Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Senjata Gendis
Setelah perkenalan singkat dengan Tama, mereka dijadwalkan menginap di sebuah ryokan—penginapan tradisional Jepang—selama tiga malam, sebagai bagian dari riset.
Hari pertama, langkah mereka berderak di atas jalan berbatu Gion yang basah sisa hujan semalam. Udara membawa wangi kayu tua dan teh hijau dari kedai kecil yang berjajar. Rumah-rumah kayu berderet dengan lampion merah menggantung, menyinari jalan sempit yang sunyi. Ivy tak henti mengangkat ponselnya, jari-jarinya sibuk menekan layar, seolah takut melewatkan satu detail pun. Sorot matanya yang penuh antusias memantul di permukaan jendela kertas shoji.
“Rumah-rumah ini ... bentuk atapnya... sistem ventilasinya ... semuanya dibuat dengan pemikiran yang matang," ujar Ivy lirih dengan senyum tipis menggantung di bibirnya.
Seakan Ivy berbicara pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Noah memperhatikannya, bibirnya terangkat pelan. Ada semacam rasa bangga yang sulit disembunyikan.
Sementara Hiro mengangguk kecil, wajahnya menyiratkan kekaguman. Sementara Gendis di belakang, hembusan napasnya terdengar berat, tangannya bersedekap ketat.
“Ivy-san, Anda memiliki mata yang tajam. Sepertinya Anda benar-benar cocok memimpin proyek ini.”
“Ah, saya bukan ahlinya, Pak Yamamoto. Saya hanya suka mengamati desain interior sebuah bangunan.” Ivy menoleh ke Noah, senyum lebarnya membuat matanya menyipit. “Saya hanyalah istri sekaligus asisten pribadi dari suami saya.”
“Terlepas dari peran Anda, selera Anda sungguh luar biasa.” Hiro menatap Noah lekat-lekat. “Kenapa tidak menyekolahkan istri Anda untuk mendalami desain interior? Itu akan mempermudah pekerjaan Anda ke depannya.”
Noah menarik Ivy lebih dekat, tangannya melingkari pinggangnya dengan lembut. “Terima kasih sarannya, Pak Yamamoto. Setelah resepsi pernikahan kami, saya akan mempertimbangkannya.”
---
Malam itu, taman belakang ryokan diterangi cahaya lampion kertas yang berayun pelan diterpa angin. Suara jangkrik berpadu dengan gemericik air dari kolam kecil. Ivy dan Noah duduk berdampingan di bangku kayu, bahu mereka hampir bersentuhan. Dari celah pintu geser, Gendis mengintip.
Tawa kecil Ivy pecah, matanya berbinar saat menatap Noah. Pemandangan itu membuat dada Gendis mengencang, seakan ada batu besar menindih.
“Apa semuanya hanya sandiwara?” gumam Gendis dengan suara hampir tak terdengar. “Atau ... mereka benar-benar jatuh cinta?”
Pupus sesaat, sinar matanya kembali menyala saat ingatan tentang dokumen kontrak muncul. Senyum bengis melengkung di wajahnya. “Jika aku tidak bisa memiliki Noah, maka akan kuhancurkan keduanya sekaligus.”
---
Hari kedua, mereka berjalan di pedesaan Arashiyama. Angin berembus membawa aroma tanah lembap, bercampur harum bunga liar. Di kejauhan, rumah kominka beratap jerami berdiri anggun. Halamannya dipenuhi batu-batu berlumut, air kolam memantulkan cahaya matahari, ikan koi berenang malas.
Ivy sibuk mencatat dan memotret, langkahnya ringan seperti anak kecil menemukan mainan baru. Saat makan siang di teras kayu rumah itu, Hiro menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kalau kamu yang mendesain ulang rumah ini, bagian mana yang akan kamu pertahankan?”
Ivy berhenti sejenak, pandangannya menyapu tiap sudut. “Langit-langit kayu terbuka, dan fusuma yang bisa digeser. Lalu menambahkan skylight untuk cahaya alami, tapi fasad depan tetap dipertahankan.”
Hiro mengangguk dengan senyum puas. Gendis di sampingnya menekuk jari hingga buku-bukunya memutih. Ketika Noah dan Ivy saling bertukar pandang, amarahnya makin menumpuk.
Malamnya, di kamar ryokan, Noah dan Ivy membicarakan resepsi. Suara Noah penuh semangat, matanya berkilat.
“Setelah proyek ini selesai, kita undang media lokal. Aku ingin semua orang tahu tentang kita.”
Ivy menggigit bibirnya, menunduk sesaat sebelum menatap kembali. “No, kamu yakin? Aku rasa pesta kecil yang eksklusif justru akan lebih berkesan.”
Noah meraih tangannya, jari-jarinya mengerat seolah takut Ivy hilang. “Aku ingin dunia tahu kamu istriku, meski mama menolak. Aku ingin mereka paham, masa lalu tidak lebih penting daripada masa depan yang kita bangun.”
Air mata menipis di mata Ivy. Dia menyandarkan kepala di dada Noah, mendengarkan detak jantungnya yang stabil. Noah mengecup keningnya dengan lembut, seolah berjanji dalam diam.
---
Hari ketiga, pusat kota Kyoto kembali ramai. Di ruang rapat kantor mitra Hiro, suara kertas dan pena memenuhi ruangan. Gendis mencoba menyela ketika Ivy sedang mengungkapkan pendapat, nada bicaranya meninggi. Hiro menatapnya dingin.
“No, aku cuma ....”
“No, Gendis.” Noah memotong tegas. Suasana menegang. Akhirnya Gendis dipersilakan keluar, pintu ditutup dengan dentuman lembut. Ivy mengambil alih, penanya menari di atas kertas, gerakannya tenang.
Sore menjelang, udara dingin menggigit. Ivy melangkah keluar kamar dengan yukata putih, rambutnya masih lembap. Dia duduk di beranda, cangkir teh hangat mengepul di tangannya. Aroma teh melati menenangkan, angin musim gugur berembus membawa bunyi gesekan daun.
Tiba-tiba langkah tergesa mendekat. Gendis muncul, wajahnya diliputi amarah dengan napas memburu.
“Kamu menikmati semua ini, ya?” suara Gendis serupa cambuk.
Ivy meletakkan cangkir dengan gerakan tenang, suara porselen beradu kayu terdengar jelas. “Kalau kamu ingin bertengkar, simpan tenagamu. Aku capek.”
Namun Gendis menarik selembar dokumen dari tasnya, kertas itu bergetar di genggamannya. “Aku tahu segalanya. Pernikahan ini hanya kontrak. Aku akan membongkarnya di resepsi kalian!”
Tatapan Ivy menusuk, bibirnya melengkung tipis. “Kamu pikir aku tidak tahu kamu akan menemukan itu?”
Wajah Gendis mengeras. Ivy melangkah maju, suaranya turun jadi bisikan dingin.
“Kamu lupa satu hal, Ndis. Meski pernikahan ini bermula dari kontrak, perasaan tidak bisa dikontrak. Kamu sudah kalah sejak awal.”
Gendis terpaku. Tangannya gemetar saat Ivy menutup pintu kamar dengan tenang.
Namun, di balik pintu, Ivy bersandar lemah, dadanya naik turun tak beraturan. Jemarinya bergetar saat menekan kayu dingin, wajah Ivy tenggelam dalam cemas yang tak berani dia tunjukkan. Malam kian larut. Dari sudut ryokan yang redup, Gendis berbisik di telepon, suaranya serak tapi tajam.
“Ya, aku akan kirim dokumennya. Kita main besar. Saat resepsi nanti, biar semuanya meledak.”
Tak jauh dari sana, Noah yang keluar dari ruang makan terhenti. Dari balik sudut, telinganya menangkap jelas kata-kata itu. Rahangnya mengeras, mata berkilat. Tubuh lelaki tersebut menegang seperti busur yang siap dilepaskan.