(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 09
...Setibanya di rumah sakit, Nyonya Adelia segera ditangani dokter. Sementara itu, Viola dibawa ke ruang perawatan untuk membalut luka di kepalanya. Usai penanganan, Viola bergegas menuju ruangan tempat ibunya diperiksa....
"Tuhan... tolong selamatkan Mama," gumam Viola lirih, kedua tangannya tertaut erat.
Ceklek.
...Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka lebar, dan seorang dokter muncul dari baliknya. Langkahnya menghampiri Viola yang berdiri seorang diri dengan wajah penuh kecemasan. Melihat kedatangan dokter, Viola segera mendekat....
"Dok, bagaimana kondisi Mama? Semuanya baik-baik saja, kan?" tanya Viola dengan nada penuh harap. Dokter itu menghela napas sejenak, ekspresinya sulit dibaca.
"Maaf, Nona, kondisi Nyonya memerlukan operasi sumsum tulang belakang secepatnya," ujar dokter.
Deg!
...Seketika, jantung Viola berdebar keras. Ibunya hanya sebatang kara. Ke mana lagi ia bisa meminta bantuan untuk operasi yang begitu mendesak ini?...
"Saya akan membantu." Suara datar Ibu Tiri Viola terdengar dari belakang mereka.
...Viola dan dokter menoleh. Nyonya Amalia berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dokter tampak lega, namun Viola merasakan gelombang kemarahan yang kuat. Ia yakin, ada maksud tersembunyi di balik tawaran ini....
"Saya tidak meminta bantuan Anda!" sergah Viola dengan suara bergetar, kedua tangannya terkepal erat menahan emosi.
"Tapi, Nona, kondisi ibu Anda sangat kritis. Operasi ini tidak bisa ditunda lagi," desak dokter dengan nada khawatir.
Viola menatap dokter dengan mata berkaca-kaca, air mata mulai menggenang. "Dokter, mohon beri saya sedikit waktu untuk mencari pendonor yang cocok... saya mohon..." lirihnya dengan suara tercekat.
"Tapi, Nona, waktu kita sangat terbatas. Hanya tiga jam. Jika terlambat, nyawa Nyonya..."
"Cukup, Dokter! Kumohon..." potong Viola dengan suara bergetar, tak sanggup membayangkan akhir yang mengerikan itu. Ia memejamkan mata, air mata akhirnya jatuh dengan deras.
"Sudahlah, terima saja bantuanku. Waktu ibumu tidak banyak," ujar Nyonya Amalia dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.
Dengan kasar Viola menyeka air mata yang masih membasahi pipinya, lalu menatap Nyonya Amalia dengan tatapan jijik dan marah.
"Apa yang kau inginkan sebagai imbalannya?" tanya Viola langsung, tanpa basa-basi.
...Nyonya Amalia tersenyum lebar, sebuah seringai dingin yang membuat bulu kuduk Viola meremang. Ia mendekat perlahan, berdiri di depan Viola dengan tatapan merendahkan....
"Malam ini. Hotel ini." Nyonya Amalia menyodorkan kartu nama hotel, menyelipkannya dengan sengaja di antara kain piyama Viola sambil tersenyum sinis. "Setelah semua ini, aku butuh relaksasi. Kau mengerti maksudku, bukan, Viola?" ucapnya dengan nada menjijikkan.
"Semuanya sudah beres? Kalau begitu, kita harus segera melakukan operasi. Waktu terus berjalan," ujar dokter dengan nada mendesak.
...Viola menoleh pada dokter, mengangguk lemah dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Ada secercah kelegaan dalam hatinya untuk sang ibu, namun bayangan malam nanti menghantuinya. Ia tahu, ia tidak akan bisa menghindari cengkeraman pria tua menjijikkan itu....
Demi Mama, aku harus kuat. Aku harus bertahan, batin Viola pilu, air matanya semakin deras membasahi pipinya.
"Mari ikut saya, Nyonya," ajak dokter, berjalan mendahului mereka.
"Ingat baik-baik janji kita, Viola," bisik Nyonya Amalia sambil menepuk pelan bahu Viola, seringai kemenangan tersirat di wajahnya sebelum mengikuti dokter.
Viola menatap nanar punggung ibu tiri dan dokter yang menjauh. Ingin sekali ia menolak tawaran menjijikkan itu, namun bayangan wajah pucat ibunya melumpuhkan keberaniannya. Ia terperangkap dalam pilihan yang mengerikan.
"Hiks... hiks... maafkan Viola, Mama..." Viola terisak pilu, menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata di balik kedua tangannya. Dunia terasa runtuh di sekelilingnya.
🌺
🌺
🌺
...Waktu terus merayap lambat, membawa Viola semakin dekat pada malam yang ditakutinya. Sore hari yang kelabu menyelimuti rumah sakit. Dengan gelisah, Viola mondar-mandir di depan pintu ruang operasi, kecemasan mencengkeram hatinya hingga ia tanpa sadar menggigiti kuku-kukunya....
"Viola!" Suara bariton Tuan Hernan yang sarat kekhawatiran memecah kegelisahannya. Pria itu berjalan cepat menghampirinya, raut wajahnya mencerminkan kepanikan.
...Viola hanya melirik sekilas ke arah ayahnya, tatapannya dingin dan tanpa ekspresi, sebelum kembali terpaku pada pintu ruang operasi. Ia tidak ingin berurusan dengan Tuan Hernan dan lebih memilih menanti dengan cemas....
"Viola, di mana Amalia dan dokter?" tanya Tuan Hernan, berdiri di samping putrinya dengan wajah khawatir.
"Di dalam. Operasi," jawab Viola datar, tanpa menoleh sedikit pun.
"Kau harusnya melihat sisi baiknya, Viola. Meskipun kalian tidak pernah akur, dia tetap berbaik hati membantu ibumu. Setidaknya, ucapkan terima kasih," kata Tuan Hernan, mencoba menenangkan situasi.
...Kata-kata ayahnya bagai pisau yang menusuk hatinya. Viola semakin menggenggam erat kedua tangannya. Ia ingin sekali membongkar kebusukan Amalia, namun ia tahu usahanya sia-sia. Ayahnya selalu lebih percaya pada istri keduanya daripada dirinya dan ibunya. Keputusasaan kembali melandanya hati Viola....
(Bersambung)