Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 12
Di sisi lain, Axel baru saja pulang dari tawuran. Wajahnya babak belur, bibirnya pecah.
Luka di tangan masih mengucurkan darah, lengan penuh goresan pisau, dan dahinya bengkak akibat hantaman benda tumpul.
Tubuhnya penuh debu dan bau keringat bercampur amis darah.
“Astaghfirullahaladzim! Mau jadi apa kamu, Xel?!” ucap Ami, ibunya Axel, syok melihat keadaan anaknya.
Tangannya menutup mulut, wajahnya pucat pasi.
Axel hanya diam. Ia duduk di kursi ruang tamu sambil menahan sakit, kepalanya menunduk, napasnya terengah-engah.
“Udah, jadikan saja. Setelah lulus sekolah, kamu nikah sama Kayla. Kita udah janji sama Bu Wida,” ucap Herman, ayah Axel dengan nada tegas, menatap anaknya penuh tekanan.
“Apa?! Pah, nggak mungkin!” Axel langsung berdiri, matanya terbelalak kaget. Suaranya parau, bercampur marah dan tidak percaya.
“Kamu itu brengsek banget, Xel. Kalau nikah, kamu punya tanggung jawab. Paham?!” bentak ayahnya, membuat Axel mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Tapi pah… kenapa harus Kayla sih?” gumam Axel kesal, matanya melirik ke arah ibunya, mencari pembelaan.
“Kenapa? Kayla cantik, kok,” sahut Ami mencoba menenangkan, meski nadanya ragu.
“Iya sih cantik… tapi… ah, udah capek ngomongin dia!” Axel mendengus keras, lalu masuk ke kamar dengan wajah dongkol, menendang pintu hingga berderit keras.
Beberapa menit kemudian, perang dunia pecah.
Bukan di rumah, melainkan… di chat.
📱 Kayla: Lo ngomong apa ke bokap lo, hah?! 😡
📱 Axel: Nggak tau. Anjing lo kali yang ngebet sama gue. 🤮
📱 Kayla: Najis! 🤧
📱 Kayla: Besok di sekolah, gue hajar lo, Axel brengsek!!!
📱 Axel: Oke, gue tunggu, Kayla. 🖕🏻
📱 Kayla: NAJIS!!! SIALAAAAAANNNN!!!
Kayla menjerit, lalu guling-guling di kasur dengan emosi meledak. Bantal ia lempar ke tembok, wajahnya memerah menahan amarah.
Sementara itu, Axel sibuk mengobati luka-lukanya akibat tawuran. Ia merintih pelan saat alkohol mengenai lukanya, namun bibirnya malah tersungging senyum tipis.
“Anjing… masa gue nikah sama si PA itu sih?” gumamnya kesal.
Di sisi lain, Kayla juga masih mengutuk keadaan. Ia guling-guling di kasur sambil meremas rambutnya.
“Ngga mau gue! Gue ngga mau nikah sama si brengsek itu!” geramnya, nadanya penuh penolakan.
Dengan perasaan kalut, ia langsung menekan tombol ponsel.
“Dimana lo?” tanyanya dengan suara terburu-buru.
“Rumah,” jawab Revan singkat.
Kayla tak pikir panjang. Ia segera beranjak, berjalan menuju rumah Revan.
Sesampainya di kamar Revan, Kayla langsung terisak.
“Van… masa gue dijodohin sama si Axel sih? Gue mimpi nggak sih ini…” ucap Kayla sambil memeluk tubuhnya sendiri, bergetar.
“Apaaa? Yang bener lo! Kalo ngomong jangan bercanda,” ucap Revan kaget, matanya melebar.
“Gue juga kaget, Van,” balas Kayla lirih, air matanya mengalir.
Revan menatap wajah Kayla dengan seksama, baru sadar ada banyak luka.
Ia mengangkat tangan, menyentuh lembut pipi Kayla.
“Trus ini muka lo kenapa banyak luka?” tanyanya khawatir.
“Si Salsa… dia cemburu liat lo sama gue, Van. Kita berantem kemarin-kemarin. Trus dia nggak nanya gue saat gue masuk kelas… dia rebut pacar gue, Van. Kita putus. Nah sore-nya… dia ngehajar gue, nonjok gue. Sakit ini…” ucap Kayla sambil mengusap air matanya.
Wajah Revan berubah merah menahan amarah.
“Brengsek! Sialan! Gue hajar dia!” ucapnya kesal, langsung bangkit ingin pergi.
“Ekh, mau kemana?!” Kayla panik, buru-buru mengejar.
Kebetulan, Salsa sedang berada di warung membeli plester. Revan menghampirinya dengan emosi meledak.
“Lo hajar Kayla?!” bentaknya kasar.
Salsa menoleh dengan dingin. “Iya, kenapa?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Kenapa lo hajar Kayla?!” Revan mendorong bahu Salsa dengan kasar.
“Dia brengsek, gue nggak suka sama dia!” jawab Salsa keras kepala.
“Dia temen lo! Dia bener-bener selalu ngusahain lo. Lo malah gitu, sialan!” Revan makin emosi.
“Van, udah akh, hayu…” ucap Kayla sambil menggenggam tangan Revan, berusaha menahan.
Revan menoleh pada Kayla, wajahnya keras. “Diem, Kay. Tuman anak ini dari dulu gitu mulu sama lo!”
Revan kembali menatap Salsa dengan tatapan membunuh.
“Sekarang cukup, ya! Lo jangan pernah datengin Kayla lagi. Mau hidup lo seancur apa pun, kalo lo datengin Kayla, butuh temen… langkahi dulu mayat gue!” bentaknya, lalu menarik tangan Kayla menjauh.
Salsa hanya berdiri mematung, giginya bergemeletuk menahan geram. Dalam hatinya, ia bertekad menghancurkan Kayla bagaimanapun caranya.
Kayla yang masih terisak memeluk Revan erat.
“Revan… kok lo malah datengin si Salsa sih. Masalah gue kan dijodohin sama si brengsek Axel. Ini gimana, Van… gue kesel…” ucapnya dengan nada hancur.
Revan terdiam. Hatinya remuk, mulutnya terkunci.
“Ngomong dong, Van!” Kayla menangis makin keras.
Tak lama kemudian, Romi datang membawa gitar di punggungnya.
“Lo kenapa, Kay?” tanyanya penasaran.
“Romiii… gue dijodohin sama si Axel! Parah kan?!” ucap Kayla sambil terisak.
“Hah?! Serius?!” Romi kaget, menoleh ke arah Revan yang tampak frustasi.
“Ya udah akh, gue balik. Kirain bakal dapat solusi…” ucap Kayla kesal, lalu pergi begitu saja.
Romi menatap Revan lama.
“Gimana itu, Van?” tanyanya serius.
Revan hanya menunduk, wajahnya kusut.
“Ngga tau gue. Gue ngga bisa ngapa-ngapain kalo urusan keluarga Kayla,” jawabnya pasrah.
Keesokan harinya, libur sekolah masih tersisa. Kayla malas bangun, ia hanya diam di kamar dengan wajah sembab akibat tangisan semalam.
Namun, tiba-tiba terdengar suara tawa di bawah. Ia mengintip dari celah pintu.
Rupanya ayah dan ibu Axel sedang bertamu ke rumahnya.
“Si Axel pulang badannya luka-luka, bingung saya, Bu,” ucap Ami, ibunya Axel dengan nada cemas.
“Si Kayla juga udah berantem lagi. Ini gimana ya, trus kalo mereka nikah emang bakal akur?” ucap Wida, ibu Kayla, menatap sahabatnya itu dengan khawatir.
“Kalo udah nikah pasti saling menasehati,” jawab Herman, ayah Axel, dengan nada penuh keyakinan.
“Tapi Kayla mau kuliah katanya…” ucap Wida, masih ragu.
“Ya nggak apa-apa. Si Axel juga kuliah kok. Suruh mereka pisah, ada apartemen saya kosong deket kampus,” Herman terkekeh ringan, seolah masalah itu sepele.
“Ya sudah, jadi sudah. Setelah lulus sekolah acaranya,” ucap Dimas, ayah Kayla.
“Iya, biar pas kuliah mereka udah pisah, tinggal di apartemen,” sambung Ami, tertawa kecil.
Kayla yang menguping dari balik pintu langsung merasa darahnya mendidih.
“Aish… sial! Gimana ini? Gue mau kabur aja. Tapi bentar lagi ujian… gimana, kesel gue!!!” gumamnya sambil mencengkeram rambutnya sendiri.
Tanpa pikir panjang, ia menelpon Revan.
“Van, kita main…” ucapnya singkat lalu menutup telpon.
Siang harinya, Revan sudah menunggu di warung. Kayla datang dengan motor, wajahnya murung.
“Kemana?” tanya Revan, sedikit bingung.
“Nonton kek, kemana kek… ajak gue main,” ucap Kayla cepat, lalu bergeser agar Revan bisa mengambil alih setir motor.
“Yang bener, ini mau kemana?” tanya Revan lagi saat motor mulai melaju.
“Nonton aja deh, Van,” jawab Kayla sambil memeluk erat pinggang Revan, wajahnya menempel di punggungnya.
Setelah sampai di bioskop, Kayla sontak mendelik kesal.
Di lobi, Putra dan Salsa terlihat sedang berdiri bersama.
“Dih!Kemaren dia janjian sama gue, jadinya sama di lonte,” geram Kayla, tatapannya menusuk.
“Udah, biarin aja,” ucap Revan menahan emosi, langsung memesan tiket.
Tiba-tiba Putra menghampiri.
“Kay, dengerin aku, Kay…” ucapnya mencoba menjelaskan.
Kayla melotot, tangannya mengepal.
“Mau apa lo?! Udah sama si Salsa masih aja mau jelasin! Jelasin apa sih?!” bentaknya kesal.
“Ya gue nggak sama Salsa. Kita temenan!” Putra bersikeras, wajahnya serius.
Kayla mendengus, matanya sinis.
“Oh iya? Bagus!” ucapnya dingin, lalu langsung masuk ke gedung bioskop.
Putra menendang kursi dengan kesal.
“Akh sialan… gimana cara gue dapetin Kayla lagi?!” gerutunya.
Salsa menarik lengan Putra dengan cemburu.
“Lo masih mau sama si Kayla? Trus gue gimana?!” tanyanya dengan nada getir.
“Gara-gara lo!” Putra menoleh tajam, suaranya meninggi.
“Lah lo juga mau kan!” balas Salsa tak kalah emosinya, mengejar Putra masuk.
Di dalam studio, Kayla dan Revan duduk tak jauh dari mereka, meski berpura-pura tidak melihat.
Kayla menunduk sepanjang film, pikirannya kacau.
“Van… gimana dong?” ucap Kayla pelan, rengeknya keluar di tengah gelap.
Revan menoleh, menatap wajah Kayla yang diterangi sedikit cahaya layar.
“Gue nggak bisa ngapa-ngapain, Kay. Kalo soal keluarga… gue nggak punya kuasa,” jawabnya dengan berat hati.
Air mata Kayla kembali jatuh. Ia menggenggam tangan Revan erat.
“Bawa gue kabur, Van…” bisiknya.
Revan kaget, menatap Kayla yang wajahnya penuh putus asa.
“Kay… lo jangan nangis dong,” ucap Revan lirih, lalu menggenggam balik tangan Kayla, mencoba menenangkannya.
“Gue nggak mau nikah sama si Axel, Van! Hidup gue bakal tersiksa…” isaknya pecah.
Revan menghela napas panjang, matanya ikut berkaca-kaca.
“Sorry, Kay… gue nggak bisa nolongin lo. Posisi gue serba salah…” ucapnya sambil mengusap rambut Kayla dengan lembut.
Setelah film usai, mereka naik ke rooftop cafe dekat bioskop. Malam itu angin berhembus kencang, lampu kota berkelip di bawah sana.
Kayla hanya menatap kosong ke arah jalanan, sedangkan Revan tak berhenti menatapnya.
Tiba-tiba Kayla berkata, “Kabur… hayu…” ucapnya pelan, matanya berkilat penuh nekat.
Revan terdiam. Ia menunduk, menahan sesak.
“Kay… lo tau hidup gue susah. Kalo gue kabur sama lo, nanti bokap lo cari gue. Gue bisa masuk penjara. Kay… gue orang miskin, ngga kayak Axel…” suaranya parau.
Kayla menegakkan badan, menatap Revan dengan mata berkaca.
“Trus gue gimana ini, Revan?!” suaranya pecah, tubuhnya jatuh menelungkup di atas meja.
Revan mengepalkan tangannya di bawah meja, lalu dengan nada berat ia berkata,
“Nikah aja dulu, Kay… nanti kalo gue sukses… gue ambil lo dari Axel.”
Kayla langsung mendongak, matanya terbelalak.
“Maksud lo… apa?!” tanyanya kaget.
Revan menatap lurus ke mata Kayla, akhirnya ia jujur.
“Gue suka sama lo, Kay. Sakit hati gue denger lo dijodohin… tapi gue bisa apa? Orang tua lo nggak pernah suka liat lo sama gue. Gue orang ngga punya, Kay…” ucapnya dengan nada sedih, matanya bergetar.
Kayla tertegun.
“Lah, Van… kok lo gitu?!” suaranya tercekat.
“Gitu gimana?” Revan balik bertanya, bingung.
Kayla mengusap air matanya, nadanya naik.
“Kok lo mikirin lo miskin mulu?! Ngga suka gue, Van?! Harusnya kalo lo suka sama gue… bawa kabur gue! Bukan kayak gini!” teriaknya lirih, emosinya meledak.
Revan menggeleng, suaranya pelan tapi tegas.
“Ngga bisa, Kay… gue ngga akan bisa bahagiain lo sekarang. Next… gue akan bahagiain lo. Gue janji.”
ucapnya sambil menggenggam tangan Kayla dengan erat, seolah tak mau melepas.