NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 8: Bantuan Nael

Sesuai dengan janji, aku kembali berkunjung ke klinik dr. Sofia di jam yang sama seperti minggu lalu. Belajar dari pengalaman sebelumnya, hari ini aku berangkat dengan membawa motor matic peninggalan Felicia. Desain bodynya yang ramping benar-benar membantuku dalam menerobos kemacetan ini.

Ngomong-ngomong, kemacetan hari ini masih disebabkan oleh proyek pengaspalan jalan di simpang utara Kota Andawana. Aku nggak tahu kenapa proyek ini makan waktu yang lama banget, tapi kalian nggak usah heran, lah, ya. Soalnya, ini kan emang ciri khas negara kita.

Dengan skill berkendara seperti pembalap, aku berhasil menerobos kemacetan ini dalam waktu yang jauh lebih cepat dari sebelumnya. Begitu memasuki lingkungan perumahan Dahayu Permai, aku perlahan melambatkan kecepatan motor untuk mematuhi himbauan dari security yang berjaga di gerbang depan.

Berbeda dengan jalan raya yang begitu panas, suasana jalanan di perumahan ini terasa begitu teduh berkat pepohonan yang ditanam di sekelilingnya. Hembusan angin yang lumayan kencang juga menambah kesejukan untuk badanku berkeringat deras di bawah jaket kulit ini.

Setelah mengambil satu lagi belokan ke kanan, akhirnya aku memasuki blok perumahan milik dr. Sofia. Lokasi blok ini benar-benar strategis karena begitu mudah untuk dicari serta berada tepat di pusat perumahan. Nggak heran, sih, kenapa dr. Sofia milih buat ngebuka klinik di blok perumahan ini.

Saat menyusuri jalanan lurus menuju klinik, aku bisa melihat dua orang yang tampak seperti sedang berdebat dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengetahui bahwa mereka berdua adalah dr. Sofia dan juga pria botak yang sama dengan waktu itu. Yah, orang itu tampaknya sama sekali belum nyerah buat ngebujuk dr. Sofia untuk pindah ke blok sebelah.

Tapi, tiba-tiba, si botak itu mendadak berubah jadi anarkis. Dia mendorong dr. Sofia dengan sangat kasar, hingga membuatnya jatuh tersungkur di trotoar. Hadeh, perkara ini pasti bikin waktu konsultasiku semakin tertunda lagi, sih.

Aku kemudian memarkirkan motor beberapa meter sebelum sampai di klinik, lalu mengangkat handphone untuk merekam kejadian itu. Kakiku melangkah dengan cepat menuju arah mereka, sambil menunjukkan ekspresi wajah yang sangat kesal.

“Oi, apa yang kau lakukan? Mau ku viralin kau?!” Bentakku kepada pria botak itu, sembari menunjuk-nunjuk ke arahnya. Badanku membelakangi dr. Sofia yang masih duduk bersimpuh dengan wajah yang tampak shock.

“Apa maksudmu?! Dia yang menyerangku duluan!” Pria botak itu mencoba berkelit dengan mata yang melotot ganas ke arahku.

“Halah, bacot! Semua kelakuanmu udah terekam di sini! Sekarang, pergi sana atau aku viralin videomu ini!” Ucapku membalas, sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat untuk segera menjauh. Gertakanku itu berhasil membuat wajahnya terlihat sedikit ketakutan.

“Cih, awas kau, ya!” Ancamnya sambil menunjuk ke arahku, lalu pergi menjauh menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.

Hah… bajingan itu benar-benar membuang waktu dan tenagaku di tengah hari yang panas ini.

...***...

Setelah kami berada di dalam ruangan praktik, dr. Sofia terus-terusan meminta maaf padaku sambil membungkukkan badannya. Situasi ini benar-benar terasa canggung karena aku nggak bermaksud buat menolongnya tadi. Aku cuma nggak mau waktu konsultasiku tertunda karena dr. Sofia harus berurusan dengan preman itu.

“Sekali lagi, maafkan aku karena udah ngerepotin kamu sebagai pasienku! Ini jelas-jelas udah ngelanggar kode etik profesiku!” Ucap dr. Sofia sambil membungkuk dengan dalam.

“N-Nggak apa-apa, sungguh, anda nggak perlu sampai minta maaf kayak gitu. Suasananya malah jadi canggung banget, tahu.” Balasku sambil melambai-lambaikan tangan untuk menyuruhnya berhenti.

“Maafkan aku karena udah bikin suasananya jadi canggung buat kamu!” Ucapnya lagi sambil membungkuk lebih dalam. Hadeh, mau sampai kapan dia bakal terus kaya gini, Ya Tuhan!

“Oke, oke, gimana kalau kita mulai aja sesi konsultasinya daripada terus-terusan minta maaf kayak gitu?” Pintaku dengan nada yang terdengar membujuk.

Tiba-tiba, ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi lebih profesional, seakan baru sadar bahwa aku datang ke sini untuk berkonsultasi. “Baiklah, kalau begitu, silahkan berbaring dan ceritakan semuanya kepadaku.” Ucapnya dengan nada yang ramah dan hangat, sambil terlihat menyilangkan kaki.

Sesuai permintaannya, aku perlahan berbaring di atas sofa yang nyaman ini lagi. Sumpah, saking nyamannya sofa ini, aku sampai nyari di internet tentang spesifikasi dan juga harganya.

“Baiklah, aku sudah siap, dok.” Ucapku dengan nada datar, sembari memandang atap rumahnya yang mewah.

“Oke, pertama-tama, boleh aku tahu perkembanganmu selama seminggu ini?” Ujung mataku bisa melihatnya bersiap-siap untuk menulis ketika menanyakan hal tersebut.

Aku perlahan mencoba mengingat berapa kali mengalami halusinasi selama seminggu ke belakang ini, sebelum menyampaikannya pada dr. Sofia. “Rasanya, aku cuma ngalamin halusinasi sebanyak 3 kali dalam seminggu ini, dok.”

Dr. Sofia langsung terlihat mencatat hal itu dengan cepat. “Terus, menurut kamu gimana bentuk dan tingkat keparahan halusinasinya waktu itu?” Tanyanya lagi, seakan mencoba mengulik setiap informasi berharga mengenai perkembangan kesehatan mentalku.

“Nggak begitu parah, sih, dok. Aku cuma dengar suara Felicia yang manggilin namaku aja.”

“Oke, lalu itu kejadiannya pas kamu udah selesai minum obat atau sebelum minum obat?”

“Uh… sebelum minum obat, sih, dok. Soalnya waktu itu aku sempat lupa meminumnya karena pagi-pagi udah sibuk ngurusin kerjaan.” Yah, ini lah sisi buruk dalam diriku. Kadang-kadang, karena saking padatnya jadwal hari itu, aku sampai lupa ngelakuin hal-hal penting yang biasa kulakukan di pagi hari.

“Oalah, jadi penyebabnya karena kamu lupa minum, ya. Aku pikir karena obatnya nggak ngefek sama sekali.” Ujarnya menanggapi, sambil terlihat menulis di atas kertasnya.

Dr. Sofia terlihat mematung sejenak, sambil menopang dagunya dengan pulpen seakan sedang memikirkan sesuatu. Mataku menatap langsung ke wajahnya yang serius, dengan bibir yang terlihat terus berkomat-kamit.

“Baiklah, sepertinya kita menemukan masalah baru hari ini.” Waduh, apa-apaan ini? Omongannya tiba-tiba bikin jantungku berdebar aja.

“Wah, terus gimana dong, dok?” Tanyaku penasaran dengan nada yang lumayan khawatir.

Dia kemudian berdiri perlahan-lahan, lalu mengulurkan tangannya kepadaku seolah sedang meminta sesuatu.

“Boleh aku pinjam handphonemu sebentar?”

...***...

Sesi konsultasi hari ini selesai lebih cepat daripada sebelumnya. Ternyata, tujuan dr. Sofia meminjam handphoneku tadi hanya untuk memasangkan sebuah pengingat di aplikasi kalenderku. Sehingga, kedepannya nggak akan ada lagi kejadian lupa minum obat.

Seperti biasa, dr. Sofia mengantarku sampai di depan rumahnya begitu transaksi pembayaran telah selesai dilakukan. Dia memasang senyuman yang begitu ramah saat melambai-lambaikan tangannya kepadaku.

“Hati-hati di jalan, ya.” Ucapnya dengan suara yang ceria dan ramah seperti biasanya.

Namun, saat hendak membalasnya dengan ucapan terima kasih, mataku nggak sengaja melihat tangannya yang terluka hingga sedikit mengotori jas putihnya. “Dok, ngomong-ngomong, tanganmu luka, tuh.” Ujarku memberitahu, sambil menunjuk ke arah lengannya.

“Hah?” Dr. Sofia terlihat kaget, sambil memeriksa tangannya dengan tergesa-gesa. “Kok aku baru nyadar sekarang, ya? Mana bajuku udah kena darah lagi.” Ucapnya dengan nada yang terdengar khawatir. Yah, aku tahu rasanya nyuci pakaian warna putih yang kena noda membandel. Jadi, aku bisa memaklumkan reaksinya itu.

“Pasti karena anda terjatuh gara-gara didorong sama si botak itu.” Celetukku sambil mengamati lukanya.

“Iya, nih. Tapi kenapa aku malah nyadarnya sekarang, ya? Haduh…” Gumamnya sambil memeriksa sisi pakaiannya yang lain.

Melihat keadaan dr. Sofia, aku jadi teringat kejadian waktu SMA dimana Felicia dirundung oleh gerombolan kakak kelas, hingga membuat tangannya terluka. Karena waktu itu lagi ada di fase PDKT, tentunya aku menolong Felicia layaknya seorang jagoan. Walaupun kalah gara-gara dikeroyok, tapi setidaknya aku berhasil membuat geng kakak kelas itu dipindahkan ke sekolah lain karena terbukti melakukan perundungan.

Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa simpati kepada dr. Sofia karena teringat oleh kenangan masa lalu itu. Pasalnya, dari penuturan Felicia, aku jadi mengetahui gimana rasanya dirundung oleh orang lain. Lebih parahnya lagi, kau harus terus menyembunyikan kenyataan itu agar orang-orang di sekitarmu tidak merasa khawatir.

Aku kemudian menghela napas panjang untuk meneguhkan hati kecil ini. Sejujurnya, aku nggak terlalu minat untuk membantu dr. Sofia dalam menyelesaikan permasalahannya. Tapi, di sisi lain, kenangan bersama Felicia itu membuat perasaan simpati ini tidak bisa dibendung lagi.

“Dokter, kalau anda sempat, tolong datanglah ke kantorku besok.” Ucapku dengan nada datar yang terdengar serius.

“Eh? Kenapa begitu?” Tanya dr. Sofia dengan wajah yang terlihat sedikit terkejut.

“Yah, walaupun anda tahu kalau aku ini hanyalah seorang notaris yang kerjaannya cuma bikin akta doang,” ujarku dengan nada malas, sambil menatap ke arahnya, “tapi, aku juga bisa membantu anda untuk mengajukan surat gugatan ke pengadilan mengenai kasus ini.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!