"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Mana?
Indira benar-benar panik seiring langkah tim marketing yang sudah semakin mendekat. Sial, sepertinya di luar pun Rumi tak bisa mencegah mereka.
"Kamu harus sembunyi sekarang, Rad!" bisik Indira panik.
Akan tetapi, Rada masih berdiri santai, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Gak usah panik. Tinggal bilang aja kita diskusi proyek baru. Selesai."
"Gak bisa! Mereka bisa curiga, Rada. Aku kan bukan kepala divisi. Mana boleh seenaknya ngobrol berdua sama arsitek di jam kerja!" desis Indira dengan ekspresi kalut.
Tak mau ambil risiko, Indira langsung menarik lengan pria itu dengan tenaga penuh. Kemudian, mendorongnya agar membungkuk dan masuk ke ruang kosong di bawah meja. "Masuk ke situ. Cepetan!"
Rada menatap lubang sempit itu dengan dahi berkerut. "Ya ampun ... ini sempit banget, Sayang. Kamu kira aku ini kucing?"
"Masuk, atau aku mogok ngomong sama kamu sebulan penuh!" ancam Indira cepat, lengkap dengan tatapan membunuh.
Dalam hati, Rada mengeluh pelan. Tapi akhirnya ia menurut juga. Dengan susah payah, tubuh tingginya berhasil masuk ke kolong sempit di bawah meja kerja Indira. Posisi lutut ditekuk, kepala sedikit menunduk, dan wajahnya hanya beberapa jengkal dari betis istrinya yang menjulur santai.
"Jangan gerak-gerak," bisik Indira.
"Kalau aku pegel gimana?"
"Ya jangan pegel!"
Baru saja Rada ingin membalas, pintu ruangan terdengar dibuka lebar. Lima orang dari tim marketing masuk dan langsung mengambil tempat di sofa panjang di ujung ruangan. Rumi pun ikut masuk dengan wajah senyum tipis.
"Yuk, kita mulai bahas promosinya," ucap Rumi santai.
Indira menarik napas panjang dan tersenyum paksa. "Kamu keluarin dulu file yang kemarin kita susun, Rum," titahnya.
Diskusi berlangsung normal. Tim marketing membahas strategi promosi untuk proyek Cluster Alam Raya. Suara tawa sesekali terdengar, dibarengi dengan suara bolpoin yang mencoret-coret catatan.
Akan tetapi, di bawahmeja, suasana justru sebaliknya. Rada nyaris tidak bisa bergerak. Ia terus-menerus harus menahan diri agar tidak menyenggol kaki Indira.
'Tuhan ... kenapa Kau malah jebak aku di sini?' keluh pria itu dalam hati.
***
Sementara itu di ruangan tim desain, Rendi mulai gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. Beberapa kali ia melirik ke arah jam dinding yang tergantung.
"Rada ke mana, sih?" gumamnya jengkel.
Tadi Rada bilang hanya keluar sebentar untuk membuat kopi. Namun, sudah hampir setengah jam dan pria itu belum juga kembali. Rendi yang awalnya santai, mulai merasa aneh sebab biasanya Rada bukan tipe orang yang suka keluyuran terlalu lama saat jam kerja.
Baiklah. Rendi tidak bisa diam saja. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pantry. Sesampainya di sana, ia melihat beberapa OB tengah sibuk mengatur gelas-gelas ke dalam rak. Satu di antaranya adalah Mbak Yuli, OB yang cukup sering terlihat di pantry.
"Mbak, tadi lihat Rada ke sini gak?" tanya Rendi langsung.
Wanita itu menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Dari tadi saya di sini gak ada Pak Rada masuk."
Rendi mendengkus sembari mengacak rambutnya frustrasi. "Lah terus dia ke mana?"
"Ya udah, Mbak. Kalau lihat dia, tolong suruh cepat ke ruangan, ya. Bilang penting," pesannya yang langsung diangguki Mbak Yuli.
Sambil keluar dari pantry, Rendi berjalan menyusuri koridor. Matanya aktif menyapu tiap ruangan yang terbuka. Ia bahkan sempat mengintip ke ruang rapat kecil, tapi nihil. Rada benar-benar lenyap entah ke mana.
Hingga langkah pria itu terhenti ketika dari arah berlawanan muncul Pak Hermawan.
"Oh, Ren. Pas sekali," sapa pria paruh baya itu sambil menghentikan langkah. "Saya perlu bicara sebentar sama Rada. Tolong suruh dia ke ruangan saya sekarang, ya."
Deg.
Rendi menelan ludah gugup, tapi ia tetap harus mengangguk. "S-siap, Pak."
Begitu Pak Hermawan berlalu, Rendi langsung memutar bola matanya dengan kesal. "Ya ampun, Rad. Kamu ke mana, sih? Bisa gawat kalau sampai kamu telat datang ke ruangan Pak Hermawan!"
Tak ada pilihan lain, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ibu jarinya segera mencari kontak Rada dan menekan tombol panggil. Beruntung kali ini panggilan tersebut tersambung, tak seperti tadi.
Akan tetapi, malah tak ada jawaban sekali.
Rendi mendengkus lagi. Ia berjalan pelan sembari mencoba memanggil pada kontak Rada sekali lagi.
Sementara itu di ruangan Indira, getaran ponsel di saku Rada terdengar cukup jelas di bawah meja. Membuat Indira membelalak panik seketika. "Rad! Matiin!" bisiknya tajam.
"Aku gak bisa gerak, Sayang. Sempit." Rada balas berbisik. Ia sama sekali tak bisa menggerakkan tangannya.
"Ya ampun ...."
Indira menepuk keningnya berkali-kali karena merasa pusing. Sialnya, hal itu malah terlihat oleh salah seorang tim marketing.
"Bu Indira kenapa?"
Spontan Indira menurunkan tangannya, lalu diletakkan di atas meja. "Ah, e-enggak. Gak apa-apa. Saya cuma lagi berpikir soal strategi yang barusan kalian bilang," kilahnya.
Tim marketing kembali meneruskan diskusi, membuat Indira sedikit lega. Getaran dari ponsel Rada pun sudah tidak terdengar di telinganya. Namun, ternyata ketenangan itu tak berlangsung lama sebab ponsel sang suami kembali bergetar dan sialnya malah makin keras karena bergesekan dengan meja.
Indira memejamkan mata kuat.
"Itu suara ponsel Bu Indira?"
Wanita itu segera menganggukkan kepala. "I-iya. Tadi jatuh ke kolong meja terus saya belum sempet ambil. Agak susah, ya. Soalnya sempit. Biarin aja."
"Oh, gitu. Kalau gitu biar saya bantu—"
"Gak usah!"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'