Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERNYATAAN CINTA
06.12 WIB – Keesokan Paginya
Embun pagi membasahi jendela kamar hotel. Cahaya matahari menyelinap lembut melalui celah tirai, membingkai ruangan dengan sinar keemasan. Di dalam kamar, keheningan menyelimuti. Hanya terdengar napas dua manusia terlalu dekat untuk sekadar kolega, terlalu dalam untuk disebut kebetulan.
Febiterbangun pelan. Saat kesadarannya pulih, ia merasa ada sesuatu yang hangat di bawah pipinya. Dada. Napas teratur. Detak jantung yang bukan miliknya.
Dengan reflek, ia langsung bangkit. Matanya membelalak.
Arkan.
Lengan pria itu masih menggantung di udara, seperti habis memeluk. Wajahnya tenang dalam tidur, bibirnya sedikit terbuka, rambutnya berantakan tapi entah kenapa terlihat... hangat.
Febi menatap sejenak, lalu buru-buru bangkit dari tempat tidur. Wajahnya merah padam.
“Astaga… semalam kenapa bisa begini?” bisiknya panik, lebih pada diri sendiri.
Lalu, terdengar suara berat dari arah tempat tidur.
“Tenang aja. Kamu tidur duluan. Terus ngelindur... nyender ke saya.”
Febi menoleh cepat. Arkan sudah membuka mata. Tatapannya tidak menggoda seperti biasanya. Lembut. Nyata.
“Maaf.” ucap Febi pelan, menunduk.
“Gak perlu.” jawab Arkan, duduk perlahan. “Aku malah... senang.”
Febi menegang. Ada jeda. Detik berjalan lambat. Lalu Arkan menarik napas.
“Febi... saya suka kamu.”
Febi langsung menoleh. Matanya membulat, ekspresinya kaget dan gugup.
“Apa, Pak?”
“Saya suka kamu. Serius.” Arkan menatap lurus. “Bukan karena kejadian semalam. Saya udah ngerasain ini dari dulu. Dari pertama kamu masuk kantor. Kamu perempuan yang beda. Jujur, keras kepala, nyebelin... tapi bikin aku pengen kenal kamu terus.”
Febi diam. Napasnya tertahan. Jantungnya berdetak begitu keras, seperti hendak meledak dari dadanya.
“Pak… saya cuma karyawan biasa. Bapak CEO, dari keluarga berada. Sementara saya... bahkan buat kuliah dulu harus nyambi kerja. Kita beda dunia.”
Arkan menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Kamu pikir saya peduli? Status sosial cuma label. Tapi kamu, kamu itu nyata. Kamu nggak pernah berpura-pura jadi siapa pun di depan saya. Kamu nggak pernah deketin saya karena posisi saya. Kamu kerja dengan hati.”
Febi menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Tapi saya pernah disakiti.” bisiknya. “Dulu, saya percaya seseorang yang katanya tulus... tapi dia pergi. Saya takut semua ini cuma permainan lain untuk membuat saya lebih sakit pak.”
Arkan tidak langsung menjawab. Ia mendekat, duduk sejajar, lalu menatap Febi lekat-lekat.
“Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Saya nggak akan memaksa. Tapi kamu harus tahu, perasaan ini bukan permainan. Saya nggak lagi penasaran, Febi. Saya serius. Kalau kamu izinkan, Saya mau bahagiain kamu.”
Febi menunduk. Satu air mata jatuh. Ia cepat-cepat menyekanya, berharap Arkan tak melihat.
“Saya... belum bisa jawab sekarang.”
“Saya gak minta jawaban sekarang.” Arkan mengangguk pelan. “Saya cuma minta kamu percaya satu hal, Saya akan tetap ada di sini. Nunggu kamu siap.”
Ia lalu meraih kepala Febi perlahan dan mengecup keningnya singkat. Bukan agresif. Bukan meminta balasan. Hanya... tulus.
Mata mereka bertemu dengan tatapan yang tulus dan lembut. Waktu seolah berhenti saat itu. Arkan menatap Febi dengan intens dan fokus ke bibir ranum itu. Perlahan ia kembali mendekatkan wajahnya dan
CUP
Bibir Arkan menempel di bibir ranum Febi. Tak ada penolakan, Arkan memanfaatkan kesempatan untuk lebih memperdalam ciumannya. Bibir Febi terbuka dan membuat Arkan leluasa mengeksplor dan memperdalam ciumannya. Febi terbawa suasana dan mulai membalas ciuman itu.
“mmmpphhhhhhh “
Keduanya saling melepas ketika mereka sama-sama membutuhkan pasukan oksigen.
Febi tertunduk malu dan merutuki kebodohannya karena ikut terbawa suasana.
“Ck, apa yang gue lakuin? Kenapa gue malah balas ciuman Pak Arkan sih? Memalukan.” Gerutu Febi menyesal dalam hati.
Arkan dapat membaca ekspresi wajah Febi dan Arkan hanya tersenyum melihat tingkah lucu sekretarisnya ini.
“Manis….aku suka.” Kata Arkan memegang bibir Febi.
**
07.00 WIB
Petugas hotel datang dan memberi kabar: jalan ke Jakarta sudah kembali bisa dilewati. Tapi tak ada dari mereka yang langsung berkemas.
Arkan duduk di sofa, menyusun sarapan yang tadi dipesan. Ia menoleh ke arah Febi yang masih duduk termenung di tepi ranjang.
“Kamu mau tetap bengong di sana, atau ikut sarapan di sini?” panggilnya ringan.
“Dan tenang aja, aku gak akan jadi drama Korea yang tiba-tiba nyium kamu lagi di lorong hotel.”
Febi berdiri dengan malas, melangkah ke sofa. “Huft, dasar bos mesum. Belum puas apa tadi.”
Arkan terkekeh. “Eh, mesum sama calon pacar sendiri tuh halal, lho.”
“Calon doang belum tentu disetujui.” Febi melirik tajam, tapi ada senyum samar di sudut bibirnya.
Arkan hanya tersenyum. Senyum seseorang yang tahu, tak semuanya bisa diraih seketika. Tapi dia siap menunggu.
**
Senin pagi – Kantor Pusat
Jakarta menyambut Febi dengan panas dan lalu lintas yang kacau, tapi bukan itu yang membuatnya gelisah.
Begitu ia melangkah masuk ke kantor, tatapan-tatapan aneh mulai terasa. Beberapa karyawan menyapanya dengan senyum yang terlalu lebar. Sebagian lagi hanya membisikkan sesuatu ke telinga rekan mereka, lalu tertawa kecil. Febi bisa merasakannya, udara kantor mendadak berubah. Tidak nyaman. Penuh gosip.
Dan benar saja.
Saat makan siang di pantry, Febi mendengar bisikan dari dua staf divisi lain yang tak sadar ia ada di balik pintu:
“Katanya si Febi nginep bareng Pak Arkan pas dinas ke Bandung.”
“Serius? Berarti gosip dia simpanan bos bener dong?”
“Hsstt... Jangan keres-keres. Nanti orangnya denger dan lapor sama Pak Arkan.”
Febi membeku. Napasnya tercekat. Ia melangkah mundur pelan dan kembali ke meja kerjanya, mencoba tetap tenang. Tapi di dalam, emosinya bergejolak: marah, malu, bingung.
Beberapa menit kemudian, Arkan masuk ke ruangannya. Sorot matanya tajam. Serius.
“Febi, ke sini sebentar.”
Febi masuk. Wajahnya ditahan sebisa mungkin agar tetap netral.
“Kamu udah dengar soal gosip itu?”
Febi mengangguk pelan.
“Sudah. Tapi saya nggak tahu harus gimana. Saya nggak kuat kalau orang-orang lihat saya kayak… wanita murahan.”
Arkan mendekat, nada suaranya rendah tapi tegas.
“Dengar ya. Saya gak bakal biarin orang ngerusak nama kamu, apalagi kalau itu karena saya. Saya sudah suruh Toni selidiki siapa yang nyebar gosip ini. Apa kamu mencurigai seseorang?”
Febi hanya menggeleng. “Saya nggak mencurigai siapa pun di sini pak. Saya jarang interaksi dengan karyawan kantor lain.”
Arkan mengangguk.
“Baiklah. Segera saya akan bereskan semuanya. Kamu nggak usah khawatir.” Kata Arkan mencoba menenangkan. Ia mengusap lembut pipi Febi. Febi mundur selangkah.
“Kenapa?” tanya Arkan.
“Ini kantor Pak. Saya nggak mau tiba-tiba ada yang masuk dan melihat kita. Gosip akan semakin berkembang nantinya.”
“Hmm… bagaimana kalau kamu terima saja perasaan saya. Jadi untuk klarifikasi akan sangat mudah. Sisa umumkan hubungan kita dan orang-orang akan bungkam dan tidak berani lagi macam-macam dengan kamu.”
“Isstt itu sih maunya bapak. Kita belum punya hubungan saja, orang-orang pada berpikiran yang tidak-tidak pak, bagaimana nantinya kalau kita beneran punya hubungan”
“Kamu tenang saja. Saya akan melindungi kamu dari orang-orang jahat itu.”