Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Bab 7
Keesokan harinya, Aryo merasa jantungnya berdegup kencang saat menyiapkan diri untuk tugas barunya: mengawal Bu CEO Andara secara pribadi. Pikiran tentang waktu berduaan dengan seorang wanita sekelas Meliana membuatnya sedikit cemas sekaligus antusias. Pikirannya berkecamuk, namun dia menekankan diri untuk tetap profesional. Tugasnya jelas—mengamankan CEO dari segala kemungkinan bahaya, bukan urusan pribadi.
Teleponnya berdering di pagi hari. Nomor yang muncul sama sekali asing. Dengan hati-hati, Aryo mengangkatnya.
“Halo?” suaranya terdengar tegas tapi sedikit tegang.
“Aryo,” terdengar suara perempuan dari seberang. Awalnya Aryo tak mengenali. “Dengan siapakah ini?” tanyanya, mencoba tetap profesional.
“Turun ke lobby sekarang.” Suara itu dingin, tajam, dan tanpa basa-basi. Lalu telepon itu ditutup.
Detik-detik berikutnya, Aryo baru sadar. Itu suara Meliana, CEO yang harus dia lindungi. Jantungnya berdegup lebih kencang, rasa gugup bercampur kagum—apa yang terjadi sampai ia harus langsung dipanggil turun begitu?
Dia segera mengenakan jasnya, memeriksa identitas, lalu naik lift menuju lobby. Begitu pintu lift terbuka, dia melihat Meliana duduk di sofa lobby, postur tubuhnya anggun dan penuh wibawa. Aryo menahan diri agar tidak menatap terlalu lama kaki dan paha CEO itu, meski sulit. Tanpa basa-basi, Meliana berdiri, melenggang ke arah pintu keluar dengan langkah mantap, seolah setiap gerakannya adalah latihan catwalk profesional. Aryo tahu, tugasnya adalah mengikutinya dan memastikan keamanan sepenuhnya.
Meliana berjalan ke mobil sedan hitam mewah yang sudah menunggu di depan lobby. Ia berdiri dengan tangan satu di pinggang, bak model papan atas, mata menatap jauh ke depan. Aryo terpaku beberapa detik, membiarkan dirinya kagum, hingga suara tajam Meliana memerintah:
“Hei, bukakan pintu untukku!”
Aryo buru-buru membungkuk, membuka pintu penumpang untuk Meliana sambil menahan senyum. “Silakan, Bu CEO.”
“Jangan cengar-cengir. Kata Papa kamu ditugaskan jadi supirku sekaligus pengawal pribadi. Jadi jangan kepedean.” Suara Meliana tajam, penuh ketegasan.
Aryo merasakan panas di pipinya, tapi menelan rasa itu. Demi hubungan profesional dan keselamatan CEO, ia tetap tenang.
“Laksanakan saja tugasmu, jangan membuatku kesal,” lanjut Meliana, duduk di kursi penumpang dan menyilangkan kaki dengan elegan, menutupi dengan bantal kecil. “Luruskan pandanganmu ke jalan, jangan melotot.”
Aryo menyalakan mobil, membaca rute dari aplikasi peta, dan mulai mengemudi. Jalanan Kota J pagi itu sibuk, tapi Aryo tetap fokus, matanya tetap awas ke sekeliling dan ke kaca spion tengah, memperhatikan Meliana sesekali tanpa terlihat.
“Kalau suka mengintip, itu penyakit loh,” ejek Meliana tiba-tiba, suaranya menembus kabin. “Kejiwaanmu harus diperiksa. Aku heran Papa merekomendasikan orang sepertimu masuk ke Andara Group. Ada-ada saja.”
Aryo tetap diam. Hatinya panas, tapi ia menenangkan diri. Ia sadar bahwa Meliana berbicara dengan nada bercanda tapi juga menantang.
“Kalau diajak bicara, jawab. Kenapa? Kehabisan napas melihat perempuan cantik sepertiku?” Meliana menambahkan dengan nada mengejek.
“Baik, Bu CEO. Aku janji tidak akan mengintip lagi,” jawab Aryo, suaranya terdengar patuh namun sedikit canggung.
Perjalanan berlanjut dalam hening, hanya suara mesin mobil dan lalu-lintas pagi Kota J yang terdengar. Setelah beberapa kilometer, Meliana menambahkan komentar yang membuat Aryo sedikit tersentak.
“Aku tidak heran kamu bisa doyan sama cewek seperti Sania. Kalian itu selevel,” katanya tiba-tiba.
Aryo menoleh sebentar, terkejut. “Maksudnya bagaimana, Bu CEO?”
“Kamu tidak tahu ya? Sania lantai tiga itu kan memang sering menggoda cowok-cowok segedung. Haha, kamu kena juga ya. Ya iyalah, kamu kan otak mesum. Digoda sedikit ya kena. Memang seleranya seperti itu.”
Aryo menegakkan punggung, menahan amarah. “Jangan sembarangan menyebut seseorang seperti itu, Bu CEO. Lagipula, dia lebih baik dari kamu dalam beberapa hal.”
Meliana menertawakan komentarnya, sedikit mengejek. “Oh ya? Dilihat dari mana? Selera Hongkong?”
“Ya, dia lebih baik kalau bicara,” balas Aryo tegas, mencoba meluruskan, meski jantungnya berdebar.
“Cuma lelaki rendahan yang tidur sama cewek lagi mabuk,” ejek Meliana lagi, membuat Aryo semakin geram.
“Tidak seperti itu ceritanya, Bu CEO,” Aryo tampak gelisah. Ia ingin meluruskan gosip ini, tapi ia tahu percuma.
Meliana menertawakan, “Halah. Bilang saja, kamu memang memanfaatkan momen. Otak mesum oportunis.”
Aryo menekankan nafasnya. “Kalau memang benar kenapa? Kamu cemburu? Tunangannya malah tidur sama cewek lain?”
“Idih, menjijikkan kalian itu ya. Sudah menyetir saja sana,” hardik Meliana. Aryo kembali menenangkan diri, fokus pada jalan. Ia tahu, untuk memikat hati Meliana, ia tidak boleh membalas kata-kata itu dengan nada tinggi.
Beberapa menit kemudian, Meliana menambahkan, “Di depan temanku nanti, lebih baik kamu diam saja. Jangan banyak bicara.”
“Kenapa ya, Bu CEO?” Aryo bertanya dengan lembut.
“Sudah, jangan banyak tanya. Nanti di sana kamu diam saja di pojokan, diam seperti anjing yang baik,” perintah Meliana. Aryo menelan kecewa, disebut sebagai “anjing” lagi, tapi ia tetap menahan diri.
“Aku tekankan ya, meskipun Papa bersikeras menjodohkan kita, aku tidak akan menurutinya. Titik,” tegas Meliana.
“Yaa, baik, Bu CEO. Aku menurut saja,” Aryo menjawab santai, menelan rasa frustrasi.
Mereka tiba di kediaman teman Meliana, kawasan PIK, Kota J Utara. Begitu keluar dari mobil, seorang perempuan cantik dengan rambut panjang berponi langsung memeluk Meliana.
“Thania!” seru Meliana, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Sudah lama ya kita tidak bertemu.”
“Iya, aku kangen. Kamu sih sibuk terus. Dengar-dengar kamu sudah tunangan ya?” Thania menatap Aryo dengan rasa ingin tahu.
“Ah, gosip saja itu,” balas Meliana cepat, memberi tanda pada Aryo untuk diam.
Thania melirik Aryo penasaran. “Siapa cowok ganteng ini?” tanyanya, sambil menjulurkan tangan.
Aryo memperkenalkan diri dengan sopan, mencium punggung tangan Thania. “Saya Aryo Pamungkas.”
“Nama yang bagus. Kamu tunangannya Meliana ya?” Thania cekikikan. Meliana mencubitnya, membuat Aryo tersipu.
“Sudah, yuk ke dalam,” ajak Meliana. Aryo mengekor Meliana dan Thania, mencermati setiap sudut rumah yang megah dan ramai dengan tamu-tamu kelas atas. Ia memperhatikan keamanan, memastikan tidak ada yang mencurigakan.
Meliana dan Thania duduk di bar sambil bercanda. Aryo berdiri beberapa meter, tetap waspada. Dalam hati ia menilai: “Cantik, sukses, tapi mulutnya kurang tatakrama. Aku akan ubah itu.”
Percakapan Meliana dan Thania berlanjut tentang tunangan Aryo, membuat Aryo harus menahan senyum dan menjaga profesionalitas.
Tiba-tiba, dari pintu utama, seorang pria necis masuk, dikawal enam bodyguard. Gayanya sombong, seakan seluruh dunia miliknya. DJ berhenti memainkan musik.
Thania mengeluh, “Ngapain datang sih. Padahal tidak kuundang.”
Pria itu mendekati Thania, menyentuh dagunya tanpa izin. Aryo segera maju, menyiapkan diri.
“Kamu memang tidak diundang, Jerry Zola. Aku gak suka lagi sama kamu,” bentak Thania, menepis tangan Jerry.
“Itu tidak pantas. Apalagi kamu calon istriku,” balas Jerry Zola. Aryo menilai situasi dengan cepat, mencari celah ancaman.
Thania menegaskan, “Aku menolak perjodohan ini. Aku tidak mau menikah denganmu, Jerry Zola.” Suaranya lantang, tegas, tetapi tetap sopan.
Jerry Zola menyeringai, kesal dengan penolakan itu. “Kenapa memangnya? Dengan aku, kamu bisa punya segala yang kumiliki, semuanya!”
“Aku tidak butuh semua itu. Aku bisa berusaha sendiri, dan itu bukan milikmu. Itu milik orangtuamu, bukan kamu,” balas Thania dengan nada penuh keyakinan.
Jerry tampak murka. Ia menendang meja kecil hingga sebuah guci mahal terjatuh dan pecah berkeping-keping. Semua tamu yang hadir menatap ke arah keributan itu dengan terkejut, beberapa mengerutkan kening. Aryo menggelengkan kepala, tidak mengerti bagaimana seseorang bisa kehilangan kontrol seperti itu.
“Sudahlah, Jerry. Lebih baik kamu pulang saja. Jangan buat tamu-tamuku tidak nyaman,” tegas Thania, tetap menjaga wibawa.
Bodyguard-bodyguard Thania maju, menempatkan diri di antara Jerry Zola dan tamu-tamu, memberi peringatan tegas agar mundur. Aryo melihat celah dan semakin mendekat ke Thania dan Meliana. Tangannya sedikit mengepal, siap menghadapi ancaman jika situasinya semakin berbahaya.
“Kamu tidak akan kulepaskan, Thania! Ingat itu!” teriak Jerry Zola, telunjuknya menuding tajam ke arah Aryo juga. Matanya memicing, menilai kemampuan pria di depannya. Aryo tetap tenang, namun setiap otot tubuhnya siap bergerak jika diperlukan. Ia tahu, satu langkah salah bisa berakibat fatal.
Jelas sudah terjadi pertikaian terbuka, bagaimana kelanjutannya...
Bersambung.