Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bodyguard Sesungguhnya
Ebha menyetir dengan cepat hingga berhasil menyusul mobil yang ditumpangi Merzi. Dia memposisikan mobil yang dibawanya dibelakang Merzi, menjaga meski mereka tak ditempat yang sama.
Hingga beberapa menit kemudian dia mobil masuk ke dalam pekarangan sekolah. Ebha membawa mobil menuju parkir sedang mobil Merzi hanya berhenti karena paman Lym segera pergi.
Setelah mobilnya terparkir sempurna, Ebha segera keluar dan melangkah menyusul Merzi, berharap gadis itu masih di didekat sana menunggu dirinya.
Tapi itu hanyalah harapan dalam angan. Tak ada Merzi disana bahkan mata elangnya mengedar dan dia tetap tak mendapati batang hidung Merzi.
"Apakah sudah ke kelas? Lebih baik ku pastikan saja."
Ebha melangkah lebar. Rasanya dia dikejar waktu. Biasanya Merzi tak seperti ini. Biarpun merajuk, kesal, marah atau apapun itu, sang nona akan tetap berjalan tanpa menunggunya dengan langkah pelan. Bukan seperti menghindarinya dengan sangat niat seperti ini.
"Apakah kau sudah membuka kado dari ku, Merzi?"
Ebha menangkap suara itu. Dia menoleh dan mendapati Merzi yang baru saja berbelok menuju ruang kelas bersama seorang siswa.
"Tentu saja sudah. Ini, bukan?" Merzi mengangkat tangan kirinya dan menggoyangkannya didepan wajah. "Aku bahkan sudah memakainya. Ini indah sekali. Terima kasih, Wilson."
"Iya, sama-sama. Gelang itu terlihat pas ditangan mu."
Ebha menatap datar dua manusia didepannya. Langkahnya normal setelah melihat Merzi. Dia akan menjaga sang nona seperti biasa.
"Merzi!" Panggilan lain dari belakangnya bukan hanya membuat Merzi menoleh, Ebha dan teman laki-laki Merzi pun ikut menoleh.
Merzi sempat tertegun mendapati Ebha dibelakangnya. Untung dia tak melihat wajah lelaki itu karena masih melihat Sonya yang baru datang. Temannya berjalan cepat menghampirinya.
"Sonya! Hai!"
"Huft …. Padahal aku hanya berlari lima langkah tapi sudah kehabisan napas seperti habis lari lima kilometer saja." Lontar Sonya mengusap pelan pelipisnya yang berkeringat.
Merzi dan temannya terkekeh kecil.
"Kalau begitu jangan berlari."
"Kau salah, Merzi. Seharusnya Sonya harus sering berlari agar tidak mudah kelelahan. Dan jangan cukup makan dua kali sehari dengan porsi normal."
"Maksud kau selama ini aku makan dengan porsi tidak norma, huh?! Beraninya kau, Wilson!"
Wilson berlari menghindari amukan Sonya sambil tergelak.
"Kemari kau, Wilson!" Sonya mengejar Wilson dengan susah payah. Tubuhnya yang berisi membuatnya kesulitan melangkah tapi tak pantang menyerah.
Merzi ikut tergelak dan membiarkan kedua teman sekelasnya mendahuluinya. Sebelum melangkah dia menoleh sebentar ke belakang memeriksa kehadiran Ebha.
Tawanya hilang kala mendapati Ebha yang menatap kearahnya. Wajah Ebha datar tak berkedip. Lalu Merzi kembali membalik badan, melangkah menjauh dan masuk ke dalam kelas.
Sedangkan Ebha hanya bisa diam. Otaknya berputar mencari kesalahannya yang membuat sang nona marah. Hingga dia menangkap satu clue.
"Tidak mungkin karena perkara ciuman kemarin, kan?"
...****************...
Bel mata pelajaran terakhir berbunyi. Setiap guru yang dikelas segera mengakhiri pembelajaran. Jam pulang sekolah telah tiba.
Adapun Merzi sedang membereskan buku-bukunya dan alat tulis ke dalam tas. Teman sebangkunya melakukan hal yang sama.
"Aku lihat seharian ini kau menyueki bodyguardmu itu, Merzi. Ada apa? Bukankah kau kemarin memintanya menjadi kekasihmu?"
Gerakan tangan Merzi terhenti. Dia diam sedetik lalu melanjutkan pekerjaannya. Tanpa menoleh menjawab perkataan temannya. "Apakah kau merasa seperti itu, Anna? Aku baik-baik saja pun dengan Ebha. Katakan padaku jika kau tertarik padanya." Merzi menyandang tas, "aku duluan. Dah!"
Anna tersenyum tipis melihat Merzi yang keluar kelas. Dia menggeleng lalu bergumam, "orang gila mana yang tak tertarik dengan pengawalmu itu? Bahkan kau dengan gila mengumumkan suka padanya dihadapan semua orang. Merzi …. Merzi …."
Didepan kelasnya Merzi melihat Ebha yang bersandar pada pembatas lorong. Lelaki itu langsung menegapkan badannya ketika melihat dirinya.
"Apakah nona langsung pulang?"
Merzi melirik sekilas tak membalas pertanyaan Ebha. Gadis itu berlalu begitu saja.
Ebha menghela napas. Hari ini Merzi sama sekali belum berbicara padanya. Dari istirahat pertama hingga jam pulang sekolah, gadis itu seperti enggan melihat bahkan membalas pertanyaannya.
"Paman Lym sedang dijalan menuju kemari. Apakah nona Merzi menginginkan sesuatu sebelum paman Lym tiba?" Ebha mengejar langkah tergesa Merzi.
"Nona Merzi!"
Merzi menyumpal telinga dengan earphone. Menutup pendengaran dari suara Ebha.
Ebha yang melihat itu hanya bisa pasrah. Baiklah, sepertinya kesalahannya kali ini sangatlah fatal. Dia akan merendahkan diri demi maaf seorang Merzi. Sungguh, dia lebih suka mendengar kecerewetan Merzi ketimbang didiamkan seperti ini.
Mereka bagai dua orang yang tak saling kenal. Merzi seakan menolak kehadirannya dengan bertindak seperti memperlakukan bodyguard-bodyguard sebelumnya.
Tiba dilantai dasar gedung sekolah, langkah Merzi dihentikan oleh teman lainnya.
"Kak Merzi!"
Gadis itu menoleh. Adik kelasnya menyapa. Dia tersenyum hangat. "Iya? Kamu Adam, bukan?"
Pemuda itu mengangguk lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Iya, Kak. Btw, selamat ulang tahun, Kak. Ini kado dari aku. Semalam tidak bisa hadir di acara kakak."
Merzi menerima kado itu. Senyumnya semakin lebar. "Woah, terima kasih. Ini sungguh merepotkan kamu."
"Sama-sama. Tidak merepotkan sama sekali."
Ebha melihat interaksi itu dengan sorot datar. Sudah tak peduli pada Merzi yang mengabaikannya. Ketika dirumah dia akan bertanya lebih leluasa nanti.
"Hmm, omong-omong apakah aku boleh meminta …. nomor ponsel kakak?"
Bisa Adam lihat Merzi mempertahankan senyumnya, sedangkan lelaki di belakang kakak kelasnya itu menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. Seakan menyampaikan pesan lewat mata enyah lah kau anak kecil!
"Ah, jika tidak boleh, tidak masalah, Kak. Aku hanya iseng tadi. Hehehe." Adam menggaruk kepalanya. Pemuda itu menunduk menatap sepatunya. Lalu kemudian dia dibuat terkejut karena sebuah ponsel terulur ke wajahnya.
"Ini. Catatlah nomormu disini."
Adam mengangkat kembali kepalanya. Tangannya sontak mengulur bahagia, tapi lagi-lagi aura tajam Ebha dibelakang Merzi membuat niatnya terhenti.
Merzi tahu jika Ebha memperhatikannya. Gadis itu menggoyang-goyangkan ponselnya dihadapan Adam. "Hey! Ini. Tidak usah pedulikan bodyguardku. Tugasnya memang seperti itu. Ambil ponselku dan tulislah nomormu. Sopirku sudah menunggu."
"Eh, iya, Kak." Adam mengambil ponsel Merzi dan mengetik nomornya. Dan mengembalikannya.
Merzi menghubungi nomor yang baru Adam simpan, "sudah?"
Adam mengangguk merasakan getaran ponsel disaku celananya. "Terima kasih, Kak."
"Ya. Aku duluan."
"Hati-hati dijalan, Kak Merzi!"
Merzi melambaikan tangannya. Sengaja tak melirik Ebha yang masih berdiri ditempatnya.
Ebha berusaha abai, tapi kata 'bodyguardku' yang Merzi katakan begitu menggelitik hatinya. Dia tak terima meskipun itulah kenyataannya.
Tapi apa boleh buat? Mengutarakan protes dia tak mempunyai hak.
Mobil yang menjemput Merzi telah tiba, Ebha mendekat lebih dulu guna membukakan pintu untuk Merzi. "Mari—"
Lagi, belum selesai dia berbicara, Merzi mundur tak jadi masuk. Gadis itu memilih memutari mobil dan membuka sendiri pintu mobil disebelahnya.
Ebha bungkam. Dengan pelan menutup kembali pintu mobil. Dari dalam dia bisa melihat Merzi yang menepuk pelan bangku sopir dan meminta untuk segera jalan.
Paman Lym mengklakson tanda pergi dahulu. Ebha mengangguk singkat menatap mobil mewah itu keluar dari pekarangan sekolah.
"Ck, sial!" Umpatnya kesal. Dia berlari menuju parkiran dan melaju kencang menyusul mobil Merzi yang belum jauh.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang Merzi naiki tiba dirumahnya disusul mobil yang Ebha bawa. Paman Lym membawanya kedepan halaman rumah, sedangkan Ebha menuju parkiran kendaraan. Di dalam mobil, Merzi masih duduk nyaman hingga paman Lym menegurnya.
"Sudah sampai, Nona."
"Ya, Paman, Merzi tahu."
Tapi Merzi tetap diam. Paman Lym pun tak lanjut bersuara. Paman Lym memperhatikan Merzi dari kaca tengah yang sedang menengok keluar seperti menunggu seseorang. Lalu melihat Merzi yang bersiap turun setelah melihat Ebha yang melangkah lebar menuju mobil.
"Paman. Keluarlah sebentar. Ada yang ingin Merzi katakan."
"Baik, Nona."
Paman Lym keluar dahulu untuk membukakan pintu Merzi. Nona muda itu berjalan dihadapan Ebha, dan paman mengikuti dari belakang.
Merzi memutar tubuhnya menghadap paman Lym yang berdiri disamping Ebha. "Paman, tolong katakan pada bodyguard Merzi untuk datang ke kamar setelah makan malam."
Paman Lym mengernyit heran, tidak dengan Ebha yang tahu arti kalimat Merzi. Gadis itu masih enggan berbicara padanya.
"Maksud nona Ebha, kan? Dia disini, nona bisa mengatakannya langsung."
"Merzi ingin paman yang katakan padanya." Tak mendengarkan lagi Merzi berlalu dari dua laki-laki itu. Gadis itu menangkap suara berat Ebha yang berbicara pada paman Lym.
"Paman tidak perlu mengatakannya lagi pada saya. Saya dengar dengan jelas apa yang nona Merzi katakan." Ujar Ebha menatap punggung Merzi yang menjauh.
Paman Lym juga melihat sang nona. Lelaki tua itu membalas. "Cepatlah selesaikan masalahmu dengan nona Merzi. Seharian ini aku tak melihat senyumnya padahal dia baru berulang tahun kemarin."
"Saya sedang berusaha, Paman."
Paman Lym menepuk pundak Ebha. "Lihatlah dia. Jangan sampai kau ditegur tuan Oldrich lagi."
Ebha menoleh pada paman Lym. Wajahnya penuh tanya. "Paman tahu?"
"Ya. Beliau memberitahu agar besok kau pergi bersamaku ketika mengantar nona Merzi ke sekolah. Dan mobil yang biasa kau pakai tak perlu dibawa lagi."
"Baiklah, Paman. Saya pergi dulu. Terima kasih sudah memberi tahu."
Paman Lym mengangguk. Sedangkan Ebha melangkah masuk menyusul Merzi. Tiba dilantai dua, dia melihat Merzi yang baru saja masuk ke dalam kamar dan pintunya segera tertutup. Lelaki itu turun kembali pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.