Elena
"Pria itu unik. Suka menyalahkan tapi menerima saat disalahkan."
Elena menemukan sosok pria pingsan dan membawanya pulang ke rumah. Salahkah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emma Shu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Please
Elena menarik tangan bidan gendut itu dan memaksanya untuk segera bergerak sembari meneriaki bidan itu dengan air mata yang hampir tumpah. Sungguh keji manusia yang tidak tergerak hatinya melihat orang yang sudah tak berdaya. Masih saja memikirkan materi di tengah nyawa yang terancam.
Terpaksa bidan gendut bergerak juga. Ia tidak mau dinilai tidak punya perikemanusiaan oleh keluarga pasien yang melongokkan kepala melihat kegaduhan yang terjadi di kamar yang dihuni Dava.
Bidan gendut keluar kamar. Tak lama kemudian kembali dengan stetoskop di dada. Menekan-nekan dada Dava dengan stetoskop. Lalu meletakkan termometer di ketiak Dava. Menunggu sebentar dengan tenang. 41,8 derajat celcius. Sangat panas. Dia kemudian keluar lagi. Dan kembali dengan membawa obat turun panas, dua keping saja.
“Minumkan itu,” ketus si gendut sambil mengamati pakaian Dava. Kemudian pergi. Begitu saja. Sama sekali tak ada pelayanan istimewa untuk pasien sakit keras seperti Dava.
Elena menyentuh-nyentuh kening, leher dan tangan Dava dengan penuh kecemasan. Panas sekali. Dipeluknya erat-erat tubuh kecil Dava. Berusaha memberi kehangatan sebisanya. Kemudian ia berbisik menyebut nama Dava, membangunkannya dengan suara halus.
Sungguh malang nasib orang miskin, selalu diremehkan. Apakah sehat hanya milik orang kaya? Hanya milik mereka yang beruang? Apakah orang miskin tidak boleh sakit?
Ya Tuhan, adilkah ini? Maaf jika Elena protes, tapi pahitnya hidup membuat Elena ingin memuntahkan segala yang berjubel dalam benak.
Katanya Tuhan itu maha adil? Lalu kenapa ini yang Elena raakan? Dimana letak keadilan itu?
Tak lama kemudian, bidan gendut datang lagi. Masih dengan wajah culas, dia berkata, “Kau boleh pulang.”
Elena melirik bidan gendut tajam. Sudah sedemikian parah keadaan Dava, tapi hati si gendut tidak meleleh. Ingin sekali Elena memaki bidan itu. Kok bisa ada manusia berprofesi bidan yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan sepertinya? Bukankah mereka sudah dididik untuk mengutamakan nyawa pasien? Tapi Elena sadar mereka adalah manusia, mau dididik bagaimanapun, serakah ya tetap serakah.
“Kak.. Kak Elena!”
Elena menoleh ke sumber suara. “Dava!” pekik Elena mendengar Dava menyebut namanya. Ia mengguncang bahu Dava yang terpejam dan kini tak sadarkan diri.
Seorang bidan berjilbab ungu menerobos masuk kamar. Sebentar mengamati kondisi Dava, kemudian segera bertindak cepat. Dengan tenang ia melakukan pekerjaan yang sudah menjadi kesehariannya. Dia meminta Elena untuk keluar dulu. Sebab kepanikan Elena dapat membuyarkan konsentrasinya.
Tanpa banyak tanya, Elena keluar. Lalu mondar-mandir di depan pintu kamar yang baru saja tertutup. Gelisah membalut batin. Selain memikirkan kondisi Dava, pikirannya terbagi memikirkan Salva, adik perempuannya yang baru berumur tujuh tahun. Apa yang dikerjakan Salva di rumah yang gelap seorang diri? Hanya pelita dari teplok kecil yang menjadi penerang. Hujan deras lagi. Dia pasti ketakutan.
Keluarga pasien yang lain duduk di kursi tunggu, sebagian menemani keluarga yang sakit di kamar masing-masing. Tapi Elena, tidak bisa menjejakkan kaki dengan tenang. Dia melihat dengan jelas sorot mata Dava yang lemah tadi. Bibirnya biru. Sekujur tubuhnya pucat pasi. Berakhir dengan tak sadarkan diri. Tak pernah ada kejadian begini sebelumnya. Dava yang kurus itu tetap terlihat ceria meski sering kali terserang flu dan demam.
Bidan berjilbab ungu keluar. Disusul bidan gendut.
“Adikmu harus dirawat …”
“Dia boleh dibawa pulang,” Bidan gendut memotong ucapan bidan berjilbab ungu. Bidan berjilbab ungu menoleh seniornya. Terdiam. Tak lagi bisa bicara. Tertunduk segan.
“Bawalah dia pulang,” lanjut si gendut dengan sorot mata tajam.
Elena balas menatap tajam.
To be continued
Love,
Emma Shu
kan revan hampir dirampok crita'a