Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wang Jingwen-Empty Joy
“Lin, apakah makanannya tidak sesuai?”
Caroline menghentikan gerakan garpunya yang seperti biasa, mengangkat kepala dan menatap netra hitam di depannya. Matanya kosong, tanpa ekspresi. “Tidak.”
Lidah Pram kelu, ia sudah menyiapkan berbagai topik seperti buku, rencana akhir pekan, atau tanaman yang dirawat Caroline.
Tetapi dihadapkan dengan wajah tanpa ekspresi itu membuatnya lupa sejenak apa yang bisa ia bicarakan selain pekerjaan. Ada jeda canggung yang panjang.
Di sisi lain Caroline memindahkan sambal ke sisi suaminya. “Sambal ini baru dibuat Bu Ninik. Cobalah.” Suaranya datar, tanpa intonasi. Gerakannya otomatis. Ia makan beberapa suap lagi, kemudian meletakkan garpunya.
Pratama menatap sambal itu dalam waktu lama, lalu menoleh ke piring Caroline yang masih menyisakan banyak makanan. Sejak percakapan dengan Frans, Pratama tidak lagi sepenuhnya lega. Rasa khawatir yang samar mulai menggerogoti. Namun ia ragu harus melakukan apa untuk memperbaikinya.
Dia mulai bertanya-tanya, apakah kesukaan makanan istrinya juga sudah berubah? Bukan ayam mentega atau ikan asam manis? Karena menu yang dulunya akan disambut dengan mata penuh binar, tidak lagi mendapatkan reaksi yang sama.
“Apakah ada kabar dari tim itu?”
Pertanyaan itu, pertanyaan yang lagi-lagi kembali ke ranah pekerjaan. Pram yang awalnya berpikir bahwa ada kemajuan dengan berbicara banyak, baru sadar bahwa ternyata sebagian besar hanya masuk dalam pembicaraan yang seharusnya dilakukan dengan mitra bisnis.
Tatapannya rumit, Pram juga ikut kehilangan nafsu makannya kali ini. Dia mengambil satu sendok sambal buatan Bu Ninik, meletakkannya ke piring. “Semua baik-baik saja. Sekarang, aku ingin kita berbicara lebih santai.”
“Santai?” Caroline memotong wortel, memainkannya di antara kubangan sup tomyam. “Kita saat ini sedang berbicara santai, tidak ada yang dipojokkan.”
Pratama tergugu. Ini tidak memojokkan, tapi dia tidak menginginkan diskusi seperti ini berlanjut. Ia memaksakan senyum, mencoba tetap tenang. "Maksudku... bicara tentang hal lain selain pekerjaan. Seperti akhir-akhir ini, buku apa yang kau baca?"
Caroline meletakkan garpunya lagi. Matanya menatap Pratama lurus, tanpa berkedip. "Aku tidak membaca buku, Pram. Mungkin kalau bacaan, rasanya aku lebih mencari tahu strategi yang bisa digunakan untuk bisnismu." Nada suaranya dingin, seolah sedang berbicara di rapat direksi.
"Tapi Frans bilang kamu sering membaca di ruang keluarga," Pratama mencoba lagi, suaranya sedikit meninggi, tidak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya yang samar.
"Dan tanamanmu di halaman belakang juga butuh perhatian, kan? Kau sering menghabiskan waktu di sana."
Caroline sedikit mengernyit, ekspresi pertama yang Pratama lihat darinya selain datarnya wajahnya. Namun, itu bukan ekspresi sedih atau marah, hanya sedikit terkejut, seperti seseorang yang kebohongannya ketahuan.
"Frans mungkin salah lihat," jawabnya, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke piring. "Atau mungkin aku hanya melihat-lihat saja, bukan membaca. Dan tanaman, itu hanya sekadar hobi. Tidak ada yang spesial."
“Oh.” Pram memindahkan daging ikan yang sudah ia sisihkan dari duri, ke piring istrinya. Lagi-lagi Caroline terhenyak. Dia menatap Pram penuh kebingungan.
“Apakah ada sesuatu? Malam ini kau lebih aneh dan emosional.”
Pratama menggeleng. Dia melontarkan alasan yang menurutnya agak masuk akal. “Aku hanya ingin tahu keseharianmu. Juga makanlah ikan itu. Kuperhatikan kau suka memisahkan duri sebelum menelannya, jadi kuberikan yang sudah bersih dari tulang, agar lebih mudah bagimu.”
“Terima kasih.”
Caroline menelan ikan itu bersama nasi, sekitar empat suap sebelum dia kembali fokus mencacah wortel tak bersalah itu sampai terbagi menjadi begitu kecil. Pram melirik sisa disana dan menyadari lagi, seberapa tidak pekanya ia, melewatkan dua puluh lima hari akan kebiasaan baru itu.
“Lin, apakah makanan kesukaanmu.. berubah?”
Perempuan itu mengangkat sendok berisikan nasi yang sudah agak benyek lalu memasukkannya ke dalam mulut. “Tidak tahu.”
Jawaban Caroline yang ringkas dan tatapan datarnya membuat Pratama merasa frustrasi. Entah mengapa pandangan yang dilayangkan perempuan itu, sikap acuh tak acuhnya, gerakan kecilnya, mengingatkan lelaki itu pada saat mereka berada dalam situasi tegang dan renggang.
Caroline berdiri dan membawa piringnya lagi ke dapur. Pram melihat sisa nasi, ikan, sayur itu dibuang ke tong sampah. Benar-benar gawat. Saat istrinya keluar, Pram menahan lengannya.
“Lin, apakah kau benar-benar baik-baik saja?”
Caroline menepis genggaman itu.
“En.”
Suaranya terdengar sangat singkat, seolah enggan memperpanjang interaksi. Ia lalu melangkah cepat menuju kamar mereka, meninggalkan Pratama sendiri di ruang makan.
Pria itu ingin membuktikan laporan Bu Ninik. Mendengarkan suara pintu kamar yang tertutup lalu menyusulnya dengan langkah tergesa. Melihat kedatangan Frans, Pram memintanya membereskan sisa makanan di atas meja dan menyimpan lauk ke kulkas.
Pratama sengaja menunggu lebih lama di depan pintu kamar. Saat masuk, kamar begitu kosong. Ia mendengar suara pintu kamar mandi yang dikunci, lalu tak lama kemudian, suara air mengalir dari kamar mandi. Telinganya menajam. Ada jeda, lalu suara muntahan yang tertahan, diikuti oleh batuk lirih. Jantung Pratama mencelos.
Ia berdiri di dekat sana, ragu untuk mengetuk. Ia ingin masuk, memeluk Caroline, dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun melihat reaksinya hari ini, ia rasa ia tidak bisa begitu saja masuk ke dalam.
Lelaki itu menunggu. Tak lama kemudian, suara air disiram terdengar. Pratama menahan diri untuk tidak langsung menghampiri. Ia tidak ingin Caroline merasa terpojok atau diselidiki. Ia hanya ingin memastikan.
“Aku tidak bisa melakukannya, ia hanya akan berkelit dan menutupi semua lagi.”
Pram keluar, dan ia sedikit merutuk. Tidak ada perubahan. Mereka kembali menjadi sama seperti dulu. Sama-sama mengulangi kesalahan. Tapi Pram tidak mau ia melanjutkan kesalahan dulunya.
Keesokan paginya, Pratama mencoba berbicara lagi dengan Bu Ninik.
"Ibu, apakah Caroline terlihat lebih kurus belakangan ini?" tanya Pratama hati-hati.
Wanita paruh baya itu mengangguk pelan.
"Sedikit, Tuan. Saya tidak tahu apa yang terjadi, namun semenjak saya balik bekerja disini lagi, Nyonya selalu memakai baju yang longgar, jadi tidak terlalu kentara. Namun, saya perhatikan tulang pipinya sedikit lebih menonjol."
“Kebiasaan lainnya, apakah ada yang mencurigakan?”
Bu Ninik berpikir sejenak, lalu dia melirik ke ruang tamu takut-takut. “Saya sebenarnya pernah menyampaikan keluhanku pada Frans, rasanya Nyonya bukan membaca buku, namun melamun sambil memegang buku. Matanya tidak bergerak membaca isinya dan tidak ada lembaran yang dibalikkan.”
“Pantas saja,” pikirnya dalam hati.
Pantas saja Caroline mengelak saat ditanya buku. Jika dia mengatakan iya, ia pasti harus menceritakan isi buku yang bahkan tidak dibacanya sama sekali.
Seolah masih belum puas, Pram mendatangi asistennya lagi.
"Frans," panggil Pratama, ketika Frans masuk untuk membereskan meja.
"Ya, Pak?"
"Apakah Caroline pernah meminta makanan lain belakangan ini? Atau terlihat tidak suka dengan menu masakan?" Pratama berusaha menyembunyikan nada khawatirnya.
Frans berpikir sejenak. "Tidak. Nyonya tidak pernah mengeluh. Hanya saja, porsinya memang selalu sedikit. Kadang tidak habis. Saya kira karena nafsu makannya sedang kurang."
"Begitu..." Pratama menghela napas. "Terima kasih, Frans."
Pratama merasa putus asa. Ia tahu Caroline berbohong, atau setidaknya, sangat menghindari topik pribadi. Tapi jika sampai kegemarannya sudah raib seperti ini, nafsu makannya tidak ada, dan gerakannya penuh ketidaknyamanan sampai muntah terbatuk, Pram ragu apa yang bisa diperbuat. Ia hanya bisa menghela napas, menyandarkan punggung ke kursi.
Keesokan paginya lagi, saat Caroline sudah berangkat ke halaman belakang untuk menyiram tanaman, Pratama diam-diam masuk ke kamar mandi mereka. Ia melihat sabun di tempatnya, sikat gigi bersih. Namun, ada bau samar antiseptik di udara yang tidak biasa, seolah baru saja digunakan untuk membersihkan sesuatu. Keranjang sampah kecil di sudut kamar mandi juga terlihat baru saja dikosongkan.
“Dia menutupi semuanya sampai seperti ini. Pantas saja aku tidak menemukan hal yang aneh.”
Pratama keluar dari kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Ketenangan Caroline semakin mencurigakan. Ia mulai bertanya-tanya, apa lagi yang Caroline sembunyikan di balik wajah datarnya?