NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 : Mulai Tak Terkendali

Malam telah larut saat Samantha membuka pintu apartemennya. Lampu ruang tamu masih menyala temaram, aroma sup hangat yang ia siapkan di pagi hari sudah menguap entah sejak kapan. Di sofa, Leonard tertidur dengan posisi setengah duduk, masih mengenakan kaus dan celana pendek, dengan remote televisi tergeletak di pangkuannya. Wajahnya lelah, seperti pria yang menunggu tanpa kepastian.

Samantha berdiri di ambang pintu untuk waktu yang terlalu lama. Sepatunya masih terpasang, mantel masih membungkus tubuhnya yang letih bukan karena pekerjaan... tapi karena kebohongan.

Ia menatap Leonard dari kejauhan, dan hatinya teriris.

Apa yang kau lakukan, Sam?

Perlahan, ia berjalan mendekat dan duduk di sisi sofa. Leonard tidak terbangun, hanya menggumam pelan, memutar tubuh, dan menarik selimut tipis ke atas perutnya.

Samantha menatap wajah suaminya. Ada garis-garis letih di sana yang dulu tidak pernah ada. Tatapan yang dulu hangat dan percaya kini berubah menjadi keraguan yang sunyi, dan ia tahu… sebagian besar luka itu berasal darinya.

Tangannya terulur, nyaris menyentuh pipi Leonard… tapi ia urungkan.

Apa yang bisa kau sentuh, jika kau sendiri telah ternoda?

Ia bangkit kembali, melepaskan sepatu pelan-pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi. Di balik cermin, wajahnya sendiri menatap balik dengan mata sembab yang coba ia tutupi dengan bedak. Bibirnya masih merekah merah, dan samar, ia bisa mencium sisa aroma tubuh Nathaniel pada kulitnya sendiri.

Ia menyentuh lehernya. Tanda samar itu masih ada.

Air mata pertama jatuh tanpa peringatan.

Lalu yang kedua.

Dan kemudian, tubuhnya terisak tanpa suara di dalam kamar mandi.

Bukan hanya rasa bersalah… tapi kehampaan yang datang setelah gairah padam. Di sisi Nathaniel, ia merasa hidup. Tapi di sisi Leonard, ia merasa bersalah karena hidupnya terlalu diam.

Ia ingin jujur. Tapi apa yang akan tersisa setelah kejujuran itu dilontarkan?

Ketika ia kembali ke kamar dan berbaring di sisi Leonard, tubuh suaminya bergeser sedikit, seolah menyambutnya secara naluriah. Tapi pelukan itu tidak datang. Hangat itu telah berubah menjadi dingin yang diam-diam menjauh.

Dan Samantha hanya bisa berbaring di sana… memeluk dirinya sendiri dalam diam.

Pagi akan datang.

Dan kebohongan ini akan kembali dikenakan seperti setelan kerja yang rapi.

...****************...

Langit sore menggantung sendu di balik jendela apartemen mereka. Di meja makan, Leonard duduk menunggu dengan dua piring pasta yang hampir dingin. Ia sudah menyiapkan makan malam sejak dua jam lalu, lampu temaram, musik jazz lembut, dan anggur merah yang belum disentuh.

Samantha datang terlambat. Lagi. Dengan langkah cepat dan tatapan lelah, masih mengenakan setelan kerja, rambut diikat asal, dan aroma parfum kantor yang samar-samar tercampur dengan kopi basi dan dokumen.

"Maaf," katanya cepat. "Tadi ada rapat tambahan. Aku harus ke cabang barat, lalu mampir ke kantor pusat."

Leonard tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku cuma pikir… malam ini kita bisa makan bersama. Sedikit waktu untuk kita berdua."

Samantha menunduk, membuka jaket dan menggantungnya tanpa menjawab.

Leonard berdiri, menghampirinya, mencoba menyentuh lengan Samantha, menyusuri jemarinya, menawarkan kehangatan.

Namun Samantha tersentak halus, menepis pelan, seolah reflek yang tak bisa dikendalikan. "Aku… belum mandi. Tangan dan tubuhku bau kertas dan printer. Jangan sekarang."

Leonard menatapnya, masih mencoba memahami. "Tak masalah. Kamu tetap cantik. Aku cuma rindu kamu, Sam."

Samantha memaksakan senyum, tapi tidak berkata apa-apa. Ia bergegas ke kamar mandi, meninggalkan meja makan dengan dua piring pasta yang akhirnya dingin sempurna.

Usai mereka menandaskan pasta yang dingin, Malam itu, Leonard mengajak Samantha menonton film. Sebuah film romantis yang mereka pernah tonton waktu masih pacaran, film yang dulu membuat mereka tertawa, menangis, dan berpelukan di sofa.

Tapi kali ini, Samantha duduk jauh. Lengannya terlipat, matanya setengah memperhatikan layar, separuhnya lagi kosong menatap kekosongan.

Saat Leonard mencoba menyentuh wajahnya, membelai pipinya, Samantha menghindar. "Kepalaku sakit," katanya pelan.

Leonard tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap layar yang tak lagi penting. Mencoba berpura-pura tidak kecewa. Tapi malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.

Di kamar, ketika Leonard tertidur lebih dulu dengan tubuh miring membelakangi dunia, Samantha duduk di tepi ranjang.

Ia menatap bayangannya di cermin. Wajah yang lelah. Mata yang tak bisa membohongi. Tubuhnya yang masih menyimpan aroma pria lain , aroma yang melekat meski sudah berkali-kali ia bersihkan.

Tangannya menggenggam erat selimut.

Aku kotor.

Aku tidak pantas menyentuhnya.

Leonard terlalu baik untuk tahu apa yang sudah kulakukan.

Tapi jika aku tidak menuruti Nathaniel, semuanya akan hancur…

Samantha menutup wajahnya, menahan sesak yang menekan dadanya. Bukan hanya karena kebohongan yang terus ia tumpuk, tapi karena rasa jijik pada dirinya sendiri yang kian hari makin tak bisa disangkal.

Dan di luar kamar, waktu terus berjalan… menghitung mundur menuju titik pecah.

...****************...

Di balik kesuksesan, terkadang ada tangan yang tak terlihat. Mengatur arah angin, menggeser fondasi dari dalam. Dan ketika segalanya runtuh, tak ada yang tahu siapa yang memetik hasilnya.

Pagi itu biasa saja.

Langit masih mengambang kelabu di atas kota, dan di sudut ruang kerjanya yang sederhana, Leonard menatap layar laptop dengan napas teratur. Secangkir kopi menghangatkan telapak tangannya, dan sebuah senyum kecil terbit saat ia membuka email dengan subjek: “Finalisasi Pendanaan – Bridgestone Lab.”

Inilah saatnya.

Tiga bulan diskusi. Dua kali presentasi eksekutif. Puluhan jam rapat daring lintas zona waktu.

Investasi 3 juta dolar dari J.W. Holdings Asia.

Dana yang akan menyelamatkan operasional tim. Membuka jalur ekspansi. Menunjukkan pada dunia bahwa Bridgestone bukan hanya mimpi idealis, tapi masa depan digital logistik negeri ini.

Tapi saat email itu dibuka, dunia Leonard mulai retak.

"Terima kasih atas kesabaran Anda. Kami mohon maaf atas keterlambatan proses. Internal kami perlu waktu tambahan sebelum keputusan akhir bisa diambil."

Kalimat itu tampak sopan. Tapi kosong.

Hari berlalu tanpa kabar. Minggu menjadi bayang-bayang gelap.

Telepon tak diangkat. Email tak dibalas. Nomor-nomor hilang dari direktori. Situs resmi mendadak tidak aktif. Bahkan kantor yang tertera di Singapura... tak lebih dari ruang sewa satu malam yang sudah kosong.

Leonard tertipu.

Tertipu bukan oleh calo jalanan, tapi oleh seseorang yang tahu caranya membuat kebohongan tampak seperti janji emas. Ia meminjam dana sementara dari bank untuk mempersiapkan operasional dan inventori. Ia percaya pada ucapan yang tampak logis, percaya pada kontrak tak resmi, percaya bahwa dunia bisnis bisa dibangun dengan niat baik.

Sekarang, karyawannya gelisah.

Proyek-proyek mandek. Dua klien besar mengundurkan diri, satu karena ketakutan, satu karena rumor. Dan yang paling menyakitkan: ia harus memecat dua orang terdekatnya hanya untuk membayar bunga dari utang yang seharusnya tertutup oleh dana yang tak pernah datang.

Ia menyalahkan dirinya sendiri.

Tapi ia tak pernah tahu, bahwa langkah-langkah itu...sudah dirancang dengan presisi sejak awal.

Seseorang memegang benang nasibnya dari balik tirai.

Seseorang dengan nama lain. Dengan wajah yang ramah dan senyum menenangkan.

Seseorang bernama Nathaniel Graves.

Dan ini bukan hanya soal bisnis.

Ini soal mendekatkan seorang wanita bernama Samantha.

Dengan cara yang paling licik, dan paling sunyi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!