Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keintiman yang Mencekik
Udara di dalam ruangan terasa menipis, ditarik paksa keluar dari paru-paru Hwa-young. Kata-kata Yi Seon menggema, bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran dingin yang merayap di lantai, naik ke kakinya, dan membekukan jantungnya di tempat.
Para pelayan menyelesaikan tugas mereka dengan keheningan yang menakutkan, setiap gerakan mereka terukur dan senyap seolah mereka adalah hantu. Mereka tidak berani menatap Putri Mahkota yang berdiri kaku seperti patung pualam, atau Pangeran Mahkota yang memancarkan aura dingin seorang pemenang.
Satu per satu, mereka membungkuk dan mundur, meninggalkan ruangan itu. Pintu geser ditutup dengan bunyi klik yang lembut, tetapi bagi Hwa-young, suara itu terdengar seperti gerendel penjara yang dikunci.
Mereka sendirian.
Keheningan yang menyusul terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ruangan yang tadinya adalah wilayah kekuasaannya, tempat perlindungan satu-satunya, kini telah dilanggar. Terbelah dua. Satu sisi masih miliknya, dengan meja rias dan kotak sulamannya. Sisi lainnya kini milik Yi Seon, dengan meja tulis yang kokoh, rak senjata kecil yang mengancam, dan ranjang lipat yang tampak seperti sarkofagus.
Yi Seon berjalan santai ke meja tulisnya. Ia meletakkan sebuah gulungan perkamen di atasnya, gerakannya disengaja, seolah menandai wilayah barunya.
“Kau tidak suka dengan penataan barunya?” tanyanya, memecah keheningan. Nada bicaranya ringan, tetapi penuh dengan ejekan.
Hwa-young tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, matanya menyala dengan api yang tertekan.
“Ini kamarku,” katanya akhirnya, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang tajam dan dingin.
“Kamar kita,” koreksi Yi Seon, berbalik menghadapnya. Ia bersandar di meja, menyilangkan tangannya di dada. “Kau lupa sumpah pernikahan kita begitu cepat, Nyonya? Dalam suka dan duka, dalam sakit dan sehat. Dan kau, seperti yang kita tahu, sedang sangat ‘sakit’.”
Sarkasme itu menetes dari setiap katanya.
“Saya tidak butuh pengasuh,” desis Hwa-young.
“Oh, aku setuju,” balas Yi Seon. “Kau tidak butuh pengasuh. Kau butuh seorang sipir penjara. Dan karena kau adalah istriku, kehormatan itu jatuh kepadaku.”
“Kehormatan?” Hwa-young tertawa kecil, tawa yang kering. “Anda menyebut ini kehormatan? Menginvasi ruang pribadi saya, mengubahnya menjadi barak pribadi Anda?”
“Aku menyebutnya kewajiban suami,” sahut Yi Seon. “Nenekku sangat khawatir. Ia berpikir kau mungkin mencoba ... menyakiti dirimu sendiri. Atau mungkin mencoba ‘berjalan-jalan’ lagi. Aku di sini untuk memastikan kau tetap aman. Dan tetap di tempat.”
Hwa-young menatapnya lekat-lekat. Ia mengamati cara pria itu berdiri, sedikit tegang di bahunya meskipun posturnya santai. Ia melihat cara jari-jarinya mengetuk pelan lengannya sendiri, sebuah kebiasaan yang menunjukkan kegelisahan. Ia bukan pemenang yang tenang. Ia adalah seekor anjing yang diperintahkan untuk menjaga, dan ia tidak menyukainya.
Di kehidupan sebelumnya, ia melihat Yi Seon hanya sebagai perpanjangan tangan Keluarga Kang. Sebuah boneka yang dingin dan kejam. Tapi sekarang, di sini, dalam keintiman yang mencekik ini, ia melihat sesuatu yang lain. Retakan-retakan kecil di fasadnya.
“Nenek Anda,” ulang Hwa-young pelan, kini kehilangan sedikit ketajamannya, digantikan oleh rasa ingin tahu yang dingin. “Semua ini karena nenek Anda yang khawatir?”
“Tentu saja,” jawab Yi Seon, alisnya sedikit terangkat oleh perubahan nada Hwa-young.
“Beliau yang menyuruh Anda pindah ke sini?”
“Itu adalah keputusanku sendiri,” potong Yi Seon cepat, terlalu cepat. “Sebagai suamimu.”
“Benarkah?” Hwa-young mengambil satu langkah maju. “Atau beliau memberimu perintah, dan kau, sebagai cucu yang patuh, tidak punya pilihan selain menurutinya? Kau membungkus perintahnya dengan kedok ‘kewajiban suami’ agar kau bisa mempertahankan sedikit dari harga dirimu yang tersisa.”
Wajah Yi Seon mengeras. “Jaga bicaramu.”
“Kenapa? Apakah kebenaran menyakitkan, Yang Mulia?” Hwa-young terus menekan. Ia merasakan pergeseran kekuasaan. Ini bukan lagi tentang invasi ruangannya. Ini tentang invasi ke dalam jiwa pria itu. “Anda membenci ini sama seperti saya, bukan? Anda benci berada di sini. Anda benci harus mengawasiku seolah aku adalah seorang anak kecil yang nakal. Tapi Anda lebih benci lagi pada fakta bahwa Anda tidak punya kuasa untuk menolaknya.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentangku,” geram Yi Seon, mendorong dirinya menjauh dari meja.
“Oh, aku tahu lebih dari yang Anda kira,” balas Hwa-young. “Aku tahu Anda membenci mereka. Keluarga Kang. Anda membenci cara nenek Anda mengatur setiap napas yang Anda ambil. Anda benci bagaimana mereka menjadikan Anda Pangeran Mahkota boneka yang bahkan tidak bisa memilih di mana ia akan tidur di malam hari.”
Setiap kata adalah anak panah beracun yang ditembakkan dengan presisi. Hwa-young melihatnya mendarat. Ia melihat kilat amarah yang terluka di mata Yi Seon. Ia telah menembus pertahanannya.
“Cukup!” bentak Yi Seon, bergema di ruangan yang sunyi.
“Tidak,” Hwa-young menggelengkan kepalanya. “Tidak akan cukup sampai Anda mengakuinya. Anda bukan musuhku, Yi Seon. Bukan musuh utamaku. Kita berdua adalah burung di dalam sangkar yang sama. Hanya saja sangkarmu sedikit lebih besar dan lebih berkilau.”
“Omong kosong,” cibir Yi Seon, mencoba mendapatkan kembali kendali. “Jangan coba-coba memanipulasiku. Kau pikir aku akan jatuh pada cerita sedih tentang ‘musuh bersama’? Kau sama berbahayanya dengan mereka. Kau punya agendamu sendiri. Aku melihatnya sejak malam pernikahan kita. Wanita yang seharusnya penurut dan ketakutan tiba-tiba menjadi ahli strategi yang dingin.”
“Orang berubah saat mereka didorong hingga batasnya,” jawab Hwa-young tenang.
“Atau mereka hanya menunjukkan warna aslinya,” balas Yi Seon. “Kau menantang nenekku, mencoba menyelinap keluar, dan sekarang kau mengirim pelayanmu dalam misi konyol ke Sayap Barat. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau cari?”
Hwa-young membeku.
“Kau pikir aku tidak tahu tentang permintaan anehmu untuk ‘daun perak’?” lanjut Yi Seon, senyum kemenangan yang kejam mulai tersungging di bibirnya. Ia pikir ia telah membalikkan keadaan. “Kau pikir nenekku tidak melaporkan setiap gerakan bodohmu kepadaku? Ia bahkan menertawakannya. Betapa putus asanya dirimu, mengincar jurnal-jurnal tua ibumu seolah itu adalah sebuah harta karun.”
Hati Hwa-young mencelos. Jadi Matriarch Kang memberitahunya. Tentu saja. Wanita itu menggunakan setiap kesempatan untuk menunjukkan pada Yi Seon betapa tidak kompeten dan tidak stabilnya istrinya. Untuk membuatnya tetap berada di sisinya.
“Anda salah,” kata Hwa-young, bergetar, kali ini, getaran itu nyata. Campuran antara amarah dan kekecewaan.
“Oh ya? Lalu untuk apa kau mengirim pelayan ke sana? Untuk menikmati arsitektur yang berdebu?” ejek Yi Seon.
“Saya hanya ingin…”
“Kau ingin apa? Menemukan rahasia yang bisa kau gunakan untuk melawan kami?” potong Yi Seon. “Kau benar-benar naif. Kau pikir kami akan menyimpan sesuatu yang begitu penting di brankas tua yang bisa disusupi oleh pelayan paling bodoh di istana ini?”
Yi Seon tertawa, tawa yang merendahkan. “Nenekku membiarkan jalan itu terbuka lebar untukmu. Ia ingin melihatmu berjalan masuk ke dalam perangkapnya. Ia ingin menangkapmu basah, mempermalukanmu di hadapan semua orang. Dan kau, seperti seekor ngengat yang bodoh, hampir terbang langsung ke dalam api.”
Kata-kata itu mengkonfirmasi semua ketakutan Hwa-young. Tapi di dalam penghinaan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang ganjil. Cara Yi Seon mengatakannya ... seolah ia tahu lebih banyak.
Hwa-young mengangkat dagunya. “Mungkin saya memang naif. Tapi setidaknya saya mencoba melakukan sesuatu. Tidak seperti Anda, yang hanya duduk manis dan menerima perintah seperti anjing peliharaan yang baik.”
Umpan itu berhasil. Wajah Yi Seon memerah karena marah. Harga dirinya yang terluka membuatnya ceroboh.
“Anjing peliharaan?” desisnya, melangkah maju hingga mereka hanya berjarak satu lengan. “Kau berani menyebutku begitu? Kau, yang bahkan tidak bisa merencanakan penyusupan sederhana tanpa memberitahu seluruh istana? Kau pikir kau pintar?”
“Saya tahu di mana jurnal-jurnal itu berada,” tantang Hwa-young, sebuah gertakan murni. “Di brankas Sayap Barat.”
Yi Seon tertawa lagi, kali ini lebih keras dan lebih pahit. “Itu dia! Itu bukti kebodohanmu! Kau benar-benar percaya itu? Kau benar-benar berpikir nenekku akan membiarkan peninggalan Ratu sebelumnya, seorang wanita yang ia benci, tersimpan di tempat yang begitu jauh dari jangkauannya?”
Napas Hwa-young tertahan di tenggorokannya.
“Brankas di Sayap Barat itu hanya umpan, idiot,” lanjut Yi Seon, amarah membuatnya lupa diri. Ia ingin menyakiti Hwa-young dengan pengetahuannya, untuk menunjukkan betapa superior dirinya. “Tempat untuk menyimpan dokumen-dokumen lama yang tidak berharga. Sampah. Untuk menipu pencuri rendahan sepertimu.”
“Lalu ... di mana?” bisik Hwa-young, matanya terpaku pada mata Yi Seon, melihat kebenaran yang akan tumpah dari sana.
“Kau tidak akan pernah bisa menyentuhnya,” cibir Yi Seon. “Benda sepenting itu, benda yang bisa merusak reputasi Keluarga Kang jika isinya terungkap ... benda itu tidak akan pernah meninggalkan tempat yang paling diawasi di seluruh istana.”
Ia berhenti sejenak, menikmati momen kemenangannya, tidak menyadari bahwa ia sedang berjalan lurus ke dalam perangkap Hwa-young.
“Jurnal-jurnal itu ada di bawah hidungnya setiap hari,” lanjutnya dengan suara penuh kemenangan yang beracun. “Di tempat yang tidak akan pernah berani kau masuki. Tempat di mana setiap helai kertas dicatat dan setiap bayangan diawasi.”
Yi Seon tersenyum sinis, senyum yang akan ia sesali seumur hidupnya.
“Jurnal-jurnal itu ada di kantor pribadi Kepala Sekretarisnya.”