami,kan?"
Letta menunduk, tangannya meremas rok yang ia kenakan. Bisa-bisanya minta syarat cium!
Letta mencoba menenangkan diri. Ah, mana mungkin ia harus memulai dulu? Letta bahkan tidak tahu bagaimana cara berciuman. Sebab ia tak pernah melakukannya Letta selalu menjaga batasan saat berhubungan.
Menatap wajah Azzam saja ia sudah malu bukan main. Tidak, Letta belum siap. Tetapi ia juga sangat ingin menghadiri acara itu.
"Sebegitu sulitkah mencium suami sendiri?" goda Azzam.
Letta masih menunduk terjadi perdebatan di dalam hatinya. Letta benar-benar tidak tahu bagaimana cara memulainya.
"Mesum!"
"Sama istri sendiri, ingat itu." Azzam mengangkat dagu,matanya memicing seolah tak terima. Letta bahkan enggan menatapnya, karena pipinya kini sudah memerah.
"Dikit aja, tapi."
Bibir Azzam berkedut menahan senyuman. Ia sangat suka menggoda istrinya itu. Pelan-pelan, Letta memajukan wajahnya mendekati bibir Azzam yang seksi. Matanya mendelik saat pinggangnya di tarik mendekat, bibir mereka bersentuhan. Azzam memiringkan wajahnya, mengikuti insting sebagai lelaki. Menyesap dengan lembut bibir tipis Letta, gadis itu terpaku jantungnya berdebar tak beraturan. Tangannya mencengkram kemeja biru yang Azzam kenakan. Azzam menggigitnya sedikit, mebuat Letta membuka mulut lidahnya melesak masuk, mendorong benda kenyal tanpa tulang itu lalu membelitnya.
Letta tersentak, lalu ia mencoba untuk mengimbangi dengan gaya amatir gadis cantik itu mulai menerima. Ia memejamkan mata merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan ia mulai bisa mengimbangi ciuman Azzam yang menuntut.
Seluruh tubuh Letta bergetar debaran jantungnya tak menentu, pipinya memanas bahkan perutnya seakan digelitik. Letta seakan terbang hanya sekedar menerima ciuman.
Azzam melerai ciumannya,saat istrinya itu hampir kehabisan nafas.
Hhhhhh...
Azzam tersenyum lembut, menikmati rona merah pada wajah ayu sang istri. Ibu jarinya menyeka bibir tipis yang membengkak karena ulahnya. Manisnya bahkan masih terasa. Letta merasa malu di tatap seperti itu.
"Dress code-nya apa tadi?"tanya Azzam mencoba mencairkan suasana. Suaranya serak hanya berciuman saja sudah membuatnya bergairah.
"Biru kehijauan."
Azzam mengangguk." Ayo kita cari. Sekalian jalan-jalan."
Letta menjawab dengan anggukan. Masih mencerna kejadian yang baru saja mereka lakukan. Sedangkan Azzam kembali melajukan mobilnya, sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
*
*
*
Setelah puas berkeliling di Mall, Azzam membawa istrinya ke restoran jepang. Sesuai makanan favorite Letta.
Letta amat antusias ketika Azzam mengajaknya kesana, dengan tangan yang saling bergandengan mereka memasuki restoran itu di ikuti Daniel dan dua pengawal. Letta sempat terkejut dengan kehadiran Daniel secara tiba-tiba saat ia sedang berkeliling bersama Azzam tadi, dia sempat bertanya tapi Azzam malah mengatakan tidak usah perdulikan mereka.
"Kalian ikut makan juga, tapi di meja terpisah. Saya nggak mau waktu berduaan dengan istri saya terganggu. Pesan apapun yang kalian mau, masukkan tagihannya ke bill saya." seru Azzam.
"Baik Tuan." jawab mereka serempak.
Azzam memang tak pernah membedakan dengan orang yang berkerja padanya,dia juga cukup loyal pada mereka. Apa yang ia makan maka orang-orangnya akan ikut makan. Tak perduli di restoran mewah atau tempat makan biasa. Tapi lebih sering Azzam makan di pinggir jalan atau tempat-tempat kecil karena memang dia sudah terbiasa begitu sejak remaja di tambah lagi ia memang di didik keras oleh Ayahnya. Karena Ayahnya tak pernah mengungkapkan status anak-anaknya di depan publik.
"Mereka kerja sama kamu udah lama,ya?"
"Mereka udah ngawal aku sejak SMA cuma lebih kaya pengawal bayangan. Mereka tak terlihat tapi kinerjanya nyata."
"Terus. Kalau Daniel apa dia sama kayak mereka?"
Azzam menggeleng" Daniel, udah lebih kayak abang bagi aku. Kami tumbuh besar bersama sejak kecil, entah gimana ceritanya waktu itu Daddy bawa pulang Daniel dalam keadaan penuh luka dan cukup memprihatinkan. Lalu mengangkatnya menjadi anak, tapi sejak dulu Daniel tidak pernah mau memanggilku dengan sebutan nama. Ia kekeh memanggilku dengan sebutan Tuan sampai akhirnya mejadi terbiasa."
Pantas saja pria itu terlihat begitu menghormati Azzam, ternyata itu bentuk balas budi atas kebaikan orangtua Azzam.
Tak lama pesanan mereka datang, Letta yang memang sudah kelaparan tak mau menyia-nyiakan makanan didepannya. Dia makan dengan lahap, membuat Azzam terkekeh.
" Kenapa?" tanya Letta saat melihat suaminya tertawa sendiri.
" Pipi kamu nyembul-nyembul, gemes jadi pengen nyium! Makan pelan-pelan aja nggak akan ada yang mau ngambil punya kamu sayang." jawab Azzam.
Uhuuk!
Uhuuk!
Uhuuk!
Letta tersedak, Azzam buru-buru mengambilkan minuman" Minum dulu, kan sudahku bilang makannya pelan-pelan sayang!"
Apa aku tidak salah dengar dia panggil sayang selancar itu. Bahkan dia terlihat biasa saja padahal aku kan tersedak karena ulahnya. Batin Letta
Saat mereka sedang makan,siap sangka mereka malah kedatangan tamu tak di undang.
" Pak Azzam."
Mendengar namanya di panggil Azzam menoleh, pria dengan umur sekitaran lima puluhan itu menghampiri Azzam.
" Pak Surya.?"
" Boleh saya ikut gabung disini.?"tanpa menunggu persetujuan lagi pria itu dengan tidak tahu malunya langsung duduk satu meja dengan Azzam dan Letta. Azzam hendak menolak tapi Letta melarangnya ia takut Azzam nantinya akan di katakan tidak sopan.
" Papa.."
Seorang wanita mendekat,dan ikut duduk di meja yang sama, wanita itu menatap Azzam dari tatapannya Letta bisa menyimpulkan ada sedikit ketertarikan.
" Bau-bau pelakor nih." Lirih Letta.
"Hahh..Apa sayang?" tanya Azzam yang samar-samar mendengar ucapan Istrinya.
"Eh. Enggak, nggak apa-apa."
Wanita tadi tampak tidak senang mendengar Azzam memanggil Letta dengan kata sayang. Tapi apa Letta perduli? Tentu saja tidak ia kembali fokus dengan makanannya.
" Oh. Iya Pak Azzam kenalin ini putri saya Amanda,dia baru pulang dari London dua hari yang lalu." ungkap surya.
" Hallo, saya Amanda."
Wanita itu mengulurkan tangannya pada Azzam hendak mengajak berkenalan, tapi Azzam sama sekali tidak berkenan membalas uluran tangan itu. Ia malah melipat kedua tangannya di depan dada.
di perlakukan seperti itu membuat Amanda sangat malu. Dengan cepat ia menarik kembali tangannya.
Letta sangat ingin tertawa,apalagi melihat tampang tak bersalah suaminya.
" Ehemz.." Surya berdeham memecah kecanggungan di meja itu." Saya dengar sekretaris Pak Azzam sedang cuti ya? Kebetulan anak saya ini sebelumnya berkerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan di London. Jika Pak Azzam berkenan saya tidak masalah anak saya menjadi sekretaris anda."
"Maksud anda apa Pak Surya? Menyodorkan anak gadis anda kepada saya?!"
"Anda pasti mengerti maksud, saya Pak Azzam! Dengan begitu kita bisa lebih mudah membicarakan masalah memperpanjang kontrak."
Letta yang awalnya tidak perduli merasa terganggu dengan pembicaraan itu,ia pun menghentikan aktifitas makannya.
"Sebaiknya masalah perkerjaan di bicarakan di kantor saja."ucap Azzam
"Jika bisa di bicarakan disini, kenapa tidak?" balas Surya.
" Saya tidak berminat."
" Pikirkanlah lagi Pak Azzam. Lihatlah putri saya dia cantik dan tidak kurang apapun, saya jamin anda akan puas dengan kinerja anak saya jika anda menjadikannya sekretaris apalagi lebih dari itu."
Kedua tangan Azzam sudah mengepal, ia benar-benar tersinggung dengan ucapan pria di hadapannya ini, sangat ingin Azzam melayangkan satu bogeman di wajahnya. Letta yang melihat Azzam sudah tersulut emosi,meraih tangan suaminya itu membawanya ke pangkuannya dan menggenggamnya. Azzam melirik Letta dari tatapan mata istrinya seakan mengatakan jangan terpancing oleh ucapan pria di hadapan mereka itu. Perlahan genggaman tangan Azzam mengendur ia pun membalas senyuman istrinya.
Azzam mengangkat tangan Letta ke atas meja memperlihatkan cincin pernikahannya yang melingkar di jari tangan mereka" Maaf, saya tidak membutuh sekertaris atau apapun itu. Saya sudah memiliki satu yang halal."ucap Azzam.
"Maksud Pak Azzam, dia?"
"Perkenalkan ini istri saya Arletta Zevanya Athariz."
jdarrr
Kedua orang itu tampak terkejut mendengar pengakuan Azzam," Bukannya anda belum menikah? saya tidak pernah menerima undangan sama sekali."
"Kami menikah belum lama ini. Masalah undangan, itu akan menyusul. Maaf kami masih ada urusan. Permisi."
Azzam melangkah meninggalkan Surya dan anaknya sambil menggandeng tangan Letta, ia tidak perduli dengan pandangan beberapa orang terhadap mereka.