Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Komposisi Gen Senja
Mentari
Senja tersenyum ramah. Ya, tersenyum ramah. Bukan memasang wajah menyebalkan seperti biasanya. "Air putih saja, Pelangi. Terima kasih ya. Kamu baik sekali." Senja melirik ke arahku. Aku yakin ucapannya barusan bertujuan untuk menyindirku.
Oh... jadi gadis berhijab itu namanya Pelangi? Sudah cantik, solehah serta baik sekali orangnya, beda jauh dong denganku?
"Mas Senja bisa saja. Mas Senja butuh apa lagi? Biar kuambilkan," tanya Pelangi sambil tersipu malu.
"Tak usah, terima kasih banyak, Pelangi. Kamu tulus banget ya membantuku?" sindir Senja seraya melirik ke arahku.
Kali ini aku kesal. Sangat kesal. Kutinggalkan adegan romantis Senja dan Pelangi lalu berjalan pergi meninggalkan dapur darurat. Mengobrol dengan Bu Enka lebih baik daripada mendengar sindiran Senja yang menyebalkan. Sayangnya, Bu Enka sudah tak ada dan aku seorang diri.
Kulihat tumpukan piring dan gelas kotor di dekat kran air. Rasanya tak betah melihat sesuatu yang berantakan di depan mataku. Kulipat lengan bajuku dan kucuci semua.
"Tari, ayo, sarapan dulu!" Suara Senja membuatku terlonjak kaget.
Aku kembali teringat dengan sikap menyebalkannya di dalam. Bagaimana dia menyindirku dan bersikap baik sekali pada Pelangi. "Tak usah. Aku masih kenyang!" tolakku dengan ketus.
Semua piring sudah selesai diberi sabun hanya tinggal kubilas saja. Karena sengaja menghindari Senja, terpaksa aku mencuci ulang semua sampai dia pergi. "Ya sudah kalau masih kenyang. Kalau kamu mau sarapan, pergi ke dapur darurat ya. Jangan lama-lama, nanti kehabisan!"
"Hem," jawabku dengan malas.
Senja kembali meninggalkanku. Ia memang sangat dibutuhkan di posko darurat banjir ini. Entah kenapa Senja begitu terkenal di lingkungan tempatnya tinggal, mungkin karena pekerjaannya sebagai peminta sumbangan pembangunan masjid? Entahlah.
Kupegang perutku yang terasa lapar. Semalam aku tak makan karena mengantuk dan sejak tengah malam aku membantu di posko banjir. Perutku lapar sekali. Kuselesaikan kegiatan mencuci piring lalu masuk ke dalam dapur darurat. Aku berharap masih ada makanan yang bisa kumakan.
Betapa kecewanya aku saat melihat penggorengan besar berisi mie goreng yang tadi Senja masak sudah tak tersisa lagi. Telor ceplok yang tadi bak menggunung di nampan juga habis. Aku terlambat... lalu aku makan apa?
"Nih, makan punyaku!" Senja tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Ia menyerahkan nasi bungkus padaku.
"Tak usah. Buat kamu saja. Aku masih kenyang kok!" tolakku demi menjaga gengsi.
Senja mengangkat tanganku lalu meletakkan nasi bungkus di tanganku. "Aku tahu kalau kamu lapar. Makanlah! Nanti kamu sakit, aku yang disalahkan Bapakmu!"
Aku tak bisa menerimanya. Kalau aku memakan nasi bungkus miliknya, lantas dia makan apa? Kami tak bisa langsung pulang ke rumah kontrakan, masih banyak yang harus kami lakukan di posko darurat banjir ini. "Tapi kamu-"
"Aku dapat dua. Maklum, orang keren jatahnya dua. Makan saja!" Senja kembali tersenyum menyebalkan.
Sial!
Aku sudah iba dengan kebaikannya tapi lagi-lagi dia mengerjaiku. Argh... dasar suami menyebalkan!
Kuhembuskan nafas dengan kesal lalu pergi sambil menghentakkan kaki. Lihat saja, aku tak akan iba denganmu lagi!
.
.
.
Rupanya aku memang benar-benar lapar. Satu porsi nasi bungkus habis aku lahap sendiri tanpa tersisa. Porsinya besar loh, jarang sekali aku makan sebanyak ini.
Walau nasi bungkus yang kumakan hanya berisi telur dan mie goreng ala kadarnya, namun terasa nikmat sekali. Makan dengan menu yang sama dengan para korban banjir membuatku bisa merasakan penderitaan yang mereka rasakan saat ini. Mereka kedinginan dan kelaparan, rumah mereka terendam banjir dan isi rumah yang mereka beli dengan mencicil satu persatu kini rusak atau mungkin hanyut entah kemana.
Aku merasa hidupku lebih beruntung dari mereka. Setidaknya rumah kontrakan Senja tidak banjir karena berada di dataran yang lebih tinggi. Aku makan berkecukupan, malah dikasih uang jajan setiap hari meski uang tersebut entah berasal darimana, kayaknya sih uang halal tapi aku sendiri tak yakin. Aku juga tidak kesusahan selama tinggal di Jakarta. Senja menjamin hidupku meski sikapnya yang aneh dan menyebalkan membuatku ingin membanting tubuhnya ke tanah.
Dari kejauhan kulihat Pelangi tersenyum padaku. Ia berjalan mendekat dan duduk di sampingku. "Hi!"
"Hi," jawabku sambil tersenyum tipis.
"Mas Senja bilang, kamu itu sepupunya ya?" tanya Pelangi.
Sepupu? Istri! Bini-nya, you know? Ish, rasanya aku ingin bilang seperti itu namun Mentari yang dikenal orang itu adalah Mentari yang sopan, lembut dan baik hati meski di dalam hati beda, bak angin ribut.
"Iya," jawabku singkat.
"Mas Senja sepupu yang baik ya? Kulihat, walau jahil sama kamu tapi dia perhatian sama sepupunya," kata Mentari.
"Ah masa sih? Kamu belum kenal siapa Senja saja. Senja itu dari kecil sudah ada gen jahil. Tidak ada tuh tercantum di komposisi gen yang dimilikinya sifat perhatian," jawabku sambil tertawa mengejek. Pasti Pelangi cuma tahu baiknya Senja saja. Tidak tahu saja betapa menyebalkannya dia.
"Masa sih? Aku lihat kok kalian kayak nggak akur ya?" Pelangi tertawa kecil. "Jarang loh ada saudara sepupu yang nggak akur tapi tinggal bareng."
"Ada. Kami berdua buktinya. Kalau tidak terpaksa juga aku males tinggal sama Senja," jawabku seenaknya.
"Kalian lucu. Kamu sebal sekali dengan Senja, sementara Senja meski jahil tapi perhatian sama kamu," kata Pelangi.
"Perhatian dari mana? Kamu salah lihat kali," balasku.
"Masa sih aku salah lihat? Tadi waktu kamu tak kembali dari mencuci sawi, dia meninggalkan pekerjaan yang sedang dilakukannya demi mencari kamu loh," jawab Pelangi.
"Itu kebetulan saja. Dia takut aku pulang ke rumah dan meninggalkan tenda darurat ini. Jangan percaya dengan apa yang kamu lihat!" balasku.
Kening Pelangi nampak berkerut. Sepertinya dia meragukan ucapanku. "Aneh. Kalau memang dia tak peduli sama kamu, kenapa dia memberikan jatah nasi bungkusnya sama kamu?"
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Pelangi. "Memberikan nasi bungkus punya dia? Memangnya kamu tidak tahu kalau dia dapat dua? Dia tidak sebaik itu. Jangan dipuji terus!" Aku mengibaskan tanganku di depan Pelangi agar khayalan indah Pelangi tentang Senja segera pergi.
Wajah Pelangi berubah serius. "Aku tidak memujinya. Aku yang membagikan nasi bungkus pada Mas Senja. Hanya tersisa dua nasi bungkus, satu untukku dan satu lagi untuk Mas Senja. Semua sudah habis untuk pengungsi. Tadi kulihat Mas Senja memberikan nasi bungkusnya untukmu."
Ucapan Pelangi membuat tawa di wajahku menghilang dalam sekejap. Benarkah yang Pelangi katakan? Jadi Senja memberikan nasi bungkus miliknya untukku dan membiarkan dirinya kelaparan?
"Kayaknya, kamu yang tidak benar-benar mengenal Mas Senja deh. Masa sih aku yang hanya bertemu dengannya beberapa kali saat membantu korban banjir, lebih mengenalnya dibanding kamu yang tinggal satu rumah? Coba deh kamu cek lebih lanjut komposisi gen Mas Senja, aku rasa... kamu kurang teliti."
Jlebb.
Sial!
****
perasaanmu kayak mimpi padahal tari yg ada di mimpimu itu nyata..
awas habis ini di tabok tari , nyosor wae🤣🤣🤣
kalau ngigo mah kasihan bangat tapi kalauccari kesempatan lanjutkan Ja. jang cium.doank sekalian di inboxing deh...
demam bikin ngigo, menghayal yg bukan2
etapi ternyata hayalannya nyata
berkah kan tuuuu
selamat ya ja, dapet bonus yg ranum lagi menggoda iman dlm sakitmu
halal pulak
Xixixi 😬