Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Setelah membuat kopi, Aresa langsung mengantarnya ke ruang keluarga. Alvino yang duduk memunggungi Aresa membalikkan badan dan menerima uluran nampan berisi kopi dari tangan adiknya itu. Setelahnya, Aresa masuk ke kamar dan bersiap membersihkan diri.
Usai mandi, ia keluar mengenakan daster rumahan berwarna biru muda—daster yang terasa nyaman dan sudah lama tidak ia pakai. Dipadu dengan jilbab segi empat polos, penampilannya tampak santai, sangat berbeda dari citranya yang anggun dan profesional saat bekerja di Eropa.
Aresa segera menuju dapur. Bau bawang putih, kemiri, dan cabai yang ditumis langsung menyambutnya. Dapur besar itu sudah dipenuhi hiruk-pikuk santri yang sibuk menyiapkan sarapan.
“Mbak,” sapa Aresa, mendekati salah satu santri senior.
“Ya, Ning?” jawab Mbak Santri dengan hormat.
“Buat keluarga ndalem masak apa pagi ini?” tanya Aresa sambil mengambil alih wajan besar.
“Kemarin Ibu Hera bilang masak nasi goreng saja, Ning—disamakan dengan santri, biar cepat dan efisien,” jelas Mbak Santri.
“Oh, iya. Oke, saya masak buat ndalem. Kalian lanjut masak buat santri, ya. Sudah mulai siang, takut mereka telat sarapan sebelum sekolah,” ujar Aresa, langsung bergerak cekatan.
Mereka mulai memasak bersama. Di tengah kepulan asap nasi goreng, terdengar tawa ringan Aresa saat ia menceritakan kehidupannya di Eropa. Kehadirannya, sebagai putri pemilik pesantren, selalu membawa keceriaan. Tak ada yang menyangka bahwa tangan yang sedang sibuk mengaduk nasi goreng itu adalah tangan yang sama yang merancang sistem pertahanan motor balap berteknologi tinggi.
****
Pukul tujuh tepat, nasi goreng sudah tersaji di meja makan. Karena Adnan dan Hera belum pulang dari pengajian, meja hanya diisi oleh Ayu, Sarah, Alvino, Alif, dan Aresa. Anak-anak mereka masih tertidur.
Jhonatan bergabung tak lama kemudian, masih dengan celana kain dan kaus polo. Ia mengambil kursi kosong di sebelah Aresa. Tatapannya jatuh pada wanita itu—sederhana, polos, tanpa riasan, tapi menenangkan. Kontras sekali dengan penampilannya saat di Jakarta.
Ia melirik sekeliling. Alvino dilayani oleh istrinya, Ayu, yang duduk di sampingnya. Sementara di seberang, Alif juga dilayani Sarah. Jhonatan merasa seperti orang asing yang tak tahu etiket makan di rumah keluarga besar. Ia ragu untuk mengambil makanan sendiri.
Ia pun menyenggol pelan lengan Aresa.
“Res,” panggil Jhonatan pelan.
Aresa menoleh, sedikit terkejut dari lamunannya. “Ada apa, Kapten?”
“Ambilin nasinya,” bisik Jhonatan canggung.
“Oh, iya! Lupa. Maaf,” ucap Aresa seraya tersenyum nyengir—senyum yang lepas dan hangat. Ia mengambil piring, lalu menyendok nasi goreng untuk Jhonatan. “Segini cukup?”
“Cukup, Res. Terima kasih,” jawab Jhonatan lembut.
Di seberang meja, Alvino tersenyum penuh arti. Ayu menyikut suaminya, menahan tawa. Alif dan Sarah saling pandang dengan tatapan menggoda.
“Wah, wah,” sindir Alif, menaruh sendoknya. “Baru datang sudah ada pembagian tugas di meja makan. Enak ya, Jo—dilayani langsung oleh Ning kita.”
Alvino tertawa lepas. “Lif, begitulah kalau sudah di rumah ndalem. Kapten pun harus tunduk pada aturan rumah.”
“Bukan begitu, Mas,” sanggah Aresa cepat, pipinya sedikit memerah. “Kapten cuma sungkan ngambil sendiri. Lagipula, dia tamunya Mas Vino.”
Sarah ikut menimpali lembut. “Tapi setidaknya, Jhonatan nggak kaku kalau sama Aresa. Kemarin di depan Bapak kan, kaku banget.”
“Tentu saja,” timpal Alif lagi dengan nada menggoda. “Dia kan harus jaga citra—jangan sampai Kapten ini dikira bawa masalah ke rumah.”
Jhonatan hanya tersenyum tipis. Ia tahu sedang dijadikan bahan olok-olok, tapi diam-diam menikmati suasana akrab itu. Mereka tahu. Semua orang di meja itu tahu—ini bukan sekadar urusan pekerjaan.
****
Setelah sarapan usai, Aresa bersama Ayu dan Sarah membereskan meja. Mereka membawa piring kotor ke dapur, tawa mereka kembali ramai.
Setelah bersih-bersih, Aresa langsung membawa semangkuk bubur ke kamar Mbah Uti dan Mbah Kakung yang berada di lantai bawah.
"Mbah, sarapan yuk," sapa Aresa lembut.
"Iya, Nduk," jawab Mbah Uti, matanya berkaca-kaca melihat cucu kesayangannya kembali.
Aresa dengan sabar menyuapi Mbah Uti dan Mbah Kakungnya. Mbah Kakungnya yang hanya bisa tersenyum, Aresa mengusap tangan Mbah kakungnya, mencurahkan rasa rindu yang terpendam. Momen kesunyian ini adalah penyeimbang dari hiruk pikuk drama pekerjaannya di Eropa.
Setelah selesai, Aresa tidak langsung ke kamar. Ia pergi ke dapur lagi, mengecek stok bahan makanan. Ia mendapati hanya ada tempe, sayur dan bumbu dapur sudah habis. Ia langsung pergi ke asrama santri putri, mengajak beberapa santri untuk pergi ke pasar membeli kebutuhan dapur.
****
Setelah kembali dari pasar, Aresa berjalan ke kamarnya. Namun sebelum sempat masuk, Jhonatan keluar dari kamarnya dengan beberapa baju di tangan.
“Res,” panggilnya.
“Ya, kenapa, Kapten?”
“Kamu ada setrika enggak? Baju saya kusut—nggak enak dilihat kalau survei lokasi nanti,” ujarnya, agak sungkan.
“Oh, ada. Sebentar, saya ambil dulu,” jawab Aresa cepat.
Ia mengambil setrika dan alasnya dari kamar, lalu menuju kamar Jhonatan yang pintunya terbuka lebar. Tanpa banyak bicara, ia mulai menyetrika baju itu satu per satu. Suasana hening. Hanya suara setrika yang sesekali mendesis.
Jhonatan berdiri di dekat pintu, memperhatikan diam-diam. Jantungnya menghangat. Aresa—wanita yang selalu tampil tegas dan profesional—kini tampak begitu tenang, sederhana, dan tulus. Ia teringat pernikahan lamanya; betapa hal sesederhana ini dulu bisa memicu pertengkaran.
Saat Aresa menaruh baju yang sudah rapi di kasur, ia kembali pada nada profesional.
“Mau tinjau berapa lokasi, Kapten?” tanyanya datar.
“Dua lokasi, kayaknya. Kenapa?”
“Semoga lancar,” sahut Aresa singkat.
Jhonatan menatapnya sejenak. “Kamu jadi ikut, kan?”
Aresa menggeleng pelan. “Nggak, Kapten. Seperti yang saya bilang waktu itu di kafe—urus saja sama Mas Alvino. Saya nggak mau ikut campur.”
“Maaf, Res,” ujar Jhonatan pelan. “Maaf atas kejadian di kafe itu. Saya tahu kamu nggak nyaman.”
“Iya, nggak apa-apa,” jawab Aresa singkat, berusaha menutup percakapan.
Belum sempat suasana benar-benar tenang, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Mas Alif muncul dan langsung masuk ke kamar tanpa mengetuk. Tatapannya tajam, penuh curiga.
“Lagi ngapain kalian berduaan di kamar?” tanyanya tegas.
“Ini bantu nyetrika bajunya Kapten Jhonatan, Mas,” jawab Aresa cepat.
“Iya, Mas. Saya yang minta tolong,” tambah Jhonatan tenang.
“Jangan bohong kalian,” ujar Alif, melangkah mendekat—suaranya meninggi.
Jhonatan tetap menatapnya mantap. “Tidak, Mas. Kami tidak bohong.”
Aresa ikut menjawab, santai, “Iya sih, tenang aja napa, Mas.”
“Tenang, tenang—mana bisa gue tenang lihat kalian berduaan di kamar?” balas Alif, sewot.
“Ya Allah, Mas! Pintunya aja kebuka itu, loh! Kenapa Bapak-bapak ini pada curigaan banget, sih!” seru Aresa, mulai kesal.
“Iya, iya—awas aja kalau macam-macam,” ujar Alif akhirnya, wajahnya masih tegang sebelum akhirnya berbalik pergi.
Aresa menghela napas panjang. Setelah selesai menyetrika, ia membereskan alatnya.
“Saya ke kamar dulu, Kapten,” katanya pelan.
“Iya, Res. Terima kasih banyak,” jawab Jhonatan tulus.
Aresa melangkah pergi. Jhonatan berdiri di ambang pintu, memandangi punggungnya yang menjauh—hangat, tapi sekaligus membuat hatinya semakin gelisah. Benteng Aresa dan keluarganya terasa begitu sulit ditembus, namun justru itulah yang membuatnya ingin terus mencoba.