NovelToon NovelToon
Kintania Raqilla Alexander

Kintania Raqilla Alexander

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Diam-Diam Cinta
Popularitas:943
Nilai: 5
Nama Author: Lesyah_Aldebaran

Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.

Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.

Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.

Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Tiga belas

"Apa aku bisa menolak perjodohan ini?" tanya Qilla, suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Matanya yang berkaca-kaca menatap kedua orang tuanya, sementara di dadanya ada gemuruh ketakutan dan penolakan yang tak bisa dibendung.

Qilla belum siap untuk kehidupan seperti ini. Dia masih remaja dengan banyak mimpi yang ingin dikejar, bukan mahligai rumah tangga yang belum pernah Qilla bayangkan.

"Qilla belum siap menikah," ucapnya lirih, suaranya terpotong-potong karena emosi yang membuncah. "Qilla masih punya impian yang ingin Qilla wujudkan." Gadis itu menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan isak yang nyaris pecah.

"Qilla tidak ingin hanya menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurus suami di rumah," lanjutnya dengan suara yang semakin bergetar. "Qilla ingin menjadi dokter, memiliki karir dan masa depan yang lebih luas."

Tuan Kai dan nyonya Bella terdiam, senyum mereka mengendur dan berubah menjadi ekspresi canggung dan kaku. Mereka tidak menyangka Qilla akan menolak perjodohan ini secara langsung di depan keluarga Bartels yang sangat terpandang dan di hormati oleh masyarakat.

"Nak..." Tuan Kai mencoba menenangkan dengan suara lembut, namun Qilla lebih dulu menyela dengan suara bergetar.

"Aku masih kelas satu SMP, aku masih ingin melanjutkan sekolah, aku masih ingin belajar," katanya, sementara air matanya mulai jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang merah karena menangis.

Nyonya Bella menggenggam tangan putrinya dengan erat, sementara tangan lainnya perlahan mengelus punggung Qilla yang bergetar karena tangisan. Nyonya Bella mendekat dan berbisik lembut di telinga Qilla.

"Sayang, ibu tahu ini berat bagimu," bisiknya dengan suara yang penuh empati. "Tapi kamu harus menikah. Ibu mohon, terimalah perjodohan ini... Demi ibu, ya?" Suaranya penuh harap dan permohonan, menunjukkan betapa pentingnya hal ini bagi nyonya Bella.

Melihat suasana yang semakin tegang, nyonya Lesyah segera memberi isyarat pada putranya, Brian, agar pria itu melakukan sesuatu untuk meredakan ketegangan. Brian bangkit dari tempat duduknya, tatapannya dingin namun di balik itu ada sedikit kelembutan yang terlihat.

"Qilla, ikut saya sebentar," ucap Brian dengan nada datar, namun ada kesan tenang dan meyakinkan dalam suaranya. Tanpa banyak bicara, pria itu menggandeng Qilla keluar dari ruangan VIP, meninggalkan kedua orang tua Qilla dan keluarga Bartles di belakang.

Qilla tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti Brian dengan tubuh yang masih gemetar dan mata yang sembab karna menangis. Qilla tampaknya pasrah mengikuti Brian, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Brian membawanya ke balkon kecil yang menghadap taman restoran, tempat yang sunyi dan tenang hanya dengan suara angin malam yang berhembus lembut. Lampu-lampu taman di kejauhan memberikan cahaya yang indah, menciptakan suasana yang sedikit lebih santai.

Brian melepas jas yang dikenakannya dan memakaikannya ke bahu Qilla tanpa berkata sepatah kata pun, gestur yang menunjukkan kepedulian dan perhatian. Brian masih diam, membiarkan Qilla menenangkan diri sebelum berbicara, tidak ingin memaksanya bicara sebelum gadis itu siap.

Qilla hanya menangis, tubuhnya bergetar menggigil ringan karena kesedihan yang mendalam. Brian menghela napas, lalu perlahan menarik tangan gadis itu ke dalam pelukannya, memberikan rasa aman dan nyaman.

Qilla terkejut dan matanya membelalak, namun tangisannya justru pecah semakin keras, menunjukkan betapa terkejut dan kesalnya Qilla dengan situasi ini.

"L-lepaskan... Nanti kemeja mu basah kena air mata dan ingus ku," gumam Qilla di sela tangisnya, dengan nada yang sedikit marah dan frustrasi.

"Lagi pula... Umurmu berapa sih?" tanyanya dengan nada yang sedikit keras, menunjukkan rasa tidak percaya dan ketidaksiapan.

Brian mengulas senyum kecil, menunjukkan kesan tenang dan meyakinkan. "Delapan belas," jawabnya dengan nada yang datar.

Qilla semakin larut dalam tangisnya, dengan suara yang lirih namun penuh penolakan, Qilla berkata. "Pokoknya aku nggak mau nikah denganmu!" Suaranya seperti anak kecil yang merasa dikhianati dunia, menunjukkan betapa putus asanya Qilla dengan situasi ini.

Brian mengelus punggung Qilla dengan lembut, memberikan rasa nyaman dan menenangkan. "Keputusan sudah ditetapkan, kamu akan menikah dengan saya," katanya dengan nada yang tegas namun tetap lembut.

"Tapi kamu terlalu tua buat aku..." balas Qilla cepat, masih dalam pelukan hangat Brian, suaranya penuh protes dan ketidaksiapan. "Apa itu masalah buatmu?" tanya Brian dengan nada datar, namun suaranya terdengar sabar dan tidak tergoyahkan.

"Iya... Itu masalah buat aku," jawab Qilla, suaranya masih tercekat. "Aku masih pengen sekolah... Aku masih SMP..." katanya, menekankan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan.

"Kalau begitu sekolah saja," sahut Brian dengan nada yang tenang dan tidak memaksa. "Kenapa harus menangis?" tanyanya, menunjukkan rasa ingin tahu dan kepedulian. "Saya pun masih sekolah, sama seperti kamu," tambahnya, menekankan bahwa usia dan status sekolah tidak menjadi hambatan bagi keduanya.

Qilla menggeleng pelan, menekankan perbedaannya dengan Brian. "Beda, kamu sudah kelas tiga SMA, udah mau lulus. Aku masih baru SMP, perjalanan aku masih panjang," katanya, menunjukkan betapa besar perbedaan usia dan jenjang pendidikan antara keduanya.

Brian mendengarkan dengan sabar, tidak ingin memotong perkataan Qilla, membiarkannya mengeluarkan semua perasaan dan kekhawatirannya. Setelah beberapa saat, Brian berkata dengan nada yang tenang dan meyakinkan. "Kalau kamu ingin sekolah... Ya sekolah saja. Tidak ada yang melarang kamu."

"Tapi... Kalau aku sudah menikah, aku--" Qilla mencoba menyampaikan kekhawatirannya. Namun Brian dengan cepat menanganinya.

"Kamu bisa homeschooling untuk sementara waktu. Nanti kalau kamu sudah masuk SMA, kamu bisa sekolah di tempat yang saya kelola. Kuliah pun akan saya biayai. Jadi kamu bisa tenang soal itu."

Tangisan Qilla perlahan mereda, dan dia mendongak, menatap Brian dengan mata yang masih sembab dan merah karena menangis. "B-benarkah?" bisiknya pelan, suaranya hampir hilang, menunjukkan betapa besar harapannya terhadap jawaban Brian.

Brian menatapnya dengan lembut, lalu mengangguk, satu anggukan yang menumbuhkan secercah harapan di tengah keterpaksaan yang dirasakan Qilla. Anggukan itu memberikan kesan kepastian dan keseriusan Brian dalam menghadapi situasi ini.

"Kamu juga tidak perlu memikirkan soal anak dulu," ucap Brian sambil menatap Qilla yang masih dalam pelukannya. "Aku tidak suka berbagi istri dengan yang lain, bahkan dengan anak-anak kita nanti sekalipun."

Qilla tersentak kecil, terkejut dengan kata-kata Brian. "I-istri?" ulang Qilla, suaranya tercekat dan penuh pertanyaan. Gadis itu tertegun, hatinya berdetak tak karuan mendengar kata itu keluar begitu saja dari mulut Brian.

Brian hanya mengangguk tenang, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Lalu, tanpa aba-aba, Brian mengecup singkat bibir mungil Qilla. Gadis itu langsung membeku, jantungnya berdegup kencang karena tak siap dengan sentuhan mesra seperti itu.

Matanya membesar, dan Qilla tak mampu berkata-kata, menunjukkan betapa terkejut dan bingungnya dia dengan tindakan Brian. Perasaan Qilla campur aduk, antara terkejut, bingung, dan sedikit takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Brian mengusap rambut Qilla dengan lembut, memberikan rasa nyaman dan menenangkan. "Jangan mudah terkejut," ucapnya dengan nada yang tenang dan lembut. "Ke depannya, saya akan sering melakukan ini," tambahnya, menunjukkan keseriusan dan keakraban yang ingin dibangunnya dengan Qilla.

Qilla masih diam, mencoba mengatur napas dan pikirannya yang penuh tanya. Gadis itu berusaha memahami situasi dan perasaan yang sedang dialaminya, sambil mencari cara untuk merespons tindakan Brian yang semakin mendekatkan diri padanya.

"Umm, boleh aku minta sesuatu padamu?" tanyanya dengan nada ragu dan penasaran. "Tentu, katakan saja," jawab Brian dengan nada yang ramah dan terbuka.

"Kalau suatu saat nanti aku sudah menyelesaikan homeschooling dan kembali sekolah di tempat yang kamu kelola itu... Apa kamu masih akan ada di sana?" tanya Qilla, menunjukkan rasa ingin tahu dan kekhawatiran tentang masa depan mereka.

Brian tersenyum tipis dan mengangguk kecil, memberikan kesan kepastian dan keseriusan. "Saat kamu sudah berusia enam belas tahun dan masuk SMA, saya akan menjadi salah satu guru di sana. Jadi ya... Kita akan tetap sering bertemu," katanya, menunjukkan rencana dan komitmennya untuk tetap dekat dengan Qilla.

“Kalau begitu…” Qilla menarik napas dalam-dalam. “Boleh nggak… kita pura-pura nggak saling kenal? Maksudku, di sekolah. Aku cuma ingin menjalani masa sekolah seperti anak-anak lain, tanpa tekanan apa pun. Aku pengin kita tetap jaga jarak—aku sebagai murid, dan kamu sebagai guru.”

Brian menatap Qilla dalam-dalam. Pandangannya tajam namun penuh pengertian. Brian mengangguk pelan.

“Aku bukan pria egois yang akan mengekangmu, Qilla. Aku tahu kamu masih muda dan punya banyak mimpi yang ingin kamu kejar. Aku ngerti itu,” ucapnya dengan nada tenang.

Tapi kemudian, Brian menggenggam tangan Qilla perlahan, menatapnya dengan dalam.

“Tapi kamu juga harus ingat satu hal. Kamu sudah menjadi milikku, Qilla. Jangan pernah berpikir untuk mengejar pria lain. Selama kamu jaga hatimu, aku akan membiarkanmu bebas melakukan apa pun yang kamu suka.”

Ucapan itu membuat jantung Qilla berdetak lebih cepat. Ada rasa yang sulit dijelaskan.

Brian mendekat, lalu mengecup pelipis Qilla lembut dan singkat, penuh makna.

Setelah itu, Brian berbalik dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan Qilla yang masih berdiri terpaku, mencoba mencerna setiap kata dan perasaan yang entah kenapa terasa terlalu rumit untuk usianya yang masih remaja.

1
kalea rizuky
orang kaya pasti demi harta biar g kemanaa tuh makanya di jodoin sedari kecil hadeh pak buk egois demi harta anak di korban kan meski akhirnya cinta klo enggak apa gk hancur masa depan anak katanya orang kaya tp kayak orang desa aja kelakuan
kalea rizuky
panass
kalea rizuky
koo ortunya ijinin anak nya nikah muda pdhl orang kaya knp thor
kalea rizuky
meleleh ya qil/Curse//Curse/
kalea rizuky
jd mereka uda nikah g ada flashback nya apa thor
wait, what?
yah, belum lanjut kah? :(
wait, what?
Ditunggu lanjutannya yaa kak
wait, what?
rekomendasi banget sih untuk kalian baca, seruu banget
wait, what?
seruuuu banget, aku sangat suka sama cerita nya. Ditunggu kelanjutannya
Shoot2Kill
Thor, jangan bikin kami tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutannya 😂
Shion Fujino
Menyentuh
Mabel
Wah, cerita ini anjreng banget! Pengen baca lagi dan lagi!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!