"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09
Aira tidak tahu sejak kapan gadis cantik berkulit putih itu hadir di dekatnya. Ia sedang sibuk mencari buku. Memilih dan memilah apa yang akan dibaca. Tiba-tiba saja gadis cantik itu menyapa.
"Nyonya Zian Ali Faradis."
Aira sesaat terpana. Merasa status nyonya yang disematkan untuknya itu cukup menghangatkan jiwa. Namun, menikmati sesuatu yang bukan untuknya adalah di luar keahlian Aira. Maka dengan cepat gadis manis itu meralat. "Azaira Mahrin nama saya. Panggil saja Aira."
"Nama yang sangat indah." Gadis itu memberi sedikit pujian. Entah dia mengucapkan dengan tulus atau hanya sekedar basa-basi kosong sebelum menuju inti pembicaraan. Yang jelas, dan yang patut diakui, nama Aira memang manis dan enak didengar.
(Menurutku. Makanya aku memakai mama itu)
"Aku Talita. Diah Ayu Talita."
Aira tersenyum. Hampir saja bibirnya melafazkan pujian bahwa nama Talita sangat indah. Tapi, ia urung mengucapkannya. karena tatap mata Talita yang memindai ke Aira dari atas ke bawah seakan menyelidik. Lalu samar ekspresinya berubah jadi mencibir.
Ucapan Talita kemudian menegaskan maksud dari ekspresi wajahnya yang terkesan meremehkan.
"Oh jadi begini, selera seorang Zian?"
Apa itu maksud ucapannya barusan?
Penghinaan, atau satu pemahaman baru. Tentang Zian yang lebih menyukai gadis dengan penampilan tertutup, bukan yang di sana-sini terbuka seakan kurang bahan.
Memang, kecantikan Talita tidak bisa dibandingkan dengan Aira. Putri Handoko itu berkulit putih bening, yang entah memang produk asli atau karya racikan salon kecantikan.
Pahatan wajah Talita juga hampir seindah lukisan. Namun, sekali lagi belum diketahui itu original atau hasil pahatan pisau bedah plastik.
Sedangkan Aira. Mengaplikasikan eye liner saja dia belum paham. Paling jauh caranya berdandan hanya memakai cushion dan pewarna bibir yang tak bisa tahan 12 jam.
Begitu juga dari segi penampilan. Talita tampil dengan gaya busana berkelas, khas tampilan wanita kelas atas. Baju mahal dari brand ternama membungkus tubuh Talita dan menonjolkan kemolekan bentuknya.
Sedangkan Aira konsisten dengan tampilan wanita muslimah. Baju longgar yang menjuntai hingga di bawah mata kaki, tak memperlihatkan bentuk tubuhnya, apakah indah atau tidak.
Akan tetapi pantaskah seseorang memandang rendah orang yang lain karena merasa dirinya lebih unggul, atau lebih cantik?
Bukankah setiap wanita itu cantik?
Setiap wanita memiliki ciri khas kecantikannya masing-masing. Karena kecantikan itu bersifat subjektif dan sangat beragam. Sampai sekarang tidak ada satu pun definisi universal tentang apa itu cantik.
Kecantikan juga tak terbatas pada satu standar fisik tertentu, melainkan juga mencakup karakteristik unik individu. Baik dari bentuk wajah, gaya, penampilan, maupun kepribadian yang secara alami menciptakan keindahan khasnya.
Hanya seseorang yang memiliki kepribadian berkualitas saja, yang bisa memahami hal-hal demikian. Dan sepertinya Talita tidak termasuk dalam jajaran.
Aira tersenyum mendengar ucapan itu. Meski di satu sisi hatinya berdenyut nyeri. Tenang ia berkata, "Mungkin Zian belum tau, kalau sekarang sudah ada definisi universal tentang selera dan kesukaan. Dan nanti, kamu bisa ngasih tau dia, agar seleranya bisa berubah. Dari yang tertutup pada yang terbuka."
Meski raut wajah Talita tak menunjukkan perubahan atas ucapan Aira barusan. Namun, jelas terlihat ia menahan napas sesaat.
"Jadi, ada kepentingan apa, Mbak Dyah Ayu Talita menemui saya?"
"Ada yang ingin aku bicarakan."
Aira mengangguk. "Langsung saja," ucapnya singkat sembari menatap buku yang dipegang. Dari gelagat ini jelas Talita paham, kalau gadis hijab itu tak ingin bicara lama-lama.
"Kamu pasti sudah tau dari Yumna tentang aku."
"Yumna tidak bicara banyak."
"Baiklah, aku jelaskan lagi. Aku sedang hamil anak Zian." Talita menjeda ucapannya untuk sekedar melihat ekspresi Aira. Ternyata gadis berparas lembut itu tak menampakkan perubahan apa-apa di wajahnya.
"Aku rasa, ini sudah cukup menjadi alasan untukku hadir di tengah kalian."
"Hadir sebagai apa nih?"
"Sama-sama menjadi istri Zian."
"Wah!" Aira tersenyum tipis. "Yakin, Mbak Talita yang secantik dan sesempurna ini mau berada di tengah kami yang 'hanya biasa saja' ini? Kok malah jadi nurunin standar, Mbak?"
Gadis itu memberikan sindiran yang cukup mengena.
Sadar tengah disindir halus secara halus, Talita sedikit menaikkan volume suaranya saat bicara.
"Mau bagaimana lagi, aku hamil anak Zian. Dan dengan itu, posisiku jelas lebih kuat sekarang. Bahkan bisa jadi, dia akan melepaskan kalian nanti, dan memilihku sebagai satu-satunya istri."
Talita tersenyum setelah mengucapkan kalimat yang dibubuhi sedikit ancaman.
Berharap Aira bakal kalang kabut?
Aira justru tersenyum, ia meletakkan buku yang sedang dipegang. Tak tertarik lagi untuk membaca. Padahal buku itu sudah ia cari cukup lama.
"Sudah membicarakan semuanya dengan Zian?" Ia menatap Talita terarah.
"Tentu sudah--"
"Saya rasa belum," sanggah Aira, sebelum Talita menyempurnakan jawabannya.
"Dan sebenarnya kalian tidak sedekat itu. Jika sudah sangat dekat, harusnya kamu tahu siapa sebenarnya saya, dan siapa Yumna bagi Zian."
"Apa maksudmu? Kamu dan Yumna adalah istri Zian 'kan?"
"Bukan. kami bukan istri Zian," jawab Aira tegas.
"Apa?"
"Jika Zian bahkan tidak berbagi cerita tentang siapa kami padamu, maka bagaimana saya akan percaya kalau dia mau menitipkan benihnya di rahimmu."
Talita sempat tertegun dengan ucapan telak Aira. Sebelum kesadaran membangunkannya untuk menyanggah dan bahkan balik menyerang.
"Oh, jadi kamu menuduhku berbohong? Perlu aku buktikan bahwa ini memang anak Zian? Kamu ingin karir suamimu hancur, Dan dia harus didepak dari perusahaan?"
Lagi-lagi ancaman seperti itu. Tidak ada yang lain apa. Yang membaca saja pasti juga bosan dengan ancaman Talita. Itu saja, dan itu-itu saja.
Aira lagi-lagi hanya tersenyum.
"Sebaiknya, Mbak Talita segera buktikan semuanya. Saya tunggu. Dan Saran saya, cari info yang valid dulu tentang Zian. Agar sandiwara yang akan dimainkan, tidak terkesan konyol seperti ini."
Aira kembali tersenyum di akhir ucapannya, sebelum melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan perpustakaan, dan meninggalkan niatnya untuk membaca buku yang sudah lama menjadi incaran.
*****
Mendengar cerita Aira tentang pertemuannya dengan Talita di perpustakaan kota, zian menatap gadis hijab di depannya itu seraya tersenyum tipis. Tipis, tapi menawan. Itu ciri khas senyuman zian yang sudah membuat banyak hati tertawan.
"Apa senyum-senyum kayak gitu?" protes Aira. Aslinya, ada denyut tak biasa dalam dada melihat senyuman lelaki ganteng di depannya.
"Gue bersulang untuk, Lu," kata si ganteng tersebut sebelum meraih minumannya dan menenggaknya sampai habis.
"Haus banget ya?"
"Yak. Tadinya gue khawatir." Zian memberikan tatapan dalam.
"Kamu khawatir padaku?"
Aira menyelami tatap mata zian yang cukup dalam untuknya itu.
"Perlu dijawab? Itu barusan gue ngomong."
"Khawatir kenapa?"
"Khawatir lu akan terintimidasi oleh Talita. Gua lupa kalau lu jagonya bikin kalimat frontal."
Aira tertawa lepas, teringat komentar Zian beberapa waktu lalu saat ia mengirimkan satu bab dari naskah novelnya.
"Aku percaya padamu, Zian." Aira mengucapkan dengan tulus.
"Thank yak. Kepercayaan, Lu amat besar artinya bagi gue."
"Tapi, hal ini jangan kamu biarkan begitu saja. Karena ini pasti akan memberikan citra buruk untukmu." Aira berbicara dengan nada serius.
"Citra buruk apa? Emang salah punya dua istri?"
"Tapi kenyataannya, gak."
"Gue bisa buat jadi nyata sekalian." Zian menaikkan sebelah alisnya dan memasang tampang menggoda.
Dasar Zian.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat