"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah selir kerajaan Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan karena trah mereka lebih unggul. Tapi ternyata ini berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak. Maafkanlah mbah Demang ya Nduk," ucap Mbah Demang padaku seraya mengatupkan kedua tangannya padaku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Matahari telah naik sepenggalah di langit Timur. Raden Soemitro berusaha membuka mata dengan lebar karena ia masih begitu mengantuk akibat begadang semalam. Tetiba ia teringat perempuan semalam yang memintanya untuk datang ke acara buka selambu di pasar desa sebelah. Mau tak mau membuat matanya terbuka.
Berhubung saat ini ia telah menjabat sebagai demang dan memiliki Jadwal kunjungan desa yang telah ditentukan oleh VOC, ia melihat jadwal yang tertera pada sebuah kertas yang diterimanya kemarin saat di kantor bupati VOC. Ternyata ia masih belum aktif masuk. Ia masih memiliki hari libur untuk dua hari ke depan.
Selain jadwal kunjungan untuk melakukan peninjauan daerah aliran sungai di daerah kewenangan demang sebagai sarana irigasi pertanian serta penyuluhan tentang besaran pajak yang telah ditentukan oleh VOC, Raden Soemitro juga akan memberikan penyuluhan terkait dengan koperasi dalam pertanian sebagai solusi saat pageblug melanda agar para petani tetap bisa memberikan setoran pada VOC tanpa membebani para petani yang tengah kesusahan karena gagal panen serta program penyuluhan lain yang bermanfaat bagi petani.
"Mengapa Ibu tidak membangunkanku pagi ini?" tanya raden Soemitro pada sang ibu yang tengah memasak di dapur.
"Ibu telah membangunkanmu. Tapi sepertinya kamu begitu lelah sekali. Akhirnya aku membiarkanmu hingga kamu bangun sendiri."
"Paijo ke mana Bu?"
"Ia sedang mencangkul tanah di halaman samping untuk persiapan menanam aneka sayur dan palawija. Minumlah teh manis dan ketela rebus sebagai pengganjal perut. Ibu belum sempat masak. Kata Paijo, ia akan belanja ke pasar di desa sebelah. Ia menunggu kamu bangun."
"Aku segera bersiap."
Raden Soemitro terlihat ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya yang terasa lisuh begadang agar terasa segar. Tak lupa ia berganti baju dan jarik yang telah ia robek untuk melakukan perban pada tangan gadis itu. Ia memakai beskap berwarna hitam dengan bawahan celana panjang dengan warna senada. Tak lupa ia mengantongi uang gobog yang telah ia persiapkan tadi pagi sebelum tidur.
"Paijo, ayo kita belanja ke pasar," ajak raden Soemitro.
"Mari den," ucap Paijo sembari naik pedati yang disopiri oleh tuannya.
Sesampainya di sana, Paijo bergegas belanja barang pesanan mbah Ibu. Tak lupa ia juga berbelanja makanan kesukaan raden Soemitro yaitu botok tempe dan onde-onde.
Dari kejauhan, Raden melihat lagi sosok gadis semalam. Ia terlihat berjalan dengan malas, sementara tangannya diseret dengan paksa oleh seorang lelaki paruh baya.
"Ayo Lastri. Ikut aku. Kamu harus nurut dengan apa yang kukatakan," ucap lelaki itu dengan kasar.
"Aku nggak mau Pakde," elak gadis yang ternyata bernama Lastri itu sambil meneteskan air mata.
"Kisanak, ada apa ini? Kok ramai sekali. Mengapa gadis itu menangis?" tanya Raden Soemitro pada seseorang untuk mendapatkan informasi.
"Gadis itu akan diikutkan pada acara buka selambu yang diadakan oleh rumah bordir di desa ini. Soelastri adalah gadis paling cantik di desa ini. Ia telah mendapat tawaran buka selambu paling mahal yang pernah ada. Lima ratus keping uang gobog. Makanya Pak dhenya memaksa Lastri agar ia ikut acara buka selambu ini," jelas kisanak tersebut.
"Mohon maaf sebelumnya. Buka selambu itu acara apa ya?"
"Kisanak bukan asli orang sini?"
"Bukan. Saya seorang pendatang."
"Buka selambu adalah acara pelelangan kegadisan yang biasa diadakan di rumah bordir di desa ini. Bagi gadis yang wajahnya cantik, biasanya memiliki harga buka selambu paling tinggi."
"Yang ikut acara buka selambu itu golongan apa saja? Apa hanya golongan perjaka saja, mengingat mereka yang ikut acara buka selambu seorang gadis."
"Bukan perjaka saja kisanak. Semua kalangan boleh ikut. Mulai dari perjaka, duda, orang yang sudah beristri, orang yang sudah tua renta pun juga boleh. Asalkan mereka bisa membayar harga lelang paling tinggi untuk gadis itu dialah pemenangnya."
"Setelah acara buka selambu, gadis itu dinikahi atau tidak?'
"Ya jelas tidaklah. Kan sudah dikasih uang banyak oleh pelelang."
"Kasihan gadisnya. Bagaimana dengan masa depannya kelak misal gadis itu hamil akibat acara buka selambu ini, apa lelaki itu mau bertanggungjawab atas janin yang dikandung oleh gadis itu?"
"lya nggak kasihan kisanak. Ia juga mendapatkan uang banyak dari hasil lelang itu. Jikalau gadis itu sampai hamil, resiko juga ditanggung oleh gadis itu."
"Tradisi yang begitu merendahkan perempuan. Apa tradisi ini sudah lama sekali kisanak?"
"Tradisi ini sudah lama sekali kisanak."
"Orang tua gadis bernama Soelastri itu kemana? Pak dhe itu biadab sekali. Orang tua gadis itu kok diam saja anaknya diperlakukan seperti itu oleh pakdenya."
"Orang tua Soelastri sudah tiada. Dulu bapak gadis itu seorang lurah di kampung ini. Beliau lurah paling baik yang pernah kami miliki. Setelah kepergiannya, lurah diganti dengan paling maruk karena semua barang warga banyak yang dijarah. Bila menolak, komplotan lurah menyerbu rumah itu. Mereka tak segan pula untuk melukai para penghuni rumah."
"Sudah jadi buah bibir, warisan orang tua Soelastri jadi rebutan oleh pihak keluarga Bapak dan ibunya. Dia hanya mendapatkan rumah peninggalan orang tuanya. Sawah, ladang habis direbut oleh saudara orang tuanya. Tapi rumah itu pun kondisinya tidak aman bagi gadis itu. Di rumah itu, ia hanya sendirian. Seringkali ada seorang laki-laki atas suruhan pakdenya mendatangi gadis itu pada malam hari kami untuk melakukan rudapaksa pada gadis itu. Orang desa ini tak ada yang berani membela gadis itu karena akan dimusuhi oleh Pakde dan komplotannya. Ada dulu seorang pemuda yang berani membela gadis itu. Kudengar kabar terakhir, lelaki itu gantung diri di bawah pohon asem di dekat sungai."
"Kok ada ya pak dhe yang seperti itu. Aku baru tahu ada keluarga yang seperti ini. Saya bisa minta alamat gadis itu dengan lengkap beserta tempat mana saja biasa gadis itu singgah? Saya akan berusaha melindunginya semampu saya. Terima kasih kisanak."
"Anda berani melawan Pakde beserta komplotannya itu. Saran saya jangan kisanak."
"Saya berani."
Lastri melihat Raden Soemitro dari kejauhan. Ia segera menghampiri seseorang yang telah menyelamatkannya semalam.
"Raden, apakah panjenengan kersa melindunginya saya? Saya sendirian. Saya tidak memiliki orang tua. Saya takut saya akan membayar semua dengan tubuh saya karena saya sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Saya mohon dengan sangat. Mohon lindungi saya Raden." ucap Soelastri dengan penuh pasrah.
Pak dhe Soelastri beserta komplotannya mendatangi Raden Soemitro.
"Tolong berhenti memaksa gadis ini untuk ikut acara buka selambu. Biarkan dia bebas memilih sesuai dengan keinginannya. Saya minta kalian tidak mengganggu perempuan ini lagi," ucap Raden Soemitro dengan lembut tapi penuh ketegasan.
"Kamu siapa? Berani-beraninya melawan kami," ucap pak dhe Lastri dengan penuh emosi.
"Saya hanya seorang pendatang yang tak tega melihat seorang gadis kalian perlakukan seperti ini," balas Raden Soemitro.
"Kamu menantang?"
"Saya tidak menantang. Saya hanya melindungi orang yang seharusnya saya lindungi."
'Kamu mencintai Lastri?"
"Saya melindungi semua warga saya."
Pak dhe Lastri tersulut emosi mendengar perkataan Raden Soemitro.
"Semuanya maju. Lawan pemuda itu."
Raden Soemitro telah siap dalam posisi kuda-kuda. Ia sekilas melihat ke arah lawannya, menyelidik seberapa kekuatan yang dimiliki oleh lawan yang berada di hadapannya. Ia melawan sepuluh orang pemuda bawahan pak dhe Lastri. Tangkisan dan tendangan adalah perlindungan awal bagi raden Soemitro. Setelah melihat para lawannya semakin lemah, ia semakin melancarkan jurus yang ia memiliki. Satu per satu pemuda ber sepuluh itu terjatuh tak berdaya di atas tanah.
"Siapa kisanak yang berani mengalahkan komplotan Pakde Lastri yang hebat itu? Kita baru tahu wajah kisanak itu hari ini. Dia siapa?" suara itu begitu nyaring terdengar di telinga raden Soemitro.
Paijo datang terngopoh mendatangi tuannya.
" Raden tidak apa?"
"Aku baik-baik saja Paijo. Tidak usah khawatir."