Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Di Atas Penderitaan
Debby memperhatikan Agus yang kini sudah sadar, namun ada sesuatu yang terasa ganjil. Setiap kali Debby menyinggung soal keluarganya atau mencoba mencari informasi di ponselnya, Agus selalu mengalihkan pembicaraan atau mengatakan tidak ingat. Debby merasa ada semacam keengganan dari Agus untuk membahas hal tersebut, seolah pemuda itu sengaja menyembunyikan sesuatu.
"Agus, apa kamu yakin tidak ingat sama sekali kata sandi ponselmu? Keluargamu pasti khawatir," ujar Debby lembut, mencoba sekali lagi.
Agus menoleh padanya, tersenyum tipis namun tampak sedikit enggan. "Nanti saja ya, Mbak. Aku masih lelah."
Debby bisa merasakan ada yang tidak beres, namun ia tidak ingin memaksa. Mungkin Agus punya alasan sendiri. Yang terpenting saat ini adalah pemuda itu sudah sadar dan kondisinya berangsur membaik. Rasa penasaran Debby ia simpan dalam hati.
"Baiklah. Kamu istirahat saja," balas Debby sambil mengelus lembut tangan Agus.
Di luar ruangan inap, di balik dinding yang membatasi, berdiri sosok Hendro. Dengan tatapan penuh amarah dan kecemburuan, ia diam-diam mengawasi interaksi antara Debby dan Agus. Ia melihat senyum Debby, mendengar suara lembut wanita itu saat berbicara dengan Agus, dan hatinya semakin membara.
"Sialan!" geram Hendro pelan, mengepalkan tangannya. Ia merasa semakin yakin bahwa pemuda inilah alasan Debby tidak mau kembali padanya. Melihat kedekatan mereka membuatnya semakin sakit hati dan dendam.
Hendro tidak mengerti mengapa Debby begitu perhatian pada Agus. Baginya, pemuda itu hanyalah seorang pengganggu yang harus disingkirkan. Ia merasa Debby seharusnya hanya menjadi miliknya. Obsesinya semakin kuat, membutakannya dari kenyataan bahwa tindakannya selama ini justru semakin menjauhkan Debby darinya.
"Aku akan membuatmu menyesal, anak muda," desis Hendro dengan tatapan mengancam ke arah pintu ruangan Agus. Ia bertekad untuk melakukan sesuatu agar Agus tidak lagi dekat dengan Debby. Rencana jahat kembali berkecambah di benaknya. Ia tidak akan membiarkan siapapun merebut Debby darinya, meskipun itu berarti ia harus melakukan tindakan yang lebih nekat dan berbahaya. Rasa kesal dan cemburu telah meracuni pikirannya, membuatnya semakin kehilangan akal sehat. Ia hanya fokus pada satu tujuannya: mendapatkan Debby kembali, dengan cara apa pun.
****
Nirmala terbaring lemah di tempat tidurnya. Tubuhnya terasa ringkih, jiwanya perih melihat putranya semakin terjerumus dalam kegelapan. Berulang kali ia mencoba menasihati Hendro, memohon agar putranya menghentikan semua tindakan kejinya, namun semua usahanya sia-sia. Hendro seolah tuli dan buta terhadap permohonan ibunya.
Sebagai seorang ibu, hati Nirmala hancur berkeping-keping melihat perubahan drastis pada diri Hendro. Putra yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih sayang kini menjelma menjadi sosok yang dingin, kejam, dan penuh obsesi. Setiap kali berdebat dengan Hendro, Nirmala selalu berakhir dengan air mata dan rasa sesak di dada. Kondisi fisiknya pun semakin menurun. Ia sering kali pingsan setelah beradu argumen dengan Hendro, membuat Reksa semakin khawatir dengan kesehatan istrinya.
"Hendro, Nak, Ibu mohon... hentikan semua ini," lirih Nirmala dengan suara lemah saat Hendro menjenguknya sebentar di kamar.
Hendro hanya menatap ibunya sekilas tanpa ekspresi. "Ibu istirahat saja. Ini bukan urusan Ibu."
"Bagaimana mungkin bukan urusan Ibu, Hendro? Kamu menyakiti banyak orang! Naura, cucuku, bahkan Agus... apa kamu tidak punya hati?" air mata Nirmala kembali menetes.
"Mereka pantas mendapatkannya," jawab Hendro singkat, lalu beranjak pergi tanpa melihat ke belakang.
Nirmala hanya bisa menangis dalam diam. Ia merasa gagal sebagai seorang ibu. Ia tidak mengerti di mana letak kesalahannya hingga Hendro tumbuh menjadi seperti ini. Rasa bersalah dan keputusasaan menghantuinya.
Reksa yang melihat kondisi istrinya semakin memburuk merasa sangat khawatir. Ia mencoba berbicara dengan Hendro, namun hasilnya sama saja. Hendro tetap keras kepala dan tidak mau mendengarkan.
"Hendro, ibumu sakit karena memikirkanmu. Bisakah kamu sedikit saja peduli?" ujar Reksa dengan nada memohon.
"Itu urusan Ibu. Aku tidak memintanya untuk memikirkanku," jawab Hendro dingin.
Jawaban Hendro membuat Reksa semakin frustrasi. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara menyadarkan putranya. Hatinya sakit melihat istrinya menderita dan putranya semakin jauh dari jalan yang benar.
Nirmala hanya bisa pasrah dengan keadaan. Ia merasa lemah dan tak berdaya menghadapi kerasnya hati putranya. Setiap kali Hendro pergi, ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap suatu keajaiban akan menyadarkan putranya sebelum semuanya terlambat. Namun, harapan itu terasa semakin menipis seiring dengan berjalannya waktu dan semakin brutalnya tindakan Hendro. Kehilangan Hendro yang dulu ia kenal terasa lebih menyakitkan daripada penyakit fisik yang kini ia derita.
****
Di desa yang kini terasa asing dan dingin bagi Naura dan keluarganya, Fathia justru berpesta pora. Dari kejauhan, saat Naura dan kedua orang tuanya dengan berat hati meninggalkan desa, Fathia menyaksikan kepergian mereka dengan senyum kemenangan terukir jelas di wajahnya. Ia merasa puas melihat Naura dan keluarganya terusir, sesuai dengan apa yang selama ini ia inginkan.
"Rasakan itu, Naura! Memang pantas kalian mendapatkan semua ini!" seru Fathia lantang, tertawa lebar tanpa sedikit pun rasa iba. Beberapa warga desa yang masih termakan hasutannya ikut tersenyum sinis melihat kepergian keluarga Naura.
Dalam hati Naura yang terluka, ia akhirnya memahami siapa dalang di balik fitnah keji yang membuat warga desa mengusir mereka. Semua tuduhan tak berdasar dan cerita bohong itu pasti berasal dari Fathia. Rasa sakit hati dan kecewa bercampur aduk dalam benaknya. Ia tidak menyangka sepupunya sendiri tega melakukan hal sekeji itu padanya dan keluarganya.
"Ternyata kamu, Fathia..." bisik Naura lirih, menatap ke arah Fathia yang masih tertawa dari kejauhan. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya dengan kejahatan hati sepupunya itu.
Subeni dan Haryati yang melihat Naura menatap Fathia dengan tatapan terluka berusaha menenangkan putri mereka. Mereka juga sudah menduga bahwa Fathialah yang menyebarkan fitnah. Mereka tahu betul betapa irinya Fathia pada Naura sejak kecil.
"Sudahlah, Nak. Biarkan saja dia. Orang yang hatinya penuh kebencian memang seperti itu," ujar Subeni sambil merangkul Naura.
Haryati mengangguk setuju. "Yang penting sekarang kita pergi dari sini dan mencari tempat yang lebih baik. Biarkan Fathia dengan kedengkiannya sendiri."
****
Namun, bagi Naura, perbuatan Fathia terasa sangat menyakitkan. Ia tidak mengerti mengapa sepupunya itu begitu membencinya. Mereka tumbuh bersama, namun Fathia selalu menyimpan rasa iri yang mendalam. Kini, iri hati itu telah menjelma menjadi tindakan keji yang menghancurkan kehidupannya dan keluarganya.
Fathia terus tertawa puas, merasa dirinya menang. Ia tidak peduli dengan penderitaan Naura dan keluarganya. Dendam yang sudah lama ia pendam akhirnya terlampiaskan. Ia merasa senang melihat Naura yang selama ini selalu dipandang baik kini harus menanggung malu dan terusir dari kampung halamannya sendiri. Hatinya benar-benar tanpa belas kasihan, dipenuhi oleh kegelapan dendam yang membara sejak lama. Sementara Naura dan kedua orang tuanya meninggalkan desa dengan hati hancur, Fathia merayakan "kemenangannya" tanpa menyadari bahwa kejahatan hati akan memakan dirinya sendiri suatu saat nanti.