Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Terlalu Serius
“Mari,” ajak Hardin, seraya mengarahkan tangan ke depan. Namun, dia tetap berjalan lebih dulu, sebagai pemandu bagi tamu.
Emilia agak kikuk saat mengikuti langkah tegap Hardin. Dia tak pernah menyangka bahwa rumah peternakan milik Keluarga Rogers begitu besar. Halamannya luas berhiaskan bunga serta pepohonan rindang yang sangat terawat.
“Aku tidak bisa berlama-lama di sini, Tuan Rogers,” ucap Emilia, setelah Hardin mempersilakannya duduk. Pria itu membawa Emilia dan Blossom ke ruang kerja. Entah kenapa, Hardin tidak membawa Emilia ke ruang tamu.
“Apa kau sedang terburu-buru, Nyonya?”
“Ya. Aku harus menemani Blossom mengikuti kegiatan pra sekolah di perpustakaan kota. Aku kemari hanya untuk mengambil kotak makan siang putriku karena dia ….” Emilia tak melanjutkan kalimatnya, menyadari Blossom yang tengah asyik memperhatikan toples kaca berisi tanah.
“Bee,” panggil Emilia.
“Apakah ini Stacey, Paman?” tanya Blossom, yang justru mengarahkan perhatian kepada Hardin.
“Ya. Itu rumah baru Stacey,” jawab Hardin yakin, meski dalam hati membantah ucapannya barusan.
“Sebentar. Akan kusuruh pelayan untuk membawakan kotak makan siang putrimu.” Hardin mengalihkan perhatian kepada Emilia. Setelah itu, dia menekan tombol merah di meja. “Sambil menunggu pelayan, bagaimana jika kita bicara sebentar, Nyonya.”
“Tentang tanah? Tidak,” tolak Emilia segera. “Aku sudah bosan memberikan jawaban yang sama kepadamu.”
“Tidak perlu. Aku hanya ingin bicara dengan suamimu.”
Emilia menggeleng pelan. “Suamiku ada di Yorkshire.”
“Begitukah?”
Emilia hendak menanggapi. Namun, ketukan di pintu membuatnya mengurungkan niat.
Seorang pelayan masuk dengan membawa kotak makan siang milik Blossom. Setelah menyerahkan benda itu, sang pelayan langsung keluar dari sana.
“Ayo, Bee. Kotak makan siangmu sudah ada,” ajak Emilia, seraya berdiri.
Namun, Blossom justru asyik membuka lembar demi lembar buku tebal bergambar sapi.
“Bee …,” panggil Emilia dengan nada berbeda.
Blossom yang tengah asyik, segera menoleh. “Sampai ini selesai, Bu,” ujarnya polos.
“Tapi, kita akan terlambat jika berlama-lama di sini,” protes Emilia cukup tegas.
“Memangnya kalian akan ke mana?” tanya Hardin, yang tidak biasa dihadapkan pada suasana seperti itu, meskipun ini bukan kali pertama melihat Blossom membantah perintah Emilia.
“Ke perpustakaan kota. Blossom mengikuti kegiatan pra sekolah di sana. Kelas dimulai pukul 10 pagi.”
“Dengan apa kalian berangkat ke sana?” tanya Hardin lagi.
“Kami biasa naik sepeda sampai stasiun bus. Barulah melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum.”
Hardin melihat arloji di pergelangan kiri. Dia berdiri, lalu menoleh kepada Blossom. “Kau suka buku itu, Bee?” tanyanya kalem,
“Iya, Paman. Ada banyak gambar binatang di sini. Tapi, aku belum bisa membaca,” sahut Blossom, dengan gaya bicaranya yang sangat menggemaskan.
“Kalau begitu, mari kita cari buku bergambar binatang yang cocok untuk anak seusiamu,” ajak Hardin, diiringi senyum hangat penuh keakraban.
Blossom langsung menutup buku dan mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Hardin. Sepasang matanya berbinar indah, menandakan rasa senang yang teramat besar. Blossom turun dari kursi yang biasa Hardin gunakan untuk membaca, lalu menghampiri pemilik Rogers Farm tersebut.
“Siapa namamu, Paman?” tanya Blossom ceria.
“Hardin.”
“Eden?”
“Terserah kau. Ayo. Jangan sampai terlambat ke kelas hari ini.” Tanpa beban, Hardin menuntun Blossom melewati Emilia yang terpaku dengan sorot tak mengerti.
“Aku akan mengantarkanmu ke kelas hari ini. Bagaimana?” tawar Hardin, seraya terus menuntun Blossom, yang berjalan sambil melompat-lompat kecil.
“Kau akan naik sepeda denganku dan ibu? Kau duduk di mana, Paman?” Blossom menoleh, menatap tak mengerti pada Hardin.
“Tidak, Bee. Sepeda ibumu biar diparkir di sini karena aku akan mengantar kalian dengan mobil.”
“Apa maksud Anda, Tuan Rogers?” Emilia menyerobot maju, menghadang langkah Hardin dan Blossom. “Anda tidak perlu repot-repot seperti ini. Kami bisa berangkat sendiri. Ayo, Bee. Jangan merepotkan orang lain.” Emilia meraih tangan kiri Blossom dan langsung menariknya.
“Kenapa, Nyonya? Akan sangat menghemat waktu bila berangkat menggunakan mobil pribadi. Aku menawarkan jasa secara gratis. Putrimu sudah setuju. Benar ‘kan, Nona manis?” Hardin melirik Blossom, yang langsung membalas dengan anggukan tegas.
“Tidak, Tuan. Aku tak mengharapkan kebaikan Anda,” tolak Emilia cukup tegas.
“Aku memberikan kebaikan kepada putrimu. Dia lebih menghargainya,” balas Hardin tenang, tetapi berhasil membungkam mulut Emilia.
Tak ada pilihan, Emilia akhirnya menerima. Walaupun dengan perasaan terpaksa, dia menuruti ucapan Hardin yang mempersilakannya masuk ke mobil.
Tak berselang lama, Land Rover Defender putih yang Hardin kendarai, melaju gagah meninggalkan halaman rumah peternakan. Tak dipedulikannya tatapan aneh beberapa pekerja.
“Bagaimana jika sepeda ibuku ada yang mencuri, Paman?” tanya Blossom polos, ketika tiba-tiba teringat pada sepeda Emilia yang dititipkan di rumah peternakan.
“Tidak mungkin, Bee. Rumahku sangat aman dari pencuri,” sahut Hardin kalem, seraya menoleh sekilas kepada Blossom, yang duduk tenang di jok belakang.
“Apa kau punya senapan, Paman?” tanya Blossom lagi, masih dengan ekspresinya yang teramat polos.
“Um, ya … ada. Namun, hanya untuk berburu,” jawab Hardin. Kali ini, dia tetap fokus mengemudi sambil menatap lurus ke depan. Pasalnya, mereka telah memasuki jalan besar.
“Apa kau suka menembak burung-burung?” Blossom terus bertanya.
“Um, tidak juga. Aku mencari hewan lain yang lebih besar dari burung.” Hardin menanggapi pertanyaan Blossom dengan sabar. Entah karena memaksakan diri atau memang mulai nyaman dengan kehadiran gadis kecil itu.
“Apakah itu beruang dan gajah?” Lagi-lagi, Blossom melontarkan pertanyaan polos.
Hardin menggeleng pelan. “Aku belum pernah melihat keduanya di hutan dekat peternakan.”
“Kalau begitu apa yang kau tembak, Paman? Tidak mungkin Nyonya Dorothea,” celetuk Blossom. Meskipun pelan, tetapi Emilia dan Hardin bisa mendengarnya cukup jelas.
Emilia langsung menoleh, menatap sang putri dengan sorot penuh isyarat. “Jaga bicaramu, Bee. Mana mungkin Tuan Rogers menembak Nyonya Dorothea,” tegurnya.
“Tapi, Bu. Nyonya Dorothea berbadan besar. Allyson mengatakan dia lebih besar dari beruang kutub,” celoteh Blossom teramat polos. Membuat Hardin tak kuasa menahan tawa.
“Allyson tidak tahu seperti apa ukuran asli beruang kutub. Jadi, jangan bicara sembarangan. Jika Nyonya Dorothea mendengar itu, kau dan Allyson pasti akan dimarahi habis-habisan.”
“Ya. Nyonya Dorothea lebih menakutkan dari vampire.”
“Bee ….” Emilia kembali melayangkan teguran lewat sorot matanya.
Sementara itu, Hardin hanya tertawa renyah mendengar celotehan Blossom yang dirasa lucu. “Kenapa kau begitu serius dalam menanggapi ucapan putrimu, Nyonya?” Dia melirik sekilas kepada Emilia.
“Ini bukan terlalu serius atau apalah namanya, Tuan Rogers. Aku hanya mengajarkan etika kepada Blossom, agar bisa menjaga sikap.”
“Segala hal membuatmu tegang. Lalu, apa yang membuatmu rileks?” Hardin menghentikan laju kendaraan, kemudian menatap Emilia penuh arti.
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..