NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:995
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Firasat

Ia meminta Agam datang, berharap bisa menginap di rumahnya malam itu.

Hampir lima kali Kevin menelepon, tapi tak satu pun diangkat. Kesulitan menahan amarah, ia membanting telepon. "Sialan!"

Tak ada pilihan lain, Kevin memutuskan pergi—menuju tempat ia biasanya berkumpul dengan teman-teman klub motornya. Mungkin dengan cara itu, ia bisa melupakan kejadian barusan.

Perjalanan dengan motor besar memakan waktu sekitar dua puluh menit, hingga akhirnya ia sampai di tujuan: sebuah café yang memang dijadikan tempat tongkrongan. Kevin merasa lega. Suasana ramai, beberapa teman sudah asyik menyeruput kopi mereka.

"Lu udah selesai acara, Kevin?" tanya Zaki.

"Ya udah, makanya gue ada di sini," jawabnya singkat.

"Kusut amat muka lu, Bro. Kenapa?" tanya teman yang lain.

Kevin enggan menjawab. Ia memanggil pelayan, memesan kopi, dan menyalakan sebatang rokok. Dengan cara itu, ia bisa sedikit melepaskan beban di kepalanya.

Tak sengaja, pandangan Zaki tertuju ke parkiran. Dahinya mengernyit melihat seorang gadis berdiri di samping motor Kevin. Zaki menduga mungkin Kevin bertengkar dengan gadis itu dan meninggalkannya begitu saja.

"Lu kalo berantem seenggaknya jangan ninggalin cewek di luar," ucap Zaki sambil menepuk bahu Kevin.

"Ngomong apaan lu? Gak jelas."

"Tuh, cewek lu kan? Ajaklah, Bro, ke sini. Kalo lu gak mau, buat gue juga gak apa-apa."

Dahi Kevin mengernyit. Ia menoleh ke parkiran, tapi tak ada siapa pun. Kevin memilih mengabaikan komentar temannya. Pikiran sudah terlalu kacau untuk meladeni candaan pria berambut pirang itu.

......................

Pagi hari, Ki Wangsit turun dari bukit menuju hutan. Ia hendak mengumpulkan ranting kering karena persediaan di rumahnya sudah habis. Satu per satu ranting dikumpulkan di atas karung yang digelar di tanah, nantinya akan disatukan dan diikat.

Saat mengambil ranting, pandangan Ki Wangsit tertuju pada sebuah pohon. Ia memicingkan mata, mendekat ke batang dengan ekspresi heran. Ranting di tangannya ia turunkan, lalu tangannya menyentuh sesuatu yang berwarna merah. Ia mengendusnya.

"Bau darah, tapi ini sudah kering. Ada apa sebenarnya?" gumam pria paruh baya itu, tangannya menyentuh sesuatu berwarna merah, lalu mengendusnya. "Bau darah, tapi ini sudah kering.

Ki Wangsit mundur perlahan, tangan terlipat di dada. Matanya terpejam, mencoba menelusuri setiap kejadian lewat mata batin. Sekelebat bayangan hitam-putih melintas di benaknya: Vani terkena semburan darah yang menetes dari pohon.

Suara kikikkan terdengar, membuat Ki Wangsit membuka mata dan mendongak. Di atas pohon, sosok yang menempati cabang itu duduk dengan tenang, kakinya bergerak-ayun. Siapa pun pasti enggan menatap makhluk berlumuran darah dengan mata yang nyaris terlepas.

Ki Wangsit buru-buru berpaling, membereskan ranting yang masih di tangannya, lalu meninggalkan sosok itu. Sesal menghampirinya; seharusnya saat acara kemah berlangsung, ia ikut turun ke lapangan hingga semua selesai.

Sementara itu, di sebuah rumah mewah bercat putih dengan sentuhan emas, Kevin dan teman-temannya berkumpul di halaman belakang. Sekolah diliburkan sehari setelah kemah, memberi mereka waktu untuk membahas masalah jelangkung.

Di tengah halaman, sudah tersedia tong sampah besar. Rencana mereka jelas: membakar boneka jelangkung. Tak ada pilihan lain—dibuang pun, benda itu pasti akan kembali.

"Ini gak akan kenapa-napa?" tanya Bobi.

"Justru ini satu-satunya cara buat musnahin benda sialan ini," jawab Kevin. Matanya tampak lelah; semalaman ia tak tidur. Setiap kali memejamkan mata, selalu muncul bayangan mengerikan. Kevin sempat bergadang di kost teman, baru pulang setelah azan Subuh.

"Harusnya ini dibakar sama orang bisa, Kevin. Seenggaknya dibacain dulu," ucap Agam memberi pendapat.

"Kelamaan. Udah, kita bakar aja. Biar setannya ikut mati," Kevin menimpali.

Akhirnya, Bobi menyalakan korek dan melemparkannya ke dalam tong sampah. Jelangkung telah ditumpuk di atas sampah kering agar mudah terbakar. Api membara besar. Kevin menarik napas berkali-kali, berbeda dengan teman-temannya yang tampak gelisah.

......................

Diiringi suara gagak yang menyalak, Ki Wangsit berkeliling halaman rumah sambil membaca aji-aji. Ia membawa tampah berisi kendi air dan kemenyan yang menyala. Dari kendi itu, ia meneteskan air ke tanah di sekitar pintu rumah.

"Firasatku memang benar. Kemarin pasti ada sesuatu," gumam Ki Wangsit setelah duduk di ambang pintu terbuka. Matanya menelisik keasrian gunung dan pepohonan hijau, penuh konsentrasi batin.

Riuh angin menggesek dedaunan, namun di balik desisnya terdengar pula suara lain—lirih, samar, menyerupai kerumunan orang yang tengah bercakap pelan. Ki Wangsit berdiri, lalu menutup pintu rumah rapat-rapat, seakan hendak menghalau sesuatu yang tak kasatmata.

Pria itu menuruni halaman rumah yang memang berdiri di tanah tinggi. Sambil melangkah, pandangannya tak lepas dari deretan pepohonan. Sekilas, ia merasa melihat sosok besar menyerupai lutung putih, bayangan tubuhnya melintas begitu cepat. Namun ketika dipastikan kembali, tak ada apa pun di sana. Seolah makhluk itu hanya bisa ditangkap oleh ekor mata.

Kejanggalan di hutan akhir-akhir ini membuat hatinya diliputi kecemasan. Ia khawatir ada sesuatu yang menimpa kampung di bawah kaki gunung. Maka, Ki Wangsit pun turun, berjalan melewati persawahan, sempat menyapa warga yang berpapasan dengannya.

Langkahnya berbelok menuju sebuah rumah. Rumah yang pernah dilihat Ratna saat rombongan SMK BINA KARYA pulang dari perkemahan. Ya, rumah nenek Naya. Tampak Mbok Sutiah, seorang perempuan berusia sekitar tujuh puluhan, sedang menjemur opak di halaman.

“Mbok,” sapa Ki Wangsit seraya duduk di balai bambu.

“Tumben turun, Ki? Wonten menapa...?” sahut Mbok Sutiah. Usai menuntaskan pekerjaannya, ia ikut duduk di balai yang sama, tangannya sibuk membersihkan bawang kucai.

Ki Wangsit tak segera menjawab. Matanya meneliti keadaan rumah yang lengang. “Gala sama anaknya sudah pulang ke Jakarta, Mbok?”

“Sudah. Barengan sama anak-anak kota yang kemah itu. Sorenya, Gala langsung berangkat ke Jakarta. Katanya cutinya sudah habis, harus kerja lagi.”

Mbok Sutiah melirik Ki Wangsit yang hanya terdiam, lalu pandangannya mengarah ke timur—tepat ke gunung dan hutan yang sejak lama dijaga pria itu.

“Mbok merasa ada yang aneh nggak dua malam terakhir ini?” tanya Ki Wangsit, akhirnya membuka percakapan yang sejak tadi ia tahan.

“Kamu curiga sesuatu? Kamu kan tahu, Mbok nggak peka sama hal-hal aneh. Mbok bukan Lek Marijo.”

Ki Wangsit terdiam. Ia tahu, mendiang Lek Marijo—suami Mbok Sutiah—memang pandai membaca tanda-tanda gaib. Namun, gangguan dari alam lain bisa saja menimpa siapa pun. Kekhawatiran Ki Wangsit sejak awal memang kalau Mbok Sutiah ikut diteror.

“Sejak ada yang kemah di sana, suasana hutan terasa nggak beres. Takutnya sampai ke kampung sini juga,” ucap Ki Wangsit perlahan.

“Menurutmu, mereka ada yang melanggar?”

“Mungkin iya. Atau tanpa sengaja mengusik sesuatu. Yang jelas, kita harus berjaga-jaga... barangkali memang ada apa-apa.”

Mbok Sutiah menarik napas panjang, lalu mengangguk. Sejak muda, Ki Wangsit dan Lek Marijo memang bersahabat. Apa pun yang terjadi, selalu mereka tangani bersama. Namun kini, sahabatnya telah lebih dulu kembali ke pangkuan Sang Khalik bertahun-tahun silam. Tinggallah Ki Wangsit seorang diri, menanggung kewaspadaan yang kian berat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!