Hutang budi membuat Aisyah terpaksa menerima permohonan majikan sang ayah. Dia bersedia meminjamkan rahimnya untuk melahirkan anak Satria dengan Zahra melalui proses bayi tabung.
Satria terpaksa melakukan hal itu karena dia tidak mau menceraikan Zahra, seperti yang Narandra minta.
Akhirnya Narandra pun setuju dengan cara tersebut, tapi dengan syarat jika kesempatan terakhir yang dia berikan ini gagal, maka Satria harus menikahi Gladis dan menceraikan Zahra.
Gladis adalah anak dari Herlina, adik tiri Narandra yang selalu berhasil menghasut dan sejak dulu ingin menguasai harta milik Narandra.
Apakah usaha Satria dan Zahra akan berhasil untuk mendapatkan anak dengan cara melakukan program bayi tabung?
Yuk ikuti terus ceritaku ya dan jangan lupa berkarya tidaklah mudah, jadi kami para penulis mohon dukungannya. Terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia Fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. PESAN ZAHRA
Satria dan Aisyah sudah sampai di rumah Pak Yusuf. Kemudian merekapun menyamperin Pak Yusuf yang baru saja pulang dari rumah kediaman Narandra.
"Selamat sore Pak!" sapa Satria.
"Lho, ternyata kamu pergi dengan Den Satria Nak? Bapak pikir kamu masih di kantor?"
"Nggak Pak, tadi Mbak Zahra menjemput jadi Aisyah izin nggak masuk."
"Iya Pak, tadi Zahra mengajak Aisyah berbelanja. Oh ya Pak, ada yang ingin saya katakan, besok kami akan menikah."
"Kok terburu-buru Den, apa Den Satria dan Non Zahra udah yakin untuk melanjutkan rencana itu. Bapak nggak mau hubungan kita jadi tidak baik bila apa yang Aden dan Non Zahra inginkan tidak tercapai."
"Bisa saja kan program itu gagal, dan Zahra tidak hamil. Apa ngga akan sia-sia Den?"
"Semua usaha memiliki resiko Pak, berhasil atau tidaknya tergantung yang di atas."
"Iya sih Den. Tapi Bapak harap, semuanya dipikir matang-matang dulu, jangan terburu-buru."
"Kami sudah pikirkan semuanya Pak dan semua perlengkapan juga sudah siap. Besok, pukul 10 pagi, akad nikah akan dilaksanakan."
"Bagaimana dengan kamu Nduk? Kamu yakin akan tetap melakukannya? Kamu tidak akan menyesal?"
"Iya Pak, Aisyah sudah yakin."
"Baiklah jika begitu, Bapak hanya bisa mendoakan semoga semua rencana berjalan lancar dan Den Satria bisa segera menjadi orangtua."
"Aamiin, terimakasih ya Pak. Oh ya Pak, Nanti sopir akan menjemput Aisyah, malam ini dia harus sudah tinggal di rumah Baru. Bapak tinggal saja di sana menemani Aisyah."
"Maaf Den, Bapak di sini saja. Biarlah Aisyah yang di sana. Kamu nggak apa-apa kan Nduk, jika Bapak nggak ikut?"
"Tapi, Bapak harus jaga kesehatan, makan yang teratur walau Aisyah nggak di sini. Aisyah nggak mau melihat Bapak sakit."
"Iya Nduk, kamu jangan pikirkan hal itu. Kamu fokus saja dengan rencana kalian biar bisa cepat berhasil."
Aisyah pun mengangguk, lalu dia hendak ke dapur untuk mengambil minum untuk Satria. Namun Satria menolak dan pamit pulang.
Satria kembali mengingatkan jika acara akan dilaksanakan jam 10, jadi Satria berharap Pak Yusuf akan hadir sebagai wali nikah.
Setelah pamit, Satria pun kembali ke rumah dan dia tidak mendapati Zahra ada di kamar. Lalu Satria mencarinya ke balkon dan ternyata Zahra memang sedang di sana.
Zahra sering menghabiskan waktunya di sana daripada keluar rumah. Dia lebih senang menyendiri.
Tanpa Zahra sadari, Satria memeluk pinggangnya dari belakang lalu menciumi tengkuk serta ceruk leher sang istri.
Zahra membalas pelukan mesra sang suami, lalu mencium tangannya.
Sesaat mereka menikmati suasana romantis yang biasa mereka lakukan setiap kali Satria sepulang dari kantor.
"Mas, besok kan Mas akan resmi menjadi milik Aisyah juga, aku mohon sayangi dia ya, seperti Mas menyayangiku."
"Hemm, tidak mungkin bisa sama Ra. Aku mencintaimu, sedangkan dengan Aisyah, aku tidak mempunyai rasa itu."
"Harus belajar Mas, demi anak kita. Aku mau anak kita lahir bukan karena terpaksa, tapi juga karena cinta. Aku yakin Mas bisa, Aisyah gadis baik dan dia juga cantik. Bahkan lebih cantik dariku."
"Mas janji ya, sayangi dia meski hanya sampai anak kita lahir."
Satria terdiam, dia sebenarnya berat melakukan pernikahan ini. Cintanya hanya untuk Zahra dan dia tidak yakin bisa mencintai Aisyah.
"Kenapa Mas diam?"
"Hemm, baiklah! Mas akan coba. Mas sebenarnya nggak habis pikir Ra, kenapa kamu bisa setenang ini. Padahal besok, kamu harus berbagi suami dengan wanita lain."
"Semua ini aku lakukan demi kita dan keluarga Narandra. Aku harus berkorban untuk kebahagiaan ku juga. Dan aku ingin segera menjadi ibu."
Tidak terasa air mata pun menetes tapi Zahra buru-buru menghapusnya. Dia tidak mau sampai Satria melihatnya bersedih.
"Ayo sayang kita masuk, lihatlah sebentar lagi maghrib."
"Sebentar lagi Mas, aku masih ingin seperti ini. Oh ya Mas, besok setelah acara selesai, aku langsung berangkat."
"Memangnya kamu mau kemana Sayang? Kamu harus tetap di sini. Aku nggak mau kamu pergi kemanapun!" ucap Satria sembari membalikkan tubuh Zahra hingga mereka saling berhadapan.
Zahra tersenyum, lalu melanjutkan ucapannya, "Aku mau menjenguk Bapak/Ibu Mas. Nggak lama kok, paling 3 minggu. Aku harap setelah pulang dari sana, ada kabar baik dari kalian Mas."
"Jika aku tetap di sini, bagaimana Mas akan fokus dengan Aisyah. Tinggallah bersama Aisyah Mas, pergunakan waktu itu untuk menumbuhkan kasih sayang di antara kalian."
"Tidak Ra, aku tidak bisa. Aku tidak mau berpisah denganmu terlalu lama. Sebaiknya kita batalkan rencana ini dan kita pergi dari sini untuk menata hidup kita sendiri."
"Jangan Mas, apa Mas mau melihat Papa kecewa. Cuma Mas Satria harapan beliau. Kita tidak boleh egois, cuma ini yang beliau minta dari kita."
Satria terdiam, dia sangat berat untuk melepaskan kepergian Zahra.
"Kalau nggak kamu pending saja dulu. Nanti kita pergi sama-sama. Bila perlu ajak Aisyah."
"Nggak Mas, aku tetap harus berangkat besok, Ibu sudah sangat rindu dan beliau sudah meminta adik-adik untuk kumpul semua di kampung."
"Tolong Mas, ikhlasin keberangkatan ku ya. Aku janji, akan kembali secepatnya."
"Satu minggu saja ya, tidak boleh lebih! Aku pasti merindukanmu."
"Baiklah, tapi jika Bapak dan ibu memberi izin ya Mas."
"Nanti aku yang akan ngomong ke mereka. Masa iya mereka tega membiarkan kita terlalu lama berjauhan."
"Ayo Mas kita masuk, kita sudah dipanggil, cepat gih mandi, biar kita bisa berjamaah."
"Iya, tapi kasi dulu dong," pinta Satria sembari menunjuk bibir, kedua pipi dan keningnya.
Hampir saja Zahra lupa, karena dia sibuk menutupi perasaannya agar tidak menangis.
Setelah memberikan beberapa kali kecupan, keduanya pun kembali ke kamar untuk melaksanakan ibadah.
Setelah selesai, Zahra mengajak Satria ke ruang makan, karena Narandra dan Gladis sudah menunggu mereka.
Saat mereka tiba, Gladis mencebikkan bibirnya, lalu dengan pedas dia berkata, "Lambat sekali, apa kamu tidak tahu Zahra, jika Papa sudah kelaparan sejak tadi!
"Maaf Pa, Mas Satria telat pulang karena tadi mengantar Aisyah dulu. Sebentar ya Pa, Zahra ambilkan nasinya."
Zahra pun mengambilkan makanan untuk Narandra dan juga Satria, setelah itu baru untuk dirinya sendiri.
Sementara Gladis sudah asyik menikmati makanannya. Dan makannya terhenti saat ponselnya berdering. Seorang teman telah menunggunya di luar.
Orang itu adalah suruhan Herlina yang membawa obat untuk menjalankan rencana mereka.
"Mau kemana Dis! Habiskan dulu makananmu!" pinta Narandra.
"Sebentar Pa, ada teman di luar. Nanti Gladis balik lagi setelah menemuinya."
Tanpa menunggu jawaban, Gladis pun bergegas pergi. Dan dia melihat seorang pemuda mengantarkan obat tersebut sembari berkata, "Kenapa musti pakai obat Mbak, alami lebih enak."
Gladis melotot, dia merasa tidak senang saat kurir itu ikut campur dengan masalahnya.
Sang kurir tersenyum, lalu pergi setelah menerima uang jasa ongkirnya.
Bersambung....