Setelah ditolak oleh gadis pujaan kampus, Rizky Pratama tiba-tiba membangkitkan sebuah sistem ajaib: setiap kali ia mendapat satu pengikut di siaran langsung, ia langsung memperoleh sepuluh juta rupiah.
Awalnya, semua orang mengira Rizky hanya bercanda.
Namun seiring waktu, ia melesat di dunia live streaming—dan tanpa ada yang menyadari, ia sudah menjelma menjadi miliarder muda Indonesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apa aja 39, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 – Kita Semua Teman
Rizky melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya, lalu menarik napas. “Sudah cukup untuk hari ini. Aku perlu istirahat,” ucapnya pelan.
Tanpa ragu, ia pun menutup ruang siaran langsungnya.
Hari ini, suasana hatinya benar-benar baik. Bagaimana tidak? Hanya dalam satu malam ia berhasil menarik ratusan penggemar baru dari ruang siaran langsung Maya. Itu pencapaian besar.
Melihat Rizky keluar, Maya pun tersenyum manis ke kamera, lalu berkata dengan suara lembut:
“Teman-teman semua, siaran untuk hari ini sampai di sini dulu ya. Sampai jumpa lagi besok.”
Sesaat kemudian, layar ruang siaran pun mendadak menjadi gelap.
Namun, komentar penonton masih terus bermunculan:
[Lho, kok baru jam sembilan acaranya sudah selesai?]
[Jangan-jangan ini kayak pepatah, ‘mengantar sejauh seribu mil harus tetap berpamitan’?]
[Ya jelas, Kak Rizky udah habisin satu miliar. Pantes sih kalau langsung disudahi.]
[↑Setidaknya kamu masih ngerti situasi.]
[Haha, beginilah hiburan kelas atas. Cuma penggemar setia kayak kita yang bisa ikut menyaksikan momen kayak gini.]
[↑Benar, ini kayak kebangkitan di dunia hiburan.]
Maya tidak peduli dengan komentar-komentar itu. Baginya, selama bisa membantu Rizky, lebih baik ia tak perlu terlalu memeras tenaga setiap hari di depan kamera. Apalagi, selama ini ia bahkan tidak punya backing serikat atau agensi besar.
Tujuan Maya jelas: ia ingin menggunakan siaran langsung ini sebagai batu loncatan, sekaligus tetap bekerja sebagai tenaga penjualan di butik mewah. Semua itu ia lakukan demi satu hal—melampaui batas kelas sosialnya.
---
Sementara itu, Rizky mencuci muka, lalu segera menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Tubuhnya rileks, tetapi pikirannya masih melayang.
Tak lama kemudian, notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Maya.
“Rizky, terima kasih banyak untuk dukunganmu hari ini. Aku benar-benar terharu sampai hampir menangis.”
Nada lembut Maya terasa begitu menyentuh hati. Hanya dengan membaca pesannya saja, Rizky seolah bisa mendengar suara itu langsung di telinganya—membuat siapa pun akan merasa kasihan sekaligus jatuh cinta.
Rizky mengetik balasan singkat:
[Sama-sama. Kita semua teman.]
Tak lama, Maya kembali mengirim sebuah video.
Rizky, dengan rasa penasaran yang membuncah, langsung menekannya. Begitu video terbuka, matanya membelalak lebar.
Di layar, Maya muncul mengenakan gaun tidur tipis berenda warna krem pucat. Kain tipis itu hanya menggantung di tubuhnya, nyaris tak bisa menutupi pinggulnya yang padat. Kakinya yang putih mulus terlihat jelas, seperti pahatan giok yang dipoles halus. Tubuh anggunnya sedikit bergetar, seolah menahan isak tangis.
Maya menyeka sudut matanya, lalu menatap kamera dengan serius.
“Rizky… keluargaku tidak bahagia. Ayahku kecanduan judi, ibuku sakit keras, dan adikku masih sekolah. Seluruh keluarga bergantung padaku. Dukunganmu hari ini bukan cuma untukku… tapi juga untuk keluargaku.”
Sambil berkata begitu, Maya membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Gaun tidur dengan potongan leher V yang rendah itu sama sekali tak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya yang mempesona.
Layar ponsel Rizky seakan diselimuti cahaya putih.
Ia terdiam lama, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. “Ayah berjudi, ibu sakit, adik sekolah… kenapa kalimat ini terdengar begitu familiar?” gumamnya sambil setengah tersenyum miris.
Pesan lain masuk dari Maya:
[Rizky, besok aku sudah pesan meja di Hotel Royal. Aku ingin mentraktirmu makan siang. Kamu sempat kan?]
Rizky mengetik:
[Tidak usah repot. Aku memang kasih hadiah, tapi kamu juga dapat banyak penggemar gara-gara aku.]
Namun, Maya langsung membalas cepat, tanpa ragu:
[Berapa sih harga penggemar? Aku tetap ingin berterima kasih secara pribadi. Bagiku, selama aku bisa menunjukkan rasa terima kasihku padamu… aku rela melakukan apa saja.]
Rizky tertegun. Tenggorokannya kering, ia bahkan sampai menelan ludah.
“Ini… bukankah terlalu… proaktif?” pikirnya.
Ia benar-benar heran. Bagaimana mungkin ia pantas diperlakukan sebegitu istimewa oleh wanita secantik Maya?
Harus ia akui, punya uang memang luar biasa. Begitu seseorang kaya, wanita cantik bisa berubah jadi begitu aktif mendekat.
Akhirnya, Rizky mengetik lagi:
[Baiklah. Kalau begitu jemput aku di SMA Negeri 1 besok malam. Aku belum punya mobil, jadi kamu bawa sendiri aja.]
Nada pesannya terdengar acuh tak acuh, tapi sikapnya sebenarnya sudah jauh berbeda dibanding dulu. Sejak ia punya uang, Rizky merasa lebih percaya diri. Ia bisa menegakkan punggung, berbicara tegas, tanpa rasa minder.
Maya, di sisi lain, nyaris melompat kegirangan saat membaca jawabannya. Dengan cepat ia mengetik:
[Baiklah. Semoga Rizky nggak keberatan dengan mobilku nanti.]
---
Keesokan paginya, Rizky kembali ke sekolah.
Begitu ia baru saja menjejakkan kaki di depan gerbang, Sarah melambaikan tangan ke arahnya berulang kali.
“Rizky! Sini deh, cepet!”
Rizky menghampiri dengan dahi berkerut. “Ada apa?”
Sarah mendekatkan wajahnya, lalu berbisik pelan:
“Eh, kamu masih suka sama Dinda, kan?”
“Apa maksudmu?” Rizky balik bertanya.
Sarah menelan ludah, lalu menjelaskan, “Pagi ini aku lihat Dinda datang bareng Bima.”
Alis Rizky langsung berkerut. Dua tahun penuh ia mengejar Dinda, tapi jangankan pulang bareng, berjalan bersama pun gadis itu tak pernah mau. Alasannya selalu sama: takut teman sekelas salah paham.
Namun sekarang, ia justru terlihat datang bersama Bima. Hubungan mereka tampak jelas-jelas ambigu.
Dan yang membuatnya makin kesal: Rizky kenal betul siapa Bima.
Bima adalah siswa jurusan olahraga, kelas tiga. Salah satu cowok yang juga terang-terangan mendekati Dinda. Kabarnya, keluarga Bima memang punya uang lumayan. Tapi wajahnya tak terlalu menarik, bahkan cenderung pas-pasan.
Dulu, Dinda jelas-jelas menolak Bima mentah-mentah. Sekarang? Entah kenapa sikapnya berubah.
Rizky menarik napas, menahan rasa tidak nyaman yang menusuk dadanya. Namun, hanya sesaat saja. Begitu teringat wajah Maya semalam, pesona Dinda mendadak terasa biasa saja.
“Oh, jadi begitu.”
Ia menepuk bahu Sarah dengan santai. “Kamu hebat. Kalau ada perlu nanti, bilang aja ke aku.”
Tanpa memikirkan lebih jauh, Rizky berjalan masuk ke area sekolah dengan tangan di saku.
Sarah hanya bisa menatap punggungnya dengan bingung. Baginya, sikap Rizky benar-benar aneh. Seolah ia sudah tak peduli lagi pada Dinda.
---
Begitu masuk kelas, Rizky langsung melihat pemandangan yang cukup menusuk mata.
Dinda duduk berdampingan dengan Bima. Cowok itu bahkan terlihat sibuk mengupas telur rebus untuknya.
Awalnya Dinda enggan menerima, tapi begitu menyadari Rizky baru saja masuk ke kelas, ia malah menatap Bima dengan senyum manja.
“Bima, makasih ya udah kupasin telurnya buat aku.”
Bima hampir meledak kegirangan. Senyumnya mengembang lebar, nyaris menyentuh telinga.
“Ah, Dinda, kenapa sih harus segan sama aku?”
“Aku cuma pengen bilang makasih aja,” jawab Dinda dengan nada genit.
“Wihh…” Bima terkekeh puas.
Rizky menghela napas panjang. Pemandangan itu benar-benar membuatnya geli sendiri.
Dari bangkunya, Ayu melirik ke arah Rizky. Semakin tenang ekspresinya, semakin besar pula kekhawatiran Ayu.
Saat Rizky melewati mejanya, Ayu akhirnya tak tahan untuk bertanya lirih:
“Rizky, kamu nggak apa-apa?”
Jelas sekali Dinda dan Bima sengaja menunjukkan kemesraan itu hanya untuk menusuk perasaan Rizky.
Namun, Rizky malah terkekeh. “Aku? Apa yang perlu dikhawatirin?”
Ia pun melenggang tenang ke kursinya, duduk dengan santai.
Ayu menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa lagi.
Sementara itu, Dinda justru terus melirik Rizky dari sudut matanya. Begitu melihatnya tetap tenang, ia malah sengaja menambah ‘bumbu’.
“Bima, aku baru aja jatuh cinta sama jam tangan Cartier yang baru keluar. Kamu bisa beliin nggak?” katanya manja.
Tanpa pikir panjang, Bima langsung menepuk dadanya. “Ah, itu mah gampang. Cuma jam tangan doang. Nanti aku beliin!”
“Bima, kamu baik banget.” Dinda tersenyum puas.
“Oh iya, malam ini aku udah pesan ruangan pribadi di Hotel Dynasty. Kita makan malam bareng, ya?” ajak Bima penuh semangat.
Meski dalam hati Dinda tak begitu suka, demi membuat Rizky cemburu, ia pura-pura sumringah.
“Oke, aku ikut.”
Bima hampir melonjak kegirangan. Sebelum duduk kembali, ia bahkan sempat melirik Rizky dengan tatapan penuh provokasi.
Rizky hanya menyandarkan tubuh, menatap santai, seolah pemandangan itu tidak berarti apa-apa.