Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama 32 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#4
#4
“Da … Nenek.” Gwen melambaikan tangannya ketika motor Yosh mulai melaju.
“Dada, Sayang, baik-baik di sekolah, ya?”
“Jalan dulu, Bude,” pamit Yosh.
Marina pun melambaikan tangan, menatap kepergian Yosh mengantar Gwen ke Sekolahnya, kemudian pria itu lanjut bekerja. Tempat kerja Yosh tak terlalu jauh, dan masih cukup fleksibel jika ia harus meninggalkan pekerjaannya karena harus menjemput Gwen.
Marina merebahkan tubuhnya di bangku panjang yang berada di depan teras rumah bu Juju, pandangannya menerawang menatap langit-langit rumah.
“Sepagi ini, wajahmu sudah kelihatan lelah.” Bu Juju sedang mencuci sayur yang baru selesai ia siangi.
“Hmmm, tahu sendiri seperti apa Gwen,” jawab Marina.
Bu Juju hanya bisa menghembuskan nafas, sudah puluhan kali ia menyarankan pada Marina agar tegas dengan Diana. Namun semua seperti angin lalu, Marina tak pernah mau mendengarkan kata-katanya.
“Ya mau bagaimana lagi, jalani dengan ikhlas, karena itu pilihanmu.” Marina menolehkan wajahnya, heran sekali karena hari ini bu Juju tak menasehatinya panjang lebar.
“Apa yang salah dengan pilihanku, ya? Kenapa sekarang tak ada yang terlihat baik-baik saja?”
“Kamu cuma kurang tegas,” jawab bu Juju kalem. “Andai Kamu sedikit tegas dengan Diana, tentu sekarang Gwen tak akan merepotkanmu.”
“Tapi Aku kasihan pada Diana yang masih berambisi menjadi pengacara utama.”
“Aku ini bukan orang berpendidikan, Rin, tapi apakah tidak ada cara lain untuk jadi pengacara utama? Sampai-sampai Diana harus begitu merepotkanmu. Dan lagi, Aku tak percaya jika seorang wanita bisa sukses dalam pekerjaan, sementara mengurus anaknya saja ia masih sangat bergantung pada Ibunya.”
Marina tak menceritakan apa yang ia alami kemarin, jika saja bu Juju tahu, tentu wanita itu yang akan bersikap paling vokal saat ini.
Marina bangkit dari baringnya, ia harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah yang sedang menunggunya. “Mau kemana? Santai dulu sini, Kamu juga perlu istirahat.”
“Istirahat tak cocok untukku.”
Bu Juju begitu gemas mendengar ucapan Marina, ia menarik lengan wanita itu hingga Marina kembali duduk di kursinya. “Sekali-kali Kamu harus melupakan pekerjaan rumah, carilah ART agar pekerjaanmu sedikit berkurang!” seru bu Juju.
“Daripada bayar ART lebih baik uangnya Aku tabung untuk kebutuhan lain.”
“Lagi-lagi itu yang Kamu katakan, Suamimu itu uangnya banyak, sayang sekali kalau Kamu tak menghabiskannya.”
“Aku ini tak bisa menghasilkan uang, masa harus menghamburkan uang?”
“Memang itu tugasmu sebagai istri, jika bukan Kamu yang menghabiskan uang Suamimu, maka Wanita lain yang akan melakukannya.” Bu Juju memang ceplas-ceplos, ia tak pernah ragu mengungkapkan isi pikirannya selama hal itu benar.
Deg!
“Apa benar begitu, Ju?!” tanya Marina kaget, detak jantungnya kembali berpacu, teringat ketika melihat ada wanita lain di mobil suaminya.
“Ya mungkin saja!”
“Kok mungkin sih, Ju? Yang bener dong jawabnya,” desak Marina mulai khawatir jika perkataan bu Juju, serta apa yang ia lihat kemarin siang, benar adanya.
Bu Juju kembali menghela nafas, “Tentu saja Aku tak berharap kalimatku benar, amit-amit jangan sampai terjadi, tadi itu hanya perumpamaan.”
“Kamu itu, membuatku takut saja.” Marina menyikut lengan Bu Juju.
“Ya tapi memang tak ada salahnya jika sesekali Kamu bersenang-senang dengan menggunakan uang Suamimu, apa salahnya? Lakukan saja, Biar Kamu juga merasakan betapa nikmatnya bisa berbelanja sesuka hati. Jangan seperti Aku, yang memang tak bisa seperti itu, karena Aku tak punya suami yang memberiku uang.”
Sejenak, Marina merenungkan perkataan bu Juju, “Tapi, jaman sekarang susah mencari ART yang bisa dipercaya, Ju.”
“Tak usah dipikirkan kalau soal itu, nanti Aku bantu mencari.”
•••
Malam harinya, Marina yang telah mempertimbangkan saran bu Juju, bermaksud meminta izin pada Johan, agar pria itu mengizinkannya memakai jasa ART untuk meringankan pekerjaan rumahnya.
Dan kebetulan Johan pulang tepat waktu, membuat Marina senang, karena kali ini masakannya tak akan berakhir sia-sia.
“Siapkan air panas, Aku mau mandi!” perintah Johan, ia bahkan mengabaikan sapaan Marina, juga tak mengucap salam.
“Iya, sambil menunggu, duduk dan makanlah dulu,” titah Marina.
“Aku sudah makan.”
Jawaban Johan membuat semangat Marina memudar, kali ini pun makanan akan berakhir sia-sia lagi. “Kenapa tak bilang? Tahu gitu tadi Aku gak masak.” Marina menggerutu seorang diri.
“Sejak kapan Aku mengatakan padamu soal ini dan itu? Merepotkan saja,” balas Johan yang tanpa sengaja mendengar gerutuan Marina.
Marina hanya diam, namun tetap dongkol luar biasa karena lagi-lagi lelahnya hanya berujung sia-sia. Jika saja Johan menyampaikannya dengan kalimat yang lebih manis, tentu Marina tak akan geram dengan tingkah Johan.
Setelah air panas siap, Johan pun masuk ke kamar mandi, sikapnya tetap dingin, tanpa ucapan terima kasih. Marina pun mengemas kembali makanan yang sudah ia masak, tentu saja ia akan memberikannya pada Bu Juju, dari pada makanan tersebut berakhir sia-sia di tempat sampah.
Ketika kembali ke rumah, Marina kembali melihat keanehan, Johan memakai sepatu berbeda dari yang ia kenakan ketika pagi tadi berangkat kerja.
Marina sangat menghafal semua detail kecil yang ada di rumahnya, karena itulah, ia juga hafal jumlah sepatu milik suaminya, termasuk jika Johan membeli sepatu baru, Marina langsung tahu.
“Apa yang Kamu lakukan di belakangku, Mas?” gumam Marina, ia meremas sepatu Johan yang ada di genggaman tangannya.
Marina kembali melangkah ke dalam rumah, ia memeriksa semua pakaian Johan yang kini teronggok di keranjang baju kotor. Lagi-lagi Marina mencium aroma parfum berbeda, jika kemarin Marina mengabaikannya, maka kali ini ia tak akan tinggal diam.
Ditengah kekalutan pikirannya, Marina kembali menemukan sesuatu yang telak memukul harga dirinya sebagai seorang istri. Ada noda lipstik tipis tertinggal di kerah kemeja Johan, airmatanya tak bisa ditahan, kecurigaannya kini seolah menemukan jawaban.
“Kenapa Kamu?” tanya Johan acuh, ketika melihat Marina diam memang sambil memandang kemeja kotornya.
“Ini apa, Mas?” tanya Marina dengan suara bergetar.
“Apa? Itu kemeja, kan?”
“Bukan kemeja yang Kumaksud, tapi ini!” Dengan tegas Marina menunjuk noda lipstik di kerah kemeja putih tersebut.
Kalimat tanya tersebut membuat Johan diam. “Jawab, Mas! Apa dimatamu Aku masih terlihat banyak kekurangan?!” pekik Marina.
Rasanya sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata, selama ini, ia mengabdikan diri untuk suami dan anak-anaknya, dengan totalitas yang tak bisa dianggap main-main.
Ada keinginan pribadi yang ia abaikan, ada impian yang bahkan tak sempat ia perjuangkan, ada hasrat terpendam yang ia tekan sedemikian rupa. Semua demi keluarganya.
Mungkinkah Marina harus rela menerima jika perjuangan seorang ibu di rumah memang tak pernah terlihat, karena ia tak menghasilkan materi atau ketenaran.
“Apa Mas juga ingin mengatakan, bahwa Aku membuatmu malu, karena Aku bukan wanita yang berkarir di luar rumah?!”
bawang jahatna ya si Sonia
aku ngakak bukan cuma senyum2
itu bapak Gusman kira kira puber keberapa ya🤣🤣🤣
tp sayangnya aku malah dukung banget tuan Gusman sama Marina .. semangat tuan Gusman ..para pembaca mendukungmu