Ben Wang hidup kembali setelah kematian tragis yang membuka matanya pada kebenaran pahit—kekasihnya adalah pengkhianat, sementara Moon Lee, gadis sederhana yang selalu ia abaikan, ternyata cinta sejati yang tulus mendukungnya.
Diberi kesempatan kedua, Ben bertekad melindungi Moon dari takdir kelam, membalas dendam pada sang pengkhianat, dan kali ini… mencintai Moon dengan sepenuh hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
“Ben, apa kamu sedang bercanda? Pernikahan kita sudah ditetapkan, kenapa ditunda?” tanya Viona dengan nada manja, matanya menatap penuh ketidakpercayaan.
Ben tetap tenang, bahkan tersenyum tipis. “Pernikahan adalah untuk seumur hidup. Untuk saat ini aku belum memikirkan tentang pernikahan. Viona juga masih muda, di usianya sekarang sangat cocok untuk mengejar karier dan melakukan apa saja yang dia inginkan. Sama sepertiku—aku masih ingin fokus pada bisnisku. Setelah semuanya stabil, barulah kita membicarakan soal pernikahan.”
Steven Lu, yang sejak tadi menyimak, tiba-tiba tertawa lebar. “Ha ha ha… Ben, Paman suka dengan sifatmu. Ini adalah pikiran pria dewasa. Kalau begitu Paman tidak akan ragu menyerahkan putri Paman kepadamu di masa depan.”
Joe Ling pun mengangguk setuju sambil tersenyum. “Ben bukan hanya tampan, tapi juga sangat dewasa. Viona, kau harus sabar menunggu. Ini demi masa depan kalian.”
Viona menggigit bibirnya, hatinya mendidih. “Tapi aku harus menunggu sampai kapan?” tanyanya dengan nada getir, meski berusaha tetap manis di depan kedua orang tuanya.
Ben menoleh menatapnya, lalu tersenyum seolah menenangkan. “Pernikahan adalah selamanya. Bukankah kita sudah bersama beberapa tahun? Hanya menunggu beberapa bulan saja kau tidak sabar?”
Ucapan itu menusuk hati Viona. Senyum Ben yang pura-pura tenang justru membuatnya merasa dipermalukan di depan orang tuanya.
Steven menepuk meja ringan, mencoba menengahi. “Benar kata Ben. Biarlah dia fokus pada bisnisnya. Setelah kalian menikah, Ben akan punya banyak waktu untukmu, Viona.”
Tak lama kemudian, pelayan restoran mendorong troli berisi hidangan yang baru saja disiapkan. Ia berhenti di depan meja, lalu dengan penuh hormat meletakkan semangkuk bubur panas di hadapan Ben.
“Ini pesanan Anda, Tuan Wang,” ucap pelayan itu, sebelum undur diri dengan sopan.
Ben menatap bubur itu sejenak, lalu dengan tenang mendorong mangkuk tersebut ke arah Moon. Gerakannya mantap, seolah memang sudah dipersiapkan.
“Ben, kenapa kau tidak makan? Itu kan pesananmu,” tanya Viona, alisnya mengernyit penuh curiga.
Ben hanya tersenyum samar. “Tiba-tiba saja seleraku berubah. Aku lebih ingin mencicipi hidangan pesananmu saja.” Ucapannya terdengar santai, namun membuat suasana sedikit tegang.
Moon menatap bingung pada bubur di hadapannya. Uap panas mengepul, aroma lembut menusuk hidungnya, tapi kebingungannya lebih besar daripada seleranya.
“Selama aku mengenalnya, dia tidak pernah makan bubur. Tidak masuk akal juga kalau dia memesan ini untukku,” batin Moon, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ben yang memperhatikan tatapan Moon mendadak tersenyum tipis. “Apakah ada emas yang tersimpan di dalam bubur, sehingga kau menatapnya begitu lama?” ucapnya, nadanya terdengar santai, namun tatapannya menusuk.
“T-tidak!” jawab Moon tergagap, buru-buru menunduk.
“Habiskan.” Suara Ben kini lebih tegas, nyaris seperti sebuah titah.
Moon menghela napas kecil, lalu mengangguk pelan. “Iya.” Dengan tangan sedikit gemetar, ia meraih sendok dan mulai menyendok bubur itu.
Viona menggenggam sumpitnya erat-erat, hatinya terasa tersayat. “Sejak kapan Ben peduli pada orang lain, apalagi seorang sekretaris kecil? Semua ini tidak beres… Moon, jangan berpikir kau bisa menang dariku.”
Beberapa saat kemudian.
Setelah makan malam selesai, Moon berjalan ke toilet wanita. Ia berdiri di depan wastafel, membasuh tangannya dengan air hangat. Tatapannya kosong pada cermin, wajahnya terlihat lelah.
"Makanan hari ini sungguh memuaskan perutku. Biasanya aku harus berhati-hati memilih makanan, hanya bisa masak bubur nasi sederhana demi menghemat uang. Aku tidak tahu apakah Ben sengaja memesankannya untukku atau tidak. Tapi aku berterima kasih padanya. Meski begitu… sampai kapan aku harus begini? Hidupku seolah dikendalikan oleh Ben dan Viona. Ingin pergi jauh, tapi tidak bisa."
Moon menghela napas panjang.
“Cukup hanya semangkuk bubur, jangan merasa seolah kau sedang diperhatikan,” sindir sebuah suara dari belakang.
Moon menoleh. Viona berdiri di ambang pintu, melangkah masuk dengan senyum sinis.
“Aku tidak berpikir seperti itu,” jawab Moon datar, mencoba tetap tenang.
Di luar sana, Ben baru keluar dari toilet pria. Langkahnya terhenti. Ia samar-samar mendengar suara Viona dari dalam toilet wanita, membuatnya refleks menajamkan telinga.
“Kau sudah lihat sendiri, kan? Ben berjanji akan menikahiku setelah semuanya stabil. Dia sangat mencintaiku. Dia sama sekali tidak memandangmu,” ucap Viona dengan nada penuh kemenangan.
“Tidak perlu mengingatkanku. Aku tidak butuh dia memandangku,” balas Moon, suaranya lembut namun tegas.
Viona terkekeh kecil. “Masih saja sombong. Siapa yang tidak tahu kalau kau menyukainya sejak universitas? Semua orang menertawakanmu waktu itu, gadis miskin yang berani bermimpi terlalu tinggi. Ben adalah pria sempurna, idaman semua wanita. Tapi hanya aku yang berhasil mendapatkan hatinya. Tanpaku, dia tetap tidak mungkin menoleh pada gadis sepertimu.”
Moon menatap Viona lewat pantulan cermin. Matanya jernih, tanpa ragu. “Katakan saja apa yang kau inginkan, Viona. Aku tidak pernah berharap apa pun darinya. Dia atasan, aku bawahan. Jadi berhenti khawatir aku akan ‘merebutnya’ darimu.”
“Kenapa aku harus khawatir?” Viona mendengus, melipat tangannya di dada. “Ben adalah pria yang setia. Ada begitu banyak wanita cantik di luar sana, mana mungkin dia akan menyukaimu? Aku berada jauh di atas levelmu. Kau hanya anak yatim tanpa asal-usul, sedangkan aku dan Ben adalah pasangan yang direstui semua orang.”
Moon tersenyum tipis, senyum yang menyimpan luka. “Aku tahu. Tapi aku juga mengingatkanmu. Aku hanya fokus pada pekerjaanku. Aku tahu kau berharap aku dipecat, karena itu kau terus merekayasa cerita untuk menjatuhkanku. Dan Ben, karena terlalu tergila-gila padamu, selalu mempercayaimu tanpa menyelidiki lebih jauh. Akhirnya aku yang jadi sasaran amarahnya.”
Moon menarik napas dalam, suaranya kini lebih mantap. “Viona, aku hanya ingin bekerja dengan tenang. Aku tidak berniat menggodanya, apalagi menjadi pasangannya. Aku punya hidupku sendiri. Aku tidak ingin terlibat dengan hubungan orang lain.”
Viona menatap Moon dingin. “Ingat kata-katamu. Malam ini ambil berkas yang kuberikan. Selesaikan sebelum Ben masuk kerja besok. Lembur saja kalau perlu. Yang penting tugasmu selesai.”
Moon menahan napas, mencoba tetap tenang. “Viona, kau lulusan universitas ternama. Kenapa setiap kali proposal sulit, selalu aku yang mengerjakannya? Proposalmu kubetulkan, lalu kau pakai. Untuk apa kau bekerja di sana kalau begini?”
Wajah Viona memerah. Ia melangkah maju. “Beraninya kau melawanku!” bentaknya, lalu mengangkat tangan hendak menampar.
Moon sigap menahan tangannya. “Jangan keterlaluan,” sahutnya, suaranya bergetar menahan emosi. “Dua tahun aku di sini, tak sehari pun kau lepaskan aku. Aku yang lembur memperbaiki kerjaanmu, lalu aku juga yang disalahkan di depan Ben. Kenapa kau terus menyiksaku seperti ini?”
Viona mendengus, lalu merendahkan suara, penuh ancaman. “Apa kau tidak ingin nenekmu tetap dirawat di rumah sakit? Atau mau membiarkan dia meninggal begitu saja?”
Moon menggertakkan gigi, wajahnya menegang. “Jangan jadikan nenekku alat untuk mengancamku.”
Viona menatap tajam, mendekat. “Lakukan atau tidak? Kalau kau bolos besok, kau akan kehilangan pekerjaan. Aku juga bisa membuat nenekmu diusir dari rumah sakit. Dan jangan harap ada perusahaan lain yang mau menerima orang sepertimu. Jadi, kau pilih yang mana?”