Jing an, seorang penulis yang gagal, secara ajaib terlahir kembali sebagai Luo Chen, Tuan Muda lugu di dalam novel xianxia klise yang ia benci. Berbekal 'Main Villain System' yang bejat dan pengetahuan akan alur cerita, misinya sederhana... hancurkan protagonis asli. Ia akan merebut semua haremnya yang semok, mencuri setiap takdir keberuntungannya, dan mengubah kisah heroik sang pahlawan menjadi sebuah lelucon tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Selagi Luo Chen menenggelamkan dirinya dalam rasa sakit dan kekuatan iblis, Floating Cloud City sedang dilanda badai yang tak kalah hebatnya.
Berita tentang apa yang terjadi di Aula Utama Klan Luo menyebar lebih cepat daripada wabah, menjadi topik pembicaraan terpanas di setiap kedai teh, restoran, dan rumah bordil.
Tapi, cerita yang beredar di jalanan telah mengambil bentuk yang sama sekali berbeda dari kenyataan.
Tentu saja, Klan Luo tidak akan duduk diam dan membiarkan citra mereka hancur. Dengan sedikit sentuhan propaganda yang disebar secara strategis, ceritanya telah berputar 180 derajat. Versi yang paling populer di kalangan masyarakat kurang lebih seperti ini:
Klan Xiao yang sombong, melihat kejeniusan Xiao Linyu, merasa Tuan Muda Klan Luo tidak lagi pantas untuknya. Mereka datang dengan angkuh untuk membatalkan pertunangan. Namun, mereka salah perhitungan.
Tuan Muda Luo Chen, yang selama ini menyembunyikan kekuatannya di balik tubuh yang lemah, meledak dalam amarah yang luar biasa. Dia tidak hanya menolak pembatalan itu, tetapi dia balik mencampakkan "Phoenix" Klan Xiao itu di depan umum.
Dia mengusir Patriarch Xiao dan putrinya, menyatakan dengan dominan bahwa Klan Luo-nya tidak akan pernah sudi berbesan dengan klan yang tidak tahu malu dan tidak setia.
Dalam semalam, reputasi Luo Chen berubah total. Dari "Tuan Muda Sampah" yang dikasihani, dia menjadi "Tuan Muda yang gagah berani" yang dikagumi. Seorang pria sejati yang lebih mementingkan kehormatan klan daripada kecantikan semata.
Di dalam kediaman Klan Xiao, suasananya sedingin neraka es.
CRASH!
Sebuah vas porselen seharga seribu Spirit Stones hancur berkeping-keping di dinding ruang kerja Patriarch Xiao Zhan. Wajahnya merah padam, dan dia terengah-engah seperti banteng yang terluka parah.
"BAJINGAN! LUO TIAN SIALAN ITU! BERANINYA DIA MEMUTARBALIKKAN FAKTA!" teriaknya, aura Foundation Establishment Realm-nya menekan seluruh ruangan. "Mereka membuat Klan Xiao kita terlihat seperti badut murahan! Kumpulkan para tetua! Kita akan serang mereka malam ini juga! Aku akan meratakan Klan Luo!"
"Hentikan, Ayah."
Suara itu terdengar dingin, tajam, dan benar-benar tanpa emosi.
Xiao Zhan tertegun dan berbalik. Di sudut ruangan yang remang-remang, putrinya, Xiao Linyu, duduk dengan tenang. Dia sedang menyeka pedang kesayangannya, 'Azure Frost', dengan kain sutra. Sejak kembali dari Klan Luo, dia tidak menangis. Dia tidak berteriak. Dia hanya menjadi lebih diam, lebih dingin, dan seratus kali lebih menakutkan.
"Apa maksudmu 'hentikan'?!" bentak ayahnya. "Kita telah dipermalukan di depan seluruh kota!"
"Dan menyatakan perang sekarang hanya akan membuat kita terlihat lebih menyedihkan," balas Xiao Linyu, matanya tidak pernah terangkat dari bilah pedangnya yang berkilauan. "Itu akan terlihat seperti kita menyerang karena kita tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku yang dicampakkan."
Dia mengucapkan kata "dicampakkan" itu dengan racun yang pekat.
Dia berdiri, gerakannya anggun namun mematikan. Dia menyarungkan pedangnya dengan satu gerakan klik yang memuaskan.
Auranya berfluktuasi dengan liar di sekelilingnya, tanda yang jelas bahwa dia berada di ambang terobosan. Penghinaan luar biasa yang dia terima hari itu, alih-alih menghancurkan mentalnya, telah menjadi bahan bakar murni untuk amarahnya. Itu telah menjadi iblis hati yang mendorong kultivasinya ke tepi batas.
"Aku akan memasuki pelatihan tertutup," katanya, berjalan menuju pintu. "Turnamen Akbar Kota tinggal satu bulan lagi."
Dia berhenti di ambang pintu, punggungnya menghadap ayahnya.
"Aku tidak butuh seluruh klan untuk membalaskan dendamku," desisnya, niat membunuh yang dingin membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. "Di atas panggung turnamen itu, di depan mata seluruh Floating Cloud City, aku akan melawannya."
Dia menoleh sedikit, matanya bersinar seperti es yang retak di bawah sinar bulan.
"Aku akan mematahkan setiap tulang di tubuhnya. Aku akan menghancurkan Dantiannya. Dan aku akan membuatnya berlutut, memohon ampun padaku sebelum aku mengakhirinya."
"Aku akan membuatnya mengerti," lanjutnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Bahwa seekor serangga... seharusnya tahu diri dan tidak pernah berani menantang seekor Phoenix."
Sementara dua kekuatan besar di Floating Cloud City, Klan Luo dan Klan Xiao memasuki periode keheningan yang mencekam, mempersiapkan badai berikutnya, di sudut lain kota, nasib yang seharusnya menjadi pusat dari semua peristiwa ini sedang berjuang sendirian.
Di halaman paling terpencil dan bobrok di kediaman Klan Lin, seorang pemuda kurus sedang berlatih keras. Namanya adalah Lin Feng.
Dia berulang kali mempraktikkan 'Basic Fist Form' Klan Lin, sebuah teknik bela diri yang paling dasar. Setiap pukulannya lemah, dan setelah beberapa gerakan, dia akan terbatuk hebat, wajahnya pucat.
Meridiannya yang rusak membuatnya nyaris mustahil untuk mengumpulkan energi spiritual. Dia hanya bisa berlatih secara fisik, tetapi tubuhnya juga lemah karena kekurangan gizi.
"Sial... Sial!" geramnya, memukul pilar kayu yang sudah lapuk di sampingnya. Tangannya langsung tergores dan berdarah.
Rasa sakit fisik itu tidak seberapa dibandingkan dengan penghinaan yang baru saja dideritanya. Selama beberapa hari terakhir, dia telah mendengar desas-desus itu. Desas-desus yang tidak masuk akal.
"Luo Chen... mencampakkan Xiao Linyu?" gumamnya tak percaya. "Bagaimana mungkin? Sampah manja itu... berani melakukan hal seperti itu?"
Di dalam hatinya, Lin Feng membenci Luo Chen lebih dari siapa pun. Bukan hanya karena Luo Chen adalah tunangan dari wanita yang diam-diam dia kagumi, Xiao Linyu, tetapi karena Luo Chen adalah simbol dari semua hal yang dia benci... seorang Tuan Muda yang terlahir dengan segalanya namun tidak memiliki bakat maupun kemauan keras. Dia adalah sampah yang dimanjakan, sementara Lin Feng adalah jenius yang telah jatuh.
Tapi sekarang... sampah yang dimanjakan itu dipuji sebagai pahlawan yang dominan. Dan dia, Lin Feng, telah dilupakan. Seolah-olah dia bahkan tidak cukup penting untuk menjadi figuran dalam cerita ini.
"Hahaha, lihat! Itu dia, si jenius yang jatuh!"
Suara tawa yang mengejek datang dari pintu masuk halamannya. Dua pemuda dari generasi yang sama, Lin Hong dan Lin Tao, berjalan masuk dengan langkah angkuh. Mereka adalah orang-orang yang dulu menjilatnya saat dia masih disebut jenius, dan yang pertama menginjaknya saat dia jatuh.
"Berhenti membuang-buang waktumu, Lin Feng," kata Lin Hong sambil tersenyum sinis. "Kau tidak akan pernah bisa pulih. Kau adalah aib bagi Klan Lin."
"Setidaknya dulu kau adalah aib yang paling terkenal," timpal Lin Tao, tawanya lebih keras. "Sekarang, kau bahkan bukan apa-apa! Semua orang di kota sedang membicarakan Tuan Muda Luo Chen. Dia berani mencampakkan Phoenix Klan Xiao! Itu baru pria sejati!"
"Benar!" seru Lin Hong. "Dibandingkan dengan dia, kau ini apa? Kau bahkan tidak berani berbicara dengan Xiao Linyu! Dia mungkin bahkan sudah lupa kalau dia pernah punya 'pengagum rahasia' sampah sepertimu! Hahaha!"
Setiap kata itu seperti pisau yang menusuk harga diri Lin Feng.
"DIAM!" teriak Lin Feng, matanya merah. Dipenuhi amarah, dia menerjang ke depan, melayangkan pukulan lemahnya ke arah Lin Hong.
Lin Hong bahkan tidak perlu menghindar. Dia hanya mengangkat tangannya dan menangkap pergelangan tangan Lin Feng dengan mudah.
"Beraninya kau, dasar sampah?"
Dengan satu sentakan, dia melempar Lin Feng ke tanah.
BRUK!
Lin Feng jatuh terjerembap, punggungnya menghantam batu di tepi taman. Rasa sakit yang tajam menjalar di tubuhnya.
"Pah!" Lin Tao meludah ke tanah di samping Lin Feng. "Tetaplah di sini di tumpukan sampah. Jangan biarkan kami melihat wajahmu di aula latihan."
Kedua pemuda itu tertawa terbahak-akak dan berjalan pergi, meninggalkan Lin Feng yang terbaring tak berdaya di tanah yang dingin.
Lin Feng mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa putus asa yang dalam mengancam untuk menelannya. Dia gagal. Dia tidak berdaya. Dia adalah sebuah lelucon.
"Aku tidak akan menyerah..." bisiknya dengan gigi terkatup. "Aku tidak akan..."
Darah dari tangannya yang tergores, yang kini bercampur dengan debu, menetes ke cincin hitam polos yang melingkar di jarinya. Cincin itu adalah satu-satunya peninggalan dari ibunya.
Tiba-tiba, cincin hitam itu berkedip dengan cahaya redup yang tak terlihat. Darah Lin Feng diserap olehnya dalam sekejap.
BZZZZT!
Sensasi sedingin es menjalar dari jarinya, langsung menuju ke lautan kesadarannya. Kepala Lin Feng terasa seperti terbelah dua. Sebelum kegelapan menelannya utuh, dia mendengar sebuah suara kuno dan bingung bergema di dalam benaknya.
"Ugh... akhirnya aku bangun? Setelah seribu tahun, aku terbangun di dalam tubuh bocah yang meridiannya hancur berantakan ini? Sial sekali nasibku..."
Suara itu berhenti sejenak, seolah sedang merasakan sesuatu.
"...Tunggu dulu. Kenapa... kenapa aura takdir di dunia ini begitu kacau? Seolah-olah... seolah-olah ada sesuatu yang datang dan dengan paksa merobek jaring takdir..."