Carmila harus menghadapi kenyataan pahit: suaminya membawa selingkuhan ke rumah, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Pengkhianatan dari dua orang terdekatnya ini menghancurkan hati Carmila yang selama ini telah berjuang menjadi istri dan nyonya istana yang sempurna.
Dalam keterpurukannya, Carmila bertemu dengan Pangeran Kedua Kekaisaran, dan tanpa ragu mengajukan sebuah hubungan kontrak dengannya.
Apakah Pangeran Kedua itu akan menerima tawarannya, atau menolak secara dingin? Keputusannya akan menentukan arah permainan balas dendam Carmila, sekaligus membuka pintu pada skandal dan intrik yang tak terduga.
Revisi berjalan yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita utama
Keesokan paginya, sebuah berita sudah memenuhi seluruh Kekaisaran.
Pangeran Kedua Jadi Kekasih Duchess Hamilton
Itu adalah headline besar yang terpampang di surat kabar Kekaisaran.
Kencan Pangeran Kedua & Duchess Hamilton di Ibu Kota Jadi Sorotan Besar…
Sejak Kapan Hubungan Keduanya Di mulai?
Pangeran Kedua Dilanda Cinta… Siapa Sebenarnya Carmila Hamilton?
Di ruang kerja istana pangeran, Carmila menatap tumpukan surat kabar yang memenuhi meja. Koran harian, majalah sosialita, semuanya memuat berita tentang dirinya dan Alistair.
“Semua ini terbit pagi ini?” tanyanya, sedikit terkejut.
“Ya,” jawab Alistair yang berada di sebelahnya.
Carmila menarik napas. "Astaga… jumlahnya luar biasa banyak." Hampir sulit di percaya semua ini bisa terbit hanya dalam semalam.
Ia duduk di sofa, membuka satu persatu halaman surat kabar. Dari pesta ulang tahun Duke hingga kencan yang sengaja mereka lakukan di Ibu Kota, semua tertulis dengan detail di setiap halaman.
Bahkan ada satu halaman khusus yang membahas riwayat hidup Alistair beserta dirinya secara lengkap.
‘Ternyata ada hari di mana aku menjadi pusat perhatian seperti ini…’
Respons publik sungguh luar biasa.
“Aku akan atur wawancara. Setelah selesai, aku akan kembali,” ujar Alistair.
“Bagus. Tapi sebaiknya kita samakan dulu ceritanya, misalnya soal pertemuan pertama kita.”
Alistair hanya mengangguk setuju
Bagaimanapun, mereka tidak bisa membocorkan fakta bahwa mereka menghabiskan malam di hotel.
Carmila menutup koran dengan rasa puas. “Hasilnya jauh melebihi ekspektasi.”
Ia bersandar di sofa, senyum tipis terpatri di wajahnya. Tujuan awalnya memang membalas dendam pada Seraphina dan Valerian, dan cara terbaik adalah memastikan perselingkuhan mereka tenggelam tanpa mendapat sorotan.
Carmila tahu betul karakter Seraphina. Gadis itu sejak kecil memang senang menjadi pusat perhatian. Namun, berkat pengumuman hubungannya dengan Alistair, perselingkuhan Seraphina dan Valerian yang seharusnya menggemparkan pesta, kini tertutup.
Sesekali memang di sebutkan dalam koran, tapi hanya sebagai catatan kecil di sela-sela berita tentangnya.
Carmila tersenyum puas sambil melipat tangannya. "Kurasa, aku sudah mencapai tujuan utamaku. Bagaimana dengan Anda, Yang Mulia?"
Ia tiba-tiba penasaran, apakah Alistair telah mencapai tujuan yang di inginkan melalui hubungan kontrak ini
"Bukankah anda ingin menghindari perjodohan yang di paksakan Putra Mahkota?"
“Ya, dia pasti sudah tahu kabar ini, tapi belum memanggilku. Sepertinya dia ingin melihat bagaimana situasinya berjalan dulu.”
“Begitu. Jadi, untuk saat ini masalahnya bisa di bilang sudah mereda, kan?”
“Entahlah. Mungkin cepat atau lambat mereka akan memanggilku... apalagi kondisi Ayahanda sedang memburuk.”
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar dari jauh. Semakin lama suara itu semakin dekat ke ruang kerja, menciptakan suasana tegang yang mendadak.
Tanpa sadar, Carmila menggenggam tangan Alistair.
Gerakan itu terjadi begitu saja, seperti refleks—mungkin karena mereka sudah terlalu terbiasa berpura-pura mesra di depan publik.
Alistair melirik tangan mereka yang saling bertaut, sudut bibirnya terangkat pelan. “Tenang saja. Itu bukan pelayan.”
“ALISTAIR!”
Belum sempat Carmila bereaksi, suara dari luar ruangan memecah keheningan, dan pintu pun terbuka tiba-tiba.
Seorang pria melangkah masuk dengan tenang. Seragamnya sederhana tapi rapi, jubah hitam menjuntai di bahunya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, namun tatapan matanya memancarkan wibawa yang sulit diabaikan.
Wajah pria itu memerah dan tatapannya tajam. “Apa maksud semua berita di koran hari ini?”
Alistair menghela napas malas. “Kau lupa ini Istana Kekaisaran, Hector? Bersikaplah sedikit sopan.”
“Ini apa maksudnya, hah? Skandal? Kau sudah gila, Alistair?” Hector membanting korannya di meja.
Carmila hanya menatap diam, ia mulai tahu siapa sosok pria itu. Itu pasti Hector, sahabat dekat Alistair.
Hanya dia satu-satunya orang di kekaisaran yang berani memarahi Pangeran Kedua tanpa takut kehilangan kepala. Sepertinya, dia baru mendengar kabar ini.
......................
Hector Vance.
Dia adalah putra Baron Vance, teman paling dekat Alistair, sekaligus ajudan pribadinya.
Kalau dilihat dari status sosial, seharusnya mustahil bagi seorang anak baron bisa sedekat itu dengan pangeran kekaisaran—bahkan untuk sekadar berbicara pun sulit.
Tapi karena ibu mereka sudah bersahabat sejak lama, Hector sering berkunjung ke istana sejak kecil. Keduanya tumbuh bersama, jadi bukan hal aneh kalau Hector memperlakukan Alistair seperti saudara sendiri.
“Ini apa maksudnya? Kenapa setelah aku kembali, malah berita seperti ini yang muncul di koran?” seru Hector kesal.
Alistair melipat tangan sambil menatapnya dengan tenang. “Sebagai ajudanku, seharusnya kau tahu kabar seperti ini lebih dulu, kan?”
Hector mengusap tengkuknya dengan wajah lelah. “Serius, Alistair? Aku baru saja pulang dari tugas yang kau perintahkan, dan sekarang aku harus beresin masalah yang kau buat juga?”
Ia menatap Alistair dengan tidak percaya. “Kalau mau bikin kehebohan seperti ini, setidaknya beri tahu aku dulu! Kau tenang-tenang saja, lalu tiba-tiba bikin masalah besar begitu aku pergi!”
“Cukup,” potong Alistair datar. “Beri salam.”
Ia sedikit menggerakkan dagunya ke arah Carmila yang duduk di sebelahnya.
Baru saat itu Hector menyadari kehadiran Carmila dan langsung terkejut. “D-Duchess Hamilton?! Sejak kapan Anda di sini?”"
'Aku duduk di sini dari tadi, tahu,’ ucap Carmila dalam hatinya.
Belum sempat ia bicara lagi, Hector malah mengangkat koran yang ada di meja, dan mengarahkannya tepat ke depan wajah Carmila.
“Nyonya, maaf kalau saya lancang… tapi apa berita ini benar?”
Carmila tersenyum tipis. “Ya, benar. Senang akhirnya bisa bertemu, Tuan Hector.”
“Tidak, tunggu dulu—apa sebenarnya yang di lakukan pria ini pada Anda?” Hector buru-buru bertanya, nada suaranya terdengar lebih serius. “Dia tidak memaksa atau mengancam Anda, kan? Saya sungguh khawatir dengan keselamatan Anda.”
“Hector,” sela Alistair malas. “Jaga bicaramu. Sekarang, bagaimana laporan tugas yang kusuruh kemarin?”
“Ah… itu.” Nada Hector berubah seketika. Ekspresinya menegang, pandangannya melirik ke arah Alistair, lalu ke Carmila.
Carmila bisa menebak, topik itu pasti sesuatu yang bersifat rahasia. Ia berdiri pelan. “Kalau begitu, biar saya keluar sebentar.”
Namun sebelum sempat melangkah, Alistair menahan gerakannya. “Tetap di sini,” ucapnya pelan.
Carmila menatapnya ragu “Tapi—”
Tatapan tajam Alistair membuat kata-katanya terhenti. Akhirnya, ia perlahan duduk kembali, menjaga sikap meski suasana mendadak terasa canggung.
Melihat itu, Hector menghela napas berat. “Maaf, aku masih belum menemukannya.”
Alistair menatapnya dingin. “Hanya Itu saja?”
Hector memijit pelipisnya, “Kau kira semudah itu? Aku sudah keliling setengah wilayah barat. Kalau mau cepat, cari sendiri saja.”
Sementara itu, Carmila hanya bisa menatap keduanya bergantian. Dari nada bicara mereka, sepertinya sedang membahas sesuatu yang cukup penting.
'Sepertinya mereka sedang mencari seseorang.'
Melihat ekspresi bingung Carmila, Alistair perlahan membuka suara. “Ngomong-ngomong, bisnis kosmetik keluargamu… katanya atas nama Duke, tapi sebenarnya kau yang menjalankannya, kan?”
“Ya, benar. Sebenarnya itu rahasia internal, tapi rupanya Anda mengetahuinya.”
Padahal, hanya segelintir investor yang tahu kalau Carmila adalah sosok di balik bisnis kosmetik yang selama ini di jalankannya atas nama Valerian.
Namun entah bagaimana, Alistair—yang sama sekali tak ada hubungan dengan usaha tersebut—bisa tahu begitu banyak.
'Tidak mengejutkan memang,' pikirnya. 'Keluarga kekaisaran selalu punya cara untuk mendapatkan informasi.'
“Aku juga dengar produk itu di buat dengan bantuan sihir. Apa benar?” tanyanya penasaran.
“Ya, itu benar.”
“Kalau begitu, pernahkah kau bertemu dengan seseorang? Maksudku, Silas.”