Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan menyesatkan.
Dengan perlahan Handrian mencoba untuk menyingkirkan tangan halus yang melingkar di dadanya. Jemarinya juga bergerak pelan, dan berusaha melepaskan genggaman itu dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan reaksi yang lebih rumit.
Namun begitu tangannya hendak menyingkirkan tangan lembut itu, wanita tersebut justru semakin mengeratkan pelukannya, seolah ia sangat enggan untuk melepaskan pria yang kini terbaring bersamanya.
Dengan suara lirih namun sarat dengan emosi, wanita itu berbisik di dekat telinganya.
"Handrian… sebenarnya kamu itu kenapa? Dari tadi aku melihatmu seperti tidak bersemangat, bahkan seolah tidak menikmati apa yang terjadi di antara kita. Tidak biasanya kamu begini. Apakah… kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"
Wanita yang bernama Adelina Prameswari itu merupakan wanita cantik, yang pertama kali mengisi hati Handrian. Dia adalah wanita yang telah menjalin kasih dengan pria itu, sebelum pernikahan Handrian dengan Rosalina.
Selain seorang kekasih, Adelina juga seorang anak dari pemilik perusahaan tempat Handrian bekerja.
Suara Adelina terdengar gemetar meski dibalut kelembutan. Sorot matanya yang tadinya penuh pesona kini dipenuhi oleh tanda tanya, dan juga sedikit luka yang tidak bisa ia sembunyikan.
Handrian menjadi terdiam dalam beberapa saat. Dadanya terasa sesak seolah kata-kata Adelina tadi, adalah kata-kata yang begitu menusuk ke dalam ruang hatinya yang paling rapuh.
Sehingga, Handrian pun menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan.
"Hhh…" sebuah helaan nafas terdengar pelan dari bibirnya, dan nyaris seperti rintihan.
Ia kemudian menggeser tubuhnya, dan berusaha untuk bangkit dari pelukan wanita itu. Dan dengan gerakan cepat, Handrian meraih kemejanya yang berceceran di lantai, lalu ia mulai mengenakannya.
Jari-jari tangannya bergerak dengan gerakan tergesa-gesa, untuk mengancingkan pakaiannya satu persatu, meskipun beberapa kali tangannya bergetar dan tidak terkendali.
Adelina hanya menatapnya dari balik sofa, sambil duduk bersandar dengan selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Wajahnya masih menyimpan senyum samar, tapi kini dibalut dengan perasaan kebingungan dan juga rasa takut akan kehilangan.
"Handrian…" panggilnya lagi, dengan suara yang terdengar sedikit bergetar,
"Jawablah pertanyaanku… apakah benar perasaanku ini? Kalau kamu itu tidak sama lagi dengan Handrianku yang dulu?"
Namun Handrian hanya menghentikan gerakannya sejenak. Matanya mencoba menatap kearah jendela besar rumah Adelina, di mana terlihat cahaya lampu jalan yang temaram, dan masuk menembus kaca.
Namun tiba-tiba saja, bayangan Rosalina kembali hadir dalam pikirannya. Wajah istrinya yang berlinang air mata, dan juga suara tangisannya yang terus menghantui benaknya.
Bibir Handrian terlihat bergerak, namun kata-kata yang ingin ia ucapkan seolah terhenti di tenggorokan. Ia tidak sanggup memberikan jawaban yang pasti, karena hatinya sendiri masih berkecamuk di antara penyesalan dan juga rasa kebingungan.
Akhirnya, dengan suara lirih yang nyaris hilang dan tertelan oleh keheningan, ia pun berkata,
"Aku… tidak tahu, Adelina."
Dan jawabannya itu, seketika membuat suasana didalam ruangan tersebut menjadi semakin hening. Udara didalamnya juga seolah berhenti mengalir.
Disaat Handrian sudah selesai mengenakan semua pakaiannya, dan ia hendak melangkah pergi dari hadapan Adelina, wanita itu pun memanggilnya dengan suara yang begitu lembut.
"Handrian… tunggu dulu," suara itu terdengar sangat manja namun sarat dengan sebuah penekanan.
Handrian segera menoleh, dan menatap Adelina yang telah berdiri dibelakangnya, dan masih menggunakan selimut tipis yang melingkari tubuhnya.
Tatapan matanya begitu tajam namun juga penuh kelembutan yang sulit untuk ditolak.
Tangan wanita itu pun terulur, dan mencoba untuk menahan pergelangan tangan Handrian agar pria itu tidak melangkah lebih jauh.
"Kamu mau kemana buru-buru seperti itu, Han? Malam ini adalah malam yang masih begitu panjang," bisiknya sambil tersenyum samar.
"Setidaknya, sebelum kamu pergi… mandilah lebih dulu. Kamu pasti sangat kelelahan setelah perjalanan tadi."
Handrian kembali terdiam, dan dadanya juga masih berdegup kencang. Namun ada dorongan kuat yang membuatnya ingin segera pergi.
Tetapi genggaman Adelina pada pergelangan tangannya, membuat langkahnya terasa berat. Akhirnya ia pun menghela nafas panjang, dan kemudian mengangguk pelan.
"Baiklah… aku akan mandi sebentar. Setelah itu aku akan pulang."
Suara Handrian terdengar tegas, meskipun lirih.
Adelina hanya tersenyum tipis sambil menatap kearah pria yang sangat dicintainya itu.
Ya, silahkan Handrian. Aku akan menunggumu disini."
Dan dengan langkah ragu, Handrian pun masuk kekamar mandi untuk membersihkan dirinya. Suara air yang mengalir kini sedikit menenangkan hatinya yang terasa kacau.
Meskipun bayangan Rosalina masih terus menghantui pikirannya, namun ia mencoba menunduk untuk membasuh wajahnya berulang kali, dan berharap jika bayangan kesalahannya pada perempuan itu, bisa sedikit terhapus bersama dinginnya air yang telah menyentuh kulitnya.
Namun, saat ia tengah larut dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka dengan perlahan, yang membuat Handrian sontak menoleh kebelakang.
Dan saat itu juga, bola matanya melotot sempurna. Karena melihat Adelina yang sudah berdiri disana, dengan selimut yang sudah melorot dari tubuhnya. Sehingga tampilan tubuh dan kulitnya yang putih mulus, kini terlihat lagi oleh Handrian.
"Adelina?!" ucap Handrian, dengan nada suara yang begitu terkejut.
Namun wanita cantik itu terus melangkah masuk, dengan senyum menggoda yang terus menghiasi bibirnya yang ranum dan indah.
"Handrian… Tolong jangan pergi dulu. Aku tidak ingin malam ini berakhir dengan suasana yang dingin seperti ini. Tapi aku akan mengizinkan kamu pergi setelah kamu memberikan kehangatan yang seperti biasanya." Bisik Adelina lirih, sambil terus mendekat.
Handrian mencoba memundurkan tubuhnya selangkah kebelakang. meskipun saat itu tubuhnya terlihat semakin menegang.
"Adelina, jangan… Aku tidak bisa melakukan hal itu lagi, karena saat ini aku harus segera pulang. Karena Rosalina istriku..."
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adelina sudah lebih dulu meletakkan telunjuknya dibibir Handrian.
"Shhh… jangan sebut nama itu di sini. Karena malam ini… hanya ada aku dan kamu."
Tiba-tiba saja tubuh Handrian bergetar hebat. Ia berusaha menepis tangan Adelina yang mulai kembali menyentuh tubuhnya.
Dan entah mengapa kali ini ia merasa begitu risih dengan perlakuan wanita yang telah berulang kali dijamah olehnya itu. Seperti ada rasa tidak nyaman yang mulai menelusup masuk kedalam fikirannya.
Namun sebaliknya, jemari lembut milik Adelina tetap berusaha untuk menyentuh wajahnya, dan juga menyusuri rahangnya yang tegas. Dan kemudian, jemari itu pun mulai turun kearah dadanya yang polos tanpa ditutupi oleh apapun.
Untuk kesekian kalinya, sentuhan itu benar-benar telah membuat pertahanan Handrian goyah.
"Aku tahu kamu masih sangat mencintaiku, Han. Karena aku masih bisa merasakannya, dari tatapanmu… tubuhmu… semua itu masih menjadi milikku," Adelina berbisik dengan suara yang bergetar, lalu kemudian ia pun mulai merapatkan tubuhnya lagi pada dada bidang Handrian.
Kini Handrian hanya bisa memejamkan matanya, dan mencoba untuk menolak.
"Adelina, jangan… perbuatan ini adalah kesalahan besar yang telah kita lakukan, dan kita juga telah melakukannya berulang kali tanpa terikat dengan sebuah pernikahan. Sebaiknya sekarang..."
Namun, perkataan Handrian langsung terpotong saat Adelina mendekap tubuhnya dengan erat.
Aroma parfumnya yang hangat, dan tatapan matanya yang penuh dengan bujuk rayu, membuat Handrian semakin sulit untuk bertahan.
"Aku butuh kamu, Handrian… malam ini, aku hanya menginginkanmu. Aku juga tidak perduli bagaimana dengan hubungan kita, karena aku hanya ingin bersamamu, Jadi biarkan aku memelukmu, meski hanya sebentar," ujar Adelina sambil menempelkan wajahnya dileher Handrian.
Degup jantung Handrian pun terasa semakin kencang. Nafasnya saat itu juga kian memburu, dan fikirannya terasa semakin kacau.
Ia masih saja mencoba untuk menahan diri, namun setiap gerakan Adelina seolah semakin melumpuhkannya. Hingga akhirnya, dengan perlahan tapi pasti, tangannya mulai membalas pelukan dari wanita cantik itu.
Sejenak mereka berdua hanya bisa terdiam, dan yang terdengar hanyalah suara air yang masih menetes dari shower.
Hingga akhirnya, Handrian pun menyerah pada kelembutan dan juga rayuan yang diberikan oleh Adelina. Membuatnya membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam godaan yang semakin menyesatkan.
Malam itu, sekali lagi ia terjerumus ke dalam hubungan yang penuh nafsu, meski hatinya masih terus dikejar dengan rasa bersalah yang begitu menyesakkan.
Bersambung...