"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Primadona
Murni menarik nafas dalam, ia bersandar sejenak di ranjang, lalu melirik pakaiannya yang kotor.
“Mak... Murni mau mandi dulu, ya. Badan Murni bau banget sama keringetan, terus baunya... kayak kelapa tua,” katanya sambil mengendus-endus lengan bajunya sendiri.
Ia meringis ketika mencium dengan jelas bau badannya terutama keteknya.
“Ya ampun... ini sih bukan bau kelapa.tua, tapi udah kayak bau kelapa busuk.”
Namun saat ia menarik nafas lebih dalam, ekpresi wajahnya langsung panik.
“Eh... jangan-jangan tadi mas Kaan nyium bau ini juga?!”
Ia terdiam di tempat, matanya membulat, karena rasa malu mulai merayap di wajahnya.
“Ya Allah... fix. Dia pasti ilfil sama Murni Mak! Murni malu banget mak!” Murni merengek sembari menenggelamkan wajahnya di bantal.
"Udah, ayo sini. Ibu bantu mandi. Jalan kamu masih susah kan?” Ajak bu Mita.
Murni hanya mengangguk lemas, pasrah, dan mengikuti ibunya keluar rumah menuju belakang. Di sana ada sumur tua yang mereka gunakan untuk mandi setiap hari. Udara di belakang rumahnya terasa hangat, tapi air dari sumur terasa sejuk menyegarkan.
Dengan bantuan bu Mita, Murni pun mandi perlahan menggunakan timba. Ibu dan anak itu bercengkerama sebentar, lalu setelah selesai, Murni berganti pakaian dan kembali masuk ke kamar.
Ia duduk di atas ranjang dengan rambut yang masih setengah basah, sambil sesekali mengelus lututnya yang masih terasa perih. Saat hendak mengambil sisir-
Bip bip!
Tiba-tiba terdengar bunyi dering pelan dari dalam jaketnya yang tergantung di dinding. Ponsel Nokia jadul miliknya bergetar pelan. Murni buru-buru mengambilnya, menekan beberapa tombol, lalu membuka pesan singkat yang masuk:
"Murni, kamu dapat izin libur 3 hari. Gajimu tetap aman, tidak akan dipotong. Fokus sembuh dulu, ya."
Matanya berbinar kecil. Ia menghela nafas lega, lalu tersenyum tipis.
“Alhamdulillah…”
Karena lelah sehabis bekerja dan tidak tahu mau melakukan apa lagi, tanpa terasa murni pun tertidur saat hari berganti siang.
.
.
.
Sementara itu di teras, Kaan tengah duduk diam sambil memperhatikan jalanan desa yang tak terlalu ramai. Sesekali angin bertiup membawa suara anak-anak bermain dan ibu-ibu mengobrol di kejauhan.
Tak lama kemudian, bu Mita mendekat pelan-pelan, sembari menggenggam selembar uang kertas yang sudah agak kusut.
“Nak Kaan…”
Kaan menoleh, duduknya tetap tegak, namun matanya menatap penuh perhatian.
“Iya, bu?”
Bu Mita tersenyum kaku, terlihat agak sungkan, lalu tiba-tiba mengulurkan uang dua puluh ribu rupiah ke arahnya.
“Ibu minta tolong ya, nak… beliin minyak gosok buat Murni, bisa?"
Kaan sempat menatap uang itu, lalu kembali menatap bu Mita.
"Pakai uang saya saja bu." Ujarnya, mendorong uang yang disodorkan mertuanya.
“Eh, jangan… ini titipan ibu aja, ya?” Bu Mita sedikit memaksa dengan nada halus.
Mau tidak mau, Kaan pun menerima uang itu tanpa membantah lagi.
“Saya beli sekarang. Tapi bu, saya harus beli dimana?”
“Oh, iya... di seberang gang sebelah sana, agak pojok. Nama tokonya ‘Toko Mak Nya’. Minyaknya namanya ‘Minyak urut cap batu’. Di situ biasanya ada.”
Kaan mengangguk singkat, lalu berdiri. “Baik. Saya pergi dulu.”
"Iya, makasih banyak ya, nak…” ucap bu Mita, menatap punggung menantunya yang perlahan berjalan menjauh.
.
.
.
Seorang gadis muda baru saja turun dari motor matiknya. Rambut ikalnya dikuncir tinggi, dan kacamata hitam bertengger manja di atas hidung mancungnya. Ia berjalan santai menuju Toko Mak Nya, toko kelontong kecil di pojok gang yang katanya cukup lengkap.
“Heh, Mbak Cherry udah libur kuliah ya Mau beli apa nih?” Sapa pemuda penjaga toko, yang tak lain adalah Mizuki, anak Mak Nya sendiri.
“Hehe, iya, Juk. Pulang dulu, bosen juga di kota. Sekalian nyari angin desa, deh.” Jawab Cherry dengan senyum percaya diri yang khas.
Cherry memang dikenal sebagai primadona di kampung itu. Cantik, stylish, dan selalu tampil modis, meski tinggal di lingkungan sederhana. Ia juga dikenal punya lidah yang tajam dan rasa percaya diri yang tinggi, bahkan terlalu tinggi, menurut beberapa orang.
Sambil memilah-milah cemilan dan sabun yang hendak ia beli di rak, matanya tak sengaja menangkap sosok pria tinggi dengan kulit terang dan bahu lebar yang baru saja masuk ke toko.
Cherry spontan menoleh. Pria itu tampak kebingungan di depan rak obat-obatan kecil. Meski hanya mengenakan kaus putih dan celana kain panjang santai, aura dinginnya memikat perhatian.
Matanya tajam, rahangnya tegas, dan rambutnya kecokelatan seperti baru habis kena matahari.
Cherry mengerjap. “Siapa tuh…” gumamnya, separuh tidak percaya.
Dengan gerakan refleks, ia membenahi rambutnya, lalu pura-pura berdiri di dekat rak yang sama dengan Kaan.
“Lagi nyari apa, Mas?” tanyanya terdengar ramah, dengan senyum terbaik yang biasa ia gunakan untuk memikat lawan bicaranya.
Kaan hanya menoleh sekilas. “Minyak urut cap batu,” jawabnya singkat.
“Ohh… itu yang buat keseleo ya? Wah, siapa yang keseleo?” tanya Cherry, mencoba terdengar akrab.
“Orang rumah." Jawab Kaan tanpa ekspresi, lalu kembali fokus mencari.
Cherry mendongak sedikit, mencoba tetap tersenyum meski pria ini dingin luar biasa. “Aku bisa bantu cari kalau Mas mau…”
“Sudah ketemu.” Potong Kaan, mengangkat botol kecil dari rak.
“Eh... iya, hehe…” Cherry terkekeh kecil, agak kikuk, tapi tak ingin menyerah. “Mas dari mana ya? Aku baru pertama kali lihat Mas di sini.”
Kaan meliriknya sejenak, lalu mengangguk sopan. “Saya baru pindah.”
“Oh, pantesan. Kirain turis nyasar,” ujar Cherry sambil tertawa sendiri.
Kaan tidak merespons. Ia hanya berjalan ke meja kasir untuk membayar. Cherry mengikutinya dengan pandangan masih tertarik, menatap punggung pria itu dengan penuh rasa penasaran.
Setelah Kaan keluar toko, Cherry buru-buru mendekati Mizuki yang sedang menghitung uang kembalian.
“Juki... Juki... Juki! itu siapa sih?” bisiknya cepat, terlihat antusias.
Mizuki menoleh tanpa ekspresi khusus. “Oh, itu? Suaminya Murni.”
Cherry membeku. “Suaminya... siapa?”
“Murni, anaknya bu Mita yang rumahnya deket sumur.”
Cherry masih berdiri di tempat, mulutnya terbuka sedikit, tatapan matanya masih tak lepas dari arah Kaan yang sudah menghilang di ujung gang.
Senyumannya seketika memudar.
“Suaminya... Murni?” gumamnya pelan, seolah mencoba mencerna ulang informasi yang barusan masuk ke telinganya.
Beberapa detik kemudian, Cherry berbalik dengan langkah cepat. Tumit sendalnya menghantam tanah berdebu, meninggalkan jejak marah yang tidak bisa ia sembunyikan.
.
.
.
Sesampainya di rumah.
“Mama!”
Pintu rumah dibanting dengan kasar, bersamaan dengan suara Cherry yang menggema ke seluruh penjuru rumah. Bu Lastri yang tengah menyulam di ruang tengah sampai terperanjat karena terkejut lalu mengangkat alisnya dengan ekspresi heran.
Dalam hitungan detik, Cherry muncul dengan nafas tersengal, matanya tajam, dan ekspresinya jelas-jelas terlihat sangat serius.
“Itu bener, ma? Murni udah nikah?!” Serangnya tanpa basa-basi.
Bu Lastri hanya mengedip pelan, masih dengan posisi duduk santainya. “Lha iya, emangnya kenapa?”
“Kenapa nggak ada yang bilang ke aku?!” Cherry hampir memekik. “Dan... kenapa yang dinikahin bule ganteng gitu?!”
Bu Lastri menyeringai kecil, lalu dengan entengnya menyahut, “Lalu? Alasan kamu mencak-mencak gini itu kenapa? Harusnya kamu seneng kan, kamu udah gak punya saingan kagi buat dapetin si Rudi.“
Cherry langsung mendesis frustrasi. “Ma! Itu Rudi udah kayak sandal jepit putus di depan rumah mantan! Nggak banget! Jelas-jelas kelasnya jauh sama yang tadi!”
“Eh, bukannya kamu naksir banget sama si Rudi." timpal Bu Lastri santai, menaruh sulamannya ke pangkuan.
"Itu dulu ma! Dulu! Sekarang beda! Sekarang aku lebih suka...”
Cherry langsung terdiam. Ia sadar kalau dia nyaris saja keceplosan.
Bu Lastri menoleh dengan alis terangkat. “Suka siapa, Cher?”
Cherry langsung membuang muka, lalu berjalan menjauh, sambil bersungut-sungut masuk ke dalam kamarnya.
“Sepupu bodoh itu... bisa-bisanya dapetin bule sesegar es teh di siang bolong. Padahal... dia Murni, ma! Murni!” gerutunya sambil menutup pintu kamarnya keras-keras.
Di ruang tengah, bu Lastri hanya mendesah dan bergumam, “Walah... Kenapa dia?"
Ketika masuk ke kamarnya, tangannya langsung meraih bantal di atas tempat tidur dan melemparkannya ke dinding dengan brutal. Bantal itu memantul jatuh ke lantai, tapi kemarahannya belum mereda.
“Gila!” desisnya sambil menjambak ujung rambutnya sendiri. “Kenapa harus dia?! Kenapa harus Murni?!”
Cherry menjatuhkan diri ke tempat tidur, meninju bantal lain berkali-kali.
“Dia itu... nggak menarik, nggak modis, dan dia itu... dia itu... Murni! Si bodoh yang dulu nangis cuma gara-gara dikata-katain waktu kecil! Gimana bisa dia dapetin batu berlian kayak gitu?!”
Ia menggeram, matanya menatap langit-langit kamarnya seakan mencari jawaban dari ketidakadilan semesta.
“Kapan dia berubah? Kapan dia jadi... orang yang cukup layak buat jalan bareng sama cowok sekelas itu?”
Cherry berguling ke sisi ranjangnya, lalu menarik bantal yang tadi ia lempar, San memeluknya dengan sisa amarah yang masih menyala.
Lalu, tiba-tiba bibirnya melengkung pelan membentuk senyum sinis.
“Yah... belum tentu juga kan, dia bakal memilikinya selamanya... Siapa tahu nasib baiknya cuma numpang lewat."
Dan dengan mata yang menyipit tajam, Cherry berbisik pada dirinya sendiri, seolah tengah merencanakan sesuatu.
“Cowok kayak gitu? Sayang banget kalau cuma buat dia seorang.”
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣