Ayu Lestari namanya, dia cantik, menarik dan pandai tapi sayang semua asa dan impiannya harus kandas di tengah jalan. Dia dipilih dan dijadikan istri kedua untuk melahirkan penerus untuk sang pria. Ayu kalah karena memang tak memiliki pilihan, keadaan keluarga Ayu yang serba kekurangan dipakai senjata untuk menekannya. Sang penerus pun lahir dan keberadaan Ayu pun tak diperlukan lagi. Ayu memilih menyingkir dan pergi sejauh mungkin tapi jejaknya yang coba Ayu hapus ternyata masih meninggalkan bekas di sana yang menuntutnya untuk pulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rens16, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Anakku bukanlah anakku
Waktu berjalan begitu cepatnya, hari itu usia kehamilan Ayu sudah menginjak ke sembilan bulan lebih beberapa hari, waktu kelahiran bayinya yang semakin mendekat.
Seluruh keluarga menantikan kelahiran bayi yang telah diketahui jenis kelaminnya itu dengan sukacita.
Apalagi Yasa dan Inggrid yang begitu menantikan kehadiran cucu yang tak bisa terwujud pada pernikahan Surya dengan istri pertamanya.
Kasih sayang dan perhatian kedua orang tua itu tertuju sepenuhnya kepada calon cucu mereka yang bahkan belum lahir ke muka bumi ini.
Sementara sang ibu yang tak lain adalah Ayu itu disayang hanya karena keberadaannya yang sedang mengandung.
Berulang kali Ayu mengelus perutnya yang membulat sempurna, rasanya sudah semakin tak nyaman, mulas yang datang dan pergi sesuka hati.
Surya masuk ke dalam kamarnya dan menatap Ayu yang sedang duduk sambil bersandar pada papan ranjang.
"Mules lagi, Ay?" tanya Surya sambil duduk di sisi ranjang samping Ayu.
"Iya!" jawab Ayu.
Surat tersenyum penuh arti. Sepanjang mereka menikah, bisa dipastikan komunikasi keduanya hanya terjalin saat membicarakan kehamilan Ayu.
Tanpa seorang pun tahu apa yang Ayu rasakan saat itu, penderitaannya, jeritan hatinya, tak ada satu orang pun yang peduli, hanya Yanti yang bisa merasakan semua yang Ayu rasakan.
"Aduh duh, perutku sakit, Mas!" teriak Ayu sambil mencengkeram sprei dengan erat.
Surya siaga, dengan langkah cepat dia mencari Simbok untuk menyiapkan semuanya. Ayu mau melahirkan!
"Pelan-pelan, Ay!" Surya menuntun Ayu dengan langkah pelan menuju ke mobilnya.
"Mbok, tolong kasih tahu Ibu dan Bapak, Ayu mau melahirkan!" Setelah mengatakan itu Surya melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Empat puluh menit dan mereka sampai ke rumah sakit yang dituju. Seorang perawat menyambut kedatangan mereka.
Sebuah kursi roda telah disediakan dan Ayu duduk disana. Perawat mendorong kursi roda itu ke instalasi khusus ibu hamil.
Perawat itu mendorong kursi roda itu tepat di samping brankar. Dokter telah bersiap.
Setelah Ayu naik ke atas pembaringan, dokter kandungan dan seorang bidan yang membantunya memeriksa keadaan Ayu.
"Udah komplit nih, Dok!" Bidan menyahuti saat melihat air ketuban sudah mulai merembes keluar.
"Siapkan semuanya!" Perintah sangat dokter lembut.
Semua bersiap, alat-alat disiapkan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan atau lebih tepatnya kalau ada kejadian urgent yang tak diharapkan.
"Pak Surya!" panggil dokter kepada Surya yang sedang duduk menunggu dengan gelisah di bangku depan ruangan bersalin.
"Bu Ayu siap melahirkan, apakah Bapak ingin masuk ke dalam untuk menunggui?" tanya Dokter tersebut memberi penawaran, karena di rumah sakit itu memperkenankan apabila suami pasien ingin memberikan pendampingan kepada sang istri yang sedang melahirkan.
"Saya takut darah, Dok!" Surya menolak karena dia memang betul-betul takut darah dan disamping itu Surya juga risih melihat Ayu yang seperti itu.
Praktis selama mereka menikah Surya hanya sekali bermesraan dengan Ayu dan Ayu langsung hamil anak mereka.
Dokter mengangguk lalu kembali ke dalam untuk memimpin proses kelahiran itu.
"Gimana, Ya?" Inggrid yang datang bersama Yasa dan Puspa menatap Surya yang duduk sendirian di bangku itu.
"Barusan Dokter masuk ke dalam, Bu!" jawab Surya.
Puspa duduk menempel kepada suaminya, sekian lama tak bisa berjumpa karena Surya dipaksa tinggal di rumah Ayu untuk mendampingi istri keduanya itu yang lagi hamil, jujur Puspa rindu.
"Semoga anak kamu lahir dengan selamat!" Yasa dengan santainya hanya memikirkan keselamatan calon cucunya dan sama sekali tak menghiraukan kondisi Ayu.
Satu jam berselang, suara tangisan bayi yang melengking dengan kerasnya terdengar sampai di ruang tunggu itu.
"Mas, dedeknya lahir!" Puspa berdiri dan meraba hatinya yang berdetak dengan kencang.
"Alhamdulillah!" ucap Surya dan Inggrid hampir bersamaan.
Dokter mendorong pintu itu dari dalam dan menghampiri Surya.
"Selamat Pak Surya, bayinya lahir dengan selamat, cowok dan lengkap ya, Pak!" ucap dokter dengan nada bahagia.
"Alhamdulillah!" ucap Surya dengan mata berkaca-kaca.
"Bagaimana kondisi Ayu, Dok?" tanya Surya tak tega kalau terjadi apa-apa dengan Ayu.
"Ibunya juga sehat dan tak kekurangan sesuatu apapun juga, Pak!" jawab dokter itu.
"Syukurlah!" ucap Surya tadi membuat Puspa sedikit cemburu.
"Mari silakan, Pak! Bapak bisa melakukan kontak kulit dengan putranya!" Dokter pun mempersilakan Surya masuk ke dalam ruangan itu.
Surya menatap Ayu yang terlihat lemah dan lelah, perlahan Surya mendekat dan mencium kening itu dengan lembut sambil berbisik, "Terima kasih, Sayang!"
Ayu tersenyum lemah lalu Surya bergeser untuk menerima bayi mungkin yang ada dalam gendongan perawat itu.
Tangan Surya bergetar hebat saat merasakan sentuhan pertamanya dengan sang buah hati.
Surya mendekap dan menempelkan dada kecil itu ke dadanya lalu mengucapkan sebait doa ke telinga mungil itu.
Hanya perlu beberapa menit dan bayi itu kembali diambil untuk dibawa ke ruangan bayi sambil diperiksa kesehatannya secara menyeluruh.
Keluarga Yasa mendampingi bayi tersebut, sementara Surya dan Puspa memilih tinggal untuk melihat Ayu dipindahkan ke kamar rawatnya.
Tak lama kemudian Ayu di bawa ke kamar rawatnya dan sang bayipun di bawa ke sana setelah melakukan berbagai rangkaian cek kesehatan.
"Ya ampun, ganteng banget anak Mama!" Puspa langsung menatap wajah bayi ganteng yang sedang tidur lelap di dalam boxnya.
Deg! Jantung Ayu berdetak dengan kencang saat Puspa, Surya dan kedua orang tuanya mengerubuti box itu dan menjadikannya primadona baru.
Ayu merasa tersisih melihat betapa keluarga itu langsung mengesampingkan dirinya yang masih dalam proses recovery.
Ayu memejam dan menahan segala amarah serta kecewanya. Dia semakin sadar bahwa keberadaannya di keluarga itu hanyalah sebatas mesin pencetak keturunan untuk mereka.
Rasa lelahnya, sakitnya bahkan emosinya yang belum sepenuhnya stabil itu tak membuat keluarga itu mengesampingkan egonya dan memperhatikan kestabilan mentalnya yang belum pulih benar.
"Dia benar-benar ganteng ya, Mas!" puji Puspa dengan mata berbinar. Meskipun di wajah mungil itu ada perpaduan wajah suaminya dan Ayu, tapi Puspa mengesampingkan semua itu.
Puspa sadar kelemahannya dan menerima takdir bahwa dia belum bisa memberikan keturunan untuk keluarga Yasa.
Saat itu hanya kondisi itulah yang bisa menyelamatkan pernikahannya hanyalah lahirnya anak dari benih sang suami, itu cukup buat Puspa.
"Nanti aku akan siapkan kamar bayi untuk dia ya, Mas!" ucap Puspa antusias.
Deg! Jantung Ayu berdetak semakin menyepat. Dia bahkan belum memeluk anaknya sendiri dengan sepuasnya tapi kakak madunya itu telah menyabotasenya sejak dini.
Ternyata sejak awal anakku memang bukan anakku lagi!
Dan rasa tertolak dan disingkirkan itu membuat mental Ayu rapuh dan dia mengalami baby blues.