Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Dengan jemari yang masih bergetar hebat, Aruna menyalin semua video ke nomornya sendiri. Napasnya pendek-pendek, jantungnya berdegup tak karuan. Setiap klik terasa seperti pertaruhan hidup dan mati. Setelah semua terkirim, ia langsung mengirimkannya ke nomor Arkan. Ia tidak menulis panjang lebar, hanya sebuah kalimat pendek yang penuh luka sekaligus harapan.
“Tolong lihat ini. Aku harap kamu percaya padaku.”
Ponsel itu ia letakkan di meja dengan kasar. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan, tapi sorot matanya masih menyala penuh tekad. Ia sudah lelah ditindas, lelah jadi bahan permainan. Jika ada jalan untuk memulai dari awal, mungkin Aruna akan memilih meneruskan perusahaan Ayahnya daripada bekerja yang ternyata hasilnya hanya sebuah perjodohan.
Sementara itu, di ruang keluarga rumah Arkan, suasana mencekam. Udara seperti menegang, seolah dinding rumah pun ikut menyerap hawa kebencian yang dilemparkan Rani sejak tadi. Kedua keluarga duduk saling berhadapan, tapi bukannya hangat, yang terasa justru jurang yang semakin dalam.
Rani berdiri dengan angkuh, wajahnya penuh keyakinan. Kata-katanya yang menusuk tadi masih menggantung di udara, seolah membius semua orang untuk percaya. “Kalian bisa lihat sendiri kan? Aku nggak perlu bukti lain. Arkan nggak pernah cinta sama Aruna. Dan sekarang… semua sudah jelas, Arkan lebih mencintaiku, makanya dia tidur denganku.”
Aruna tidak ada di sana, dan itu membuat rekayasa Rani terdengar semakin mutlak. Beberapa wajah mulai menunjukkan keraguan, beberapa lainnya diam seribu bahasa.
Arkan sendiri duduk di sofa, tubuhnya kaku, rahangnya mengeras. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berputar kacau. Kata-kata Rani berputar di benaknya seperti racun yang menyesakkan. Ia ingin membantah, tapi bukti yang ditunjukkan Rani tadi membuatnya lumpuh, malam yang ia pikir dirinya sendirian, ternyata Rani yang menemaninya.
Tiba-tiba—
ting!
Notifikasi pesan masuk memecah ketegangan. Semua kepala menoleh ke arah Arkan yang merogoh ponselnya. Ia menunduk, membuka layar, lalu jantungnya langsung berdebar tak karuan saat melihat nama pengirimnya.
Aruna.
Tangannya bergetar saat membuka pesan itu. Puluhan file masuk berurutan, memenuhi layar dengan notifikasi. Video demi video, disertai pesan pendek yang membuat dadanya semakin sesak.
“Tolong lihat ini. Aku harap semua bisa percaya pada bukti yang sudah aku kirim.”
Arkan menelan ludah, lalu membuka salah satu video.
Sekejap, ruangan hening. Semua mata menatap layar ponsel di tangannya.
Video itu mulai diputar—tapi semakin lama diperhatikan, semakin jelas ada yang aneh. Wajah sosok perempuan dalam video itu sengaja diburamkan. Suara tawa yang terdengar tidak natural, seperti ditempel dari luar. Gambar bergerak patah-patah, potongan kasar terlihat jelas, dan tubuh laki-laki dalam rekaman itu bahkan tidak mirip dengannya.
“Apa-apaan ini…?” suara Arkan parau, tangannya mengepal. Ia membuka video berikutnya, lalu yang lain, dan yang lain lagi. Semuanya sama—rekayasa murahan yang dibuat untuk merebut Arkan.
Nafas Arkan memburu. Ia mengangkat wajah, menatap lurus ke arah Rani dengan mata merah berkilat. “Rani… apa maksudmu ini?”
Wajah Rani menegang, tapi ia masih mencoba tersenyum tipis. “I-itu… kamu salah lihat. Jangan-jangan Aruna—”
“Cukup!” Arkan tiba-tiba membentak, suaranya menggelegar membuat semua orang terperanjat. Ia berdiri, tubuhnya bergetar menahan amarah. “Kamu pikir aku nggak bisa membedakan mana video asli dan mana rekayasa?! Semua orang bisa lihat ini! Suara palsu, wajah buram, potongan kasar! Kamu sudah mencemarkan nama baikku, Rani! Dan kamu sudah buat Aruna begitu menderita akhir-akhir ini!”
Kedua orang tua Arkan terperanjat, wajah mereka pucat dan tegang. Sang ayah menatap layar dengan mata membelalak, lalu menghantam meja dengan tinjunya. “Astaga… rekayasa seperti ini bisa menghancurkan dua keluarga!”
Ibu Arkan menutup mulutnya, terkejut dengan apa yang ia lihat, sebelumnya ia pikir bahwa anaknya yang salah. Ternyata semua ini hanya rekayasa Rani.
Sementara itu, ayah Aruna berdiri dengan wajah memerah karena marah. “Cukup sudah! Betapa teganya seorang gadis sepertimu memalsukan semuanya hanya demi merebut Arkan dari Aruna?!”
Rani melangkah mundur, tubuhnya bergetar. Senyum sinis yang tadi menempel kini lenyap, berganti dengan wajah panik dan ketakutan. “A-aku… aku cuma…”
Arkan menatapnya tajam, nadanya dingin tapi penuh amarah. “Kamu sudah mencemarkan nama baikku. Bahkan kamu hampir saja membuat kedua keluarga bermusuhan. Kamu pikir ini permainan?!”
Ruangan kembali hening. Yang terdengar hanya napas berat Arkan yang penuh amarah. Semua mata kini tertuju pada Rani, yang semakin terpojok, tak mampu lagi bersembunyi di balik topeng kepalsuan. Tatapannya menusuk tajam ke arah Rani, seolah ingin menelanjangi setiap lapisan kepalsuan yang selama ini ia gunakan untuk menipu semua orang.
“Kamu… bukan perempuan baik-baik, Rani,” ucap Arkan lirih, namun suaranya bagaikan petir yang menyambar.
Semua orang sontak menoleh kaget, menahan napas.
Arkan melangkah maju, tatapannya tak pernah lepas dari Rani. “Selama ini aku mencoba menutup mata, mencoba percaya bahwa kamu hanya sekadar cemburu. Tapi nyatanya? Kamu bahkan lebih rendah dari yang aku kira. Kamu sama persis seperti kupu-kupu malam, menjual diri demi sebuah posisi, demi sebuah nama, demi sebuah kebanggaan palsu!”
Wajah Rani pucat pasi. Kata-kata itu menghantamnya bagai cambukan, memecah sisa topeng yang ia kenakan. “A-aku tidak—”
“Diam!” bentak Arkan, suaranya menggelegar sampai membuat Rani terlonjak. “Kamu pikir semua orang di sini buta? Kamu pikir mereka tidak bisa melihat kebenaran? Semua bukti sudah jelas. Rekaman murahan yang kamu buat itu bahkan tidak pantas disebut bukti! Dan cara kamu menjebakku di malam itu… sudah cukup menunjukkan siapa sebenarnya dirimu.”
Rani terisak, berusaha membela diri. “Aku… aku hanya ingin kamu melihat aku, Ark—”
“Melihatmu?!” Arkan mendengus, matanya merah berair menahan emosi. “Yang kulihat hanyalah seorang perempuan licik yang rela menghancurkan orang lain demi egonya sendiri! Kamu bahkan tega menjatuhkan Aruna, seorang perempuan yang selama ini nggak pernah sekalipun menyakitimu, hanya karena kamu nggak bisa menerima kenyataan bahwa aku dan Aruna akan segera menikah!”
Ruangan kembali hening, hanya suara isakan tertahan dari Rani yang terdengar.
Ayah Aruna menatap Arkan dengan mata berkilat. “Anak muda… kamu sudah cukup jelas. Semua orang di sini tahu siapa yang benar.”
Ayah Arkan mengangguk tegas, wajahnya kelam tapi penuh ketegasan. “Rani, kamu sudah mempermalukan dirimu sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan anakku, keluargaku, apalagi Aruna, menjadi korban dari kebusukanmu lagi.”
Ibu Arkan menitikkan air mata, menoleh pada suaminya. “Kita… hampir saja salah menuduh anak sendiri…”
Arkan mengepalkan tangannya, lalu mengangkat dagunya, menatap Rani dengan dingin menusuk. “Mulai detik ini, aku tidak mau lagi melihat wajahmu, Rani. Kamu sudah kehilangan semua rasa hormatku. Bahkan kupu-kupu malam sekalipun lebih jujur daripada dirimu.”
Rani terisak keras, tubuhnya melemas, lututnya hampir tak mampu menopang. Kata-kata Arkan bagaikan pedang yang menebas habis sisa harga diri yang ia miliki.
Sementara itu, di kejauhan, layar ponsel Arkan masih menyala dengan deretan video kiriman Aruna. Seolah menegaskan satu hal—bahwa kebohongan masa lalu lebih kejam dari pada takdir masa depan.