Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Apa-apaan Tadi Itu?!
Aaron menyisir rambutnya ke belakang, rasa gusar membelenggunya. Apa semua wanita se-berlebihan dia?!
Ia mendengus, membiarkan Claire terus terisak, berharap tangisan itu akan segera reda. Namun, sepuluh menit berlalu dan wanita itu masih saja memiliki cadangan air mata yang seolah tak ada habisnya. Dia bisa mati karena dehidrasi.
"Cukup, hentikan." Aaron menghela napas lelah, menarik lengannya dari genggaman Claire, lantas memegang dahinya. Namun, ia tidak meninggalkan kamar itu. Ia meletakkan kamera di atas meja, lalu menjatuhkan punggungnya ke sofa terdekat dengan helaan napas panjang. Sejak bertemu Claire Hayes, ia merasa napasnya selalu berat, seolah menua dalam sekejap.
Claire beringsut mendekat, ragu untuk duduk di samping Aaron, kedua tangannya saling menggores kuku di depan dada. Hanya sisa-sisa isakan kecil yang sesekali lolos dari bibirnya, sementara air mata masih menggenang di pelupuk mata dan membasahi pipinya.
"Duduk," perintah Aaron, suaranya rendah.
Claire mengambil langkah ragu, mendekati Aaron dan duduk tepat di sebelahnya, tanpa menyisakan jarak. Aaron menghela napas lagi. Ada banyak sofa panjang lain di seberang, ada pula sofa tunggal di kanan dan kiri, namun dari sekian banyak pilihan, Claire justru memilih duduk begitu rapat dengannya.
"Dengar," ucap Aaron beberapa saat kemudian. Claire menoleh, menatapnya. "Kau tidak perlu mengatakan hal baik tentangku di depan orang tuaku."
"Tapi—"
"Aku tidak butuh," potong Aaron tegas. "Aku juga tidak peduli, jadi hentikan itu."
Claire menundukkan kepala, kecewa. Usahanya untuk membuat Aaron terlihat baik, bahkan di matanya sendiri, ternyata sia-sia.
"Kau juga tidak butuh ini." Aaron melirik kamera di atas meja. "Karena akan ada pengurus rumah yang akan menjagamu."
Claire segera bergeser, menyampingkan seluruh tubuhnya menghadap Aaron, lalu menggeleng cepat. Ia meraih lengan Aaron, menggenggamnya erat. "Tidak, aku tidak mau," katanya, suaranya kembali bergetar. "Jangan ada orang lain di sini."
Aaron menatap matanya sejenak, mata hijau itu dipenuhi ketakutan dan permohonan, lalu berpaling menatap langit-langit. Ada yang salah dengan kepala wanita ini, pikirnya.
"Kameranya... apa bisa dipasang lagi?" tanya Claire ragu, suaranya nyaris berbisik.
Aaron mendelik. Ya, memang ada yang salah dengan kepalanya. "Kenapa harus?"
Claire mengulum bibirnya ke dalam, menatap Aaron lalu menunduk lagi, ragu dan malu untuk mengatakannya. "Aku... aku merindukanmu," ungkapnya lirih, nyaris tak terdengar.
Mendengar pengakuan itu, Aaron hampir tak bisa menahan tawanya. Ia bangkit, duduk dengan benar, menarik tangannya dari genggaman Claire. "Aku banyak menemui orang yang rumit, Nona Hayes," katanya, tatapan sinis terukir di wajahnya. "Tapi kau, kaulah yang paling rumit."
Claire mengerjap bingung. Kenapa Aaron malah menganggap pengakuannya sebagai lelucon?
Aaron melanjutkan, sorot matanya tajam menusuk. "Kau mencintai saudaraku sebelumnya, dia pria pertama dalam hidupmu, kau bahkan mengandung anaknya saat ini." Aaron sedikit memiringkan kepalanya, senyum sinisnya semakin lebar. "Dan sekarang kau mengatakan hal-hal semacam itu padaku?"
Claire tercengang, diam tak beraksi. Mulutnya sedikit terbuka, alisnya bertaut ke atas, tidak bisa memproses ucapan Aaron.
"Katakan jika memang benar kau menaruh hati padaku sekarang," tantang Aaron, "lalu bagaimana dengan Benjamin-mu? Kau melupakannya hanya dalam beberapa minggu setelah bertemu adiknya?" Senyum Aaron berubah menjadi seringai pahit. "Kau benar-benar tak termaafkan, Nyonya Hayes. Menurut logikaku, kau masih terbayang oleh sosok priamu padaku, menganggap aku adalah dia karena aku adalah adiknya yang berdarah sama dengannya. Sejatuh hati itu kau padanya."
"Tidak, bukan..." Suara Claire lirih, semakin tidak sanggup dia mendengar Aaron mengatakan hal-hal itu terhadapnya.
Aaron menyeringai, alisnya terangkat sebelah. "Jadi maksudmu, kau mengasihaniku karena merasa bersalah telah menjebakku dalam masalah ini?"
"Tidak!" Suara Claire meninggi, memenuhi ruangan itu. Ini kali pertama ia berteriak sekeras itu pada Aaron. "Aku tidak seperti itu! Kenapa kau terus menghakimi perasaanku?!"
Aaron berdiri dari duduknya. Claire melihat itu, berusaha meraih tangannya, namun Aaron menjauhkan tangannya sebelum dapat diraih. "Sepertinya kau salah paham, Nona Hayes. Aku tidak sedang mencari tahu tentang perasaanmu yang sebenarnya terhadapku atau apa pun itu, tapi mengingatkanmu tentang batasanmu." Aaron melanjutkan, tatapannya sedingin es. "Bagiku, status suami istri ini, bahkan hingga aku mati, hanyalah sebuah status tanpa arti. Jangan mencoba untuk mengubahnya." Aaron pergi dari sana, meninggalkan Claire sendirian.
...****************...
Seperti yang dikatakan Aaron, seorang pengurus rumah tangga baru datang keesokan harinya. Seorang wanita tua yang cukup berisi, dengan beberapa uban di rambutnya. Dia memperkenalkan namanya sebagai Susan Roberts, memiliki suara yang tenang dan hangat, selalu tersenyum, dan tak banyak bicara.
Walau masih tidak nyaman dengan pengurus rumah baru itu, Claire tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kehadirannya. Kendatipun demikian, Claire masih berusaha mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan. Dan kembali ke rutinitas biasanya, setelah kamera pengawas dilepas dari kamarnya, Claire menunggu Aaron pulang di ruang tamu.
Tengah malam tiba. Aaron, melihat Claire tertidur di sofa, di bawah cahaya lampu redup, hendak membiarkannya begitu saja pada awalnya, seperti yang biasa ia lakukan. Namun, belum lima menit ia berada di dalam kamarnya, Aaron keluar lagi. Tanpa balutan jas, rompi, ataupun dasi yang mencekik lehernya. Dua kancing atas kemeja putihnya terbuka, memperlihatkan garis lehernya yang sensual, dan lengan kemejanya dilipat setengah. Ada selimut di tangannya.
Langkahnya terdengar santai dan teratur di ruangan remang yang sunyi itu. Dia kemudian menyelimuti Claire hingga menutupi leher wanita itu. Sejenak Aaron berdiri diam di depan wanita yang sedang tidur itu, menatap wajah yang tertidur pulas itu lamat-lamat, merasa tidak puas.
Detik berikutnya, Aaron mengangkatnya sepelan mungkin, seolah berusaha untuk tidak mengganggu tidur nyenyak wanita itu. Ia membawanya menaiki lantai dua, berjalan menuju pintu kamar wanita itu. Dalam dekapannya, Claire tampak bergumam kecil, tak terdengar, namun kemudian ada senyum kecil terlihat di bibir pinknya.
Dia mengigau, pikir Aaron. Tanpa sadar, Aaron juga ikut tersenyum. Senyum yang sangat tipis, nyaris tak terlihat.
Ia meletakkan Claire dengan lembut di atas tempat tidur. Hendak menyelimutinya, namun melihat selimut yang ia bawa untuk Claire tadi masih melilit tubuhnya. Pada saat Aaron hendak melepas selimut itu, menggantikannya dengan selimut di tempat tidur Claire, tangan kecil wanita itu tampak meremas selimutnya. Lalu, Claire sedikit bergerak, yang membuatnya semakin memeluk selimut itu erat.
Aaron mengernyitkan alisnya. Merasa ada yang salah, namun dengan cepat mengenyahkan pikiran itu. Ia menghela napas. Menutup kaki polos putih itu dengan selimut. Kaki yang lembut. Telapak kakinya berwarna pink.
Aaron tersenyum lagi. Lalu, ketika pikiran, manis sekali… lewat di benaknya, pupil abu gelapnya melebar.
Bergegas ia keluar dari kamar wanita itu, menutup pintunya sedikit keras. Aaron berdiri di balik pintu yang tertutup, raut wajahnya tidak senang.
Apa-apaan tadi itu?!