Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketukan Pintu Misterius
Malam itu, setelah seharian penuh dengan kejengkelan karena hidup di desa, Nayla akhirnya memutuskan untuk mandi agar pikirannya lebih segar.
Setelah selesai, dia keluar dari kamar mandi dengan santai, hanya mengenakan piyama pendek dan tanktop.
Alghazali, yang sedang membaca Al-Qur’an di ruang tengah, spontan menoleh.
Matanya langsung menegang saat melihat Nayla berjalan dengan cueknya, tanpa rasa bersalah.
Tanktop ketat itu memperlihatkan bahunya yang mulus, dan celana pendeknya nyaris tak menutupi paha.
Alghazali langsung menelan ludah.
Dia menunduk, mencoba fokus kembali pada kitab suci di tangannya, tetapi pikirannya kacau.
"Astaghfirullah… Ini ujian apa lagi?"
Nayla menghampirinya, lalu duduk santai di sofa.
“Hei, ustadz. Aku lapar lagi.” suaranya terdengar malas.
Alghazali tidak menoleh.
“Pakai baju yang benar dulu.”
Nayla mengerutkan kening. “Hah? Kenapa?”
Alghazali menghela napas panjang.
Matanya masih terarah lurus ke Al-Qur’an, berusaha tidak terpengaruh.
“Karena kita ini suami-istri, tapi kamu, belum siap jika aku menyerangmu bukan?
Nayla tertawa kecil.
“Ohh~ Kamu takut tergoda ya, Ustadz?” godanya.
Alghazali memejamkan mata sejenak, menenangkan diri.
Kemudian, dengan nada datar tetapi menusuk, dia berkata, “Aku enggak takut tergoda, aku cuma, takut enggak bisa mengendalikan diri, meskipun kamu sudah halal untuk saya!"
"Jadi ...kamu enggak tertarik sedikitpun sama aku?"
"Bukan tidak, tapi... apa kamu sendiri yang bilang, pernikahan kita hanya sementara!"
Nayla terdiam.
Entah kenapa, hatinya terasa sedikit terusik.
Nayla langsung menegakkan punggungnya, matanya berbinar saat mendengar ucapan Alghazali.
"Serius? Kalau aku sholat dan pakai hijab, kita bakal pindah ke kota?" tanyanya penuh antusias.
Alghazali menatapnya dalam, lalu mengangguk perlahan. "Iya. Tapi bukan cuma pakai hijab saat di luar, Nayla. Aku mau kamu benar-benar berubah. Menjadi seorang istri yang baik, menjaga auratmu, dan melaksanakan kewajibanmu sebagai seorang muslimah."
Nayla menggigit bibirnya. Bagian "menjadi istri yang baik" membuatnya sedikit ragu, tetapi keinginan untuk keluar dari desa ini jauh lebih besar.
"Baiklah, Ustadz. Aku akan coba," ucapnya mantap.
Alghazali menatapnya skeptis. "Coba?"
"Iya… Maksudku, aku akan berusaha. Kalau itu syaratnya, aku akan patuh."
Alghazali menghela napas. Dia tahu perubahan tidak bisa instan, tapi setidaknya Nayla punya niat.
"Baik. Aku akan memberimu waktu sebulan. Jika dalam sebulan kau benar-benar berubah, kita akan pindah ke kota."
Nayla tersenyum lebar. "Siap, Ustadz!"
Namun, di dalam hatinya, Nayla bertekad, "Sebulan? Aku hanya perlu berpura-pura dulu… Setelah pindah ke kota, aku bisa kembali ke kehidupanku!"
Tanpa ia sadari, Alghazali bisa membaca pikirannya.
"Aku tahu kau belum benar-benar ikhlas, Nayla. Tapi aku akan membantumu menemukan jalanmu sendiri…"
Pagi itu, setelah sholat Subuh, Alghazali bersiap untuk berangkat mengajar di pesantren terdekat. Sementara itu, Nayla mencoba memasak lagi. Kali ini, ia berhasil membuat telur dadar yang tidak gosong dan nasi yang lebih pulen.
Saat Alghazali duduk di meja makan, ia melirik piring di depannya. "Telurnya lebih baik dari kemarin," komentarnya singkat.
Nayla menyendok nasi dan berkata dengan bangga, "Tentu saja! Aku ini cepat belajar, Ustadz."
Al hanya tersenyum tipis. "Bagus. Aku harus pergi sekarang. Kamu sendirian di rumah. Jangan macam-macam."
Nayla melipat tangan di dada. "Hei, aku bukan anak kecil."
Al mengangkat alisnya. "Baik. Kalau begitu, jangan sampai ada kejadian aneh saat aku pulang."
Nayla mencibir dan mengibaskan tangan, "Iya, iya. Pergilah, Ustadz Sok Suci."
Al hanya menggelengkan kepala sebelum melangkah keluar.
Saat rumah mulai sepi, Nayla duduk di ruang tamu dan menghela napas panjang. "Apa yang harus aku lakukan seharian di tempat terpencil seperti ini?"
Ia memeriksa ponselnya, tetapi sinyal lemah. Mau menonton film pun sulit.
Matanya melirik ke arah dapur. "Mungkin aku bisa coba masak sesuatu lagi?" pikirnya.
Namun, saat ia baru saja berdiri, terdengar suara ketukan di pintu depan.
"Siapa pagi-pagi begini?" gumam Nayla sambil melangkah ke pintu. Ketika ia membukanya, ia terkejut melihat seorang wanita muda berjilbab berdiri di depan rumah, membawa sebuah nampan.
"Assalamualaikum. Ini ada sedikit makanan dari ibu saya. Anda pasti istri Ustadz Alghazali?" tanyanya dengan senyum ramah.
Nayla menatapnya dengan bingung. "Wa—waalaikumsalam. Eh, iya… aku istrinya."
Wanita itu tersenyum semakin lebar. "Saya Fathimah, tetangga depan. Kalau butuh apa-apa, silakan ke rumah kami, ya."
Nayla menerima nampan itu dengan canggung. "Uh, terima kasih…."
Saat Fathimah pergi, Nayla menutup pintu dan menatap makanan di tangannya.
"Tunggu, kenapa rasanya aku baru saja masuk ke dunia yang berbeda?"
Setelah menerima makanan dari Fathimah, Nayla duduk di ruang tamu, menggulir-gulir ponselnya dengan sinyal yang naik turun. Beberapa menit kemudian, suara motor terdengar mendekat.
Alghazali berdiri di depan pintu, menatap Nayla dengan serius. "Nayla, sebelum aku berangkat, aku mau bilang sesuatu."
Nayla menguap kecil. "Apa lagi, Ustadz?"
Al menatapnya dalam. "Kunci semua pintu. Jangan pernah membuka pintu kecuali aku yang mengetuk."
Nayla mendengus. "Astaga, di kota juga aku sering sendirian, tahu? Aku bukan anak kecil."
Al tetap diam sejenak, lalu berkata dengan nada lebih dalam, "Ini bukan kota. Ini desa. Aku hanya ingin memastikan kamu aman."
Nayla mendesah, merasa itu berlebihan. "Iya, iya, aku mengerti. Pergilah sana."
Al menghela napas, lalu berbalik dan pergi. Nayla melihatnya dari jendela sampai motornya menghilang di tikungan.
"Dasar paranoid," gumam Nayla, tapi ia tetap mengunci pintu depan dan belakang.
Setelah itu, ia kembali duduk di sofa, menikmati makanan dari Fathimah. Namun, saat baru mengambil suapan ketiga, ia mendengar suara ketukan pelan di pintu belakang.
Tok… tok… tok…
Nayla berhenti mengunyah. Matanya melirik ke arah dapur, tempat suara itu berasal.
"Apa Al sudah pulang? Tapi dia pasti akan mengetuk di depan, bukan?" pikirnya.
Suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Nayla menelan ludah. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit takut.
Tangan Nayla gemetar saat ia meraih ponselnya dan segera menelepon Alghazali.
"Cepat diangkat... cepat diangkat..." gumamnya cemas.
Ketukan itu kini berpindah ke jendela dapur. Lebih keras. Lebih mendesak.
Tok! Tok! Tok!
Nayla melompat dari duduknya, matanya membelalak ke arah jendela yang bergetar halus.
Tiba-tiba, suara Al terdengar di telepon. "Assalamu’alaikum, ada apa Nayla?"
"Al... ada orang di luar! Dia ketuk pintu belakang terus ke jendela!" bisik Nayla panik.
Alghazali terdengar menghela napas tajam. "Kunci semua jendela dan jangan mendekat ke pintu. Aku segera pulang."
"Cepat, Al! Aku takut!" suara Nayla bergetar.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan semakin keras. Kini terdengar suara lirih dari luar, seperti seseorang berbisik...
Nayla mundur perlahan, menggenggam ponselnya erat. Jantungnya berdegup kencang. Siapa yang ada di luar?
Dengan napas tercekat, Nayla berlari ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Tubuhnya bergetar hebat saat suara dari luar berubah…
Braak! Braak!
Seperti seseorang sedang mencoba mendobrak pintu.
Nayla menatap ke arah jendela kamarnya yang sudah dilengkapi teralis besi—untungnya. Ia segera mematikan lampu, menahan napas, lalu duduk bersila di pojok ruangan, memeluk lutut.
“Ya Allah… lindungi aku. Lindungi aku…” lirihnya berulang-ulang, air matanya mulai menetes.
Ia masih menggenggam ponselnya, melihat layar yang menunjukkan bahwa panggilannya dengan Alghazali masih tersambung.
“Nayla, aku sudah di jalan. 5 menit lagi sampai, tetap sembunyi. Jangan buka pintu untuk siapapun.”
Suara Alghazali terdengar tegas, tapi menenangkan.
Tiba-tiba, semua suara dari luar menghilang. Sunyi. Terlalu sunyi.
Nayla menahan napas, telinganya tajam menyimak. Tapi kini justru keheningan itu yang membuatnya makin takut. Apakah orang itu pergi… atau justru berhasil masuk?
Detik-detik terasa seperti jam. Sampai akhirnya…
Tok… tok… tok…
Kali ini suara ketukan terdengar pelan. Tapi dari pintu kamarnya.
Nayla menjerit dalam hati. “Ya Allah… jangan bilang dia udah masuk…”
Tapi kemudian… suara itu terdengar lagi, lebih jelas…
“Nayla, ini aku. Al.”
Suara itu. Suara yang dikenal. Tapi Nayla masih ragu…
Apakah benar itu Alghazali?
Ataukah hanya suara yang meniru?
Apa Nayla akan membukakan pintu?