Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Menyenangkan dan Menyebalkan
Aylin menatapnya curiga. Nada suara pria itu terdengar terlalu berbahaya. "Tugas istri itu… euh…," dia berpikir sejenak, berusaha mencari jawaban yang bisa menyudahi pembicaraan ini dengan cepat. "Pokoknya bukan cuci piring atau bersihin meja. Itu tugas ART!"
Akay mengangguk pelan, masih dengan seringai misteriusnya. "Baiklah, kalau bukan beres-beres, berarti tugas istri yang lain?"
Aylin menatapnya dengan ekspresi semakin waspada. "Apa maksudmu?"
Akay bersandar ke meja, mendekatkan wajahnya sedikit. "Ya, tugas istri. Yang lebih… spesifik." Suaranya rendah, dalam, penuh penekanan.
Aylin langsung mundur dengan wajah memerah. "Kamu mesum, ya?! Maksudmu yang kayak di drama-drama gitu? Mimpi aja!" serunya panik.
Akay tertawa kecil, menikmati bagaimana wajah gadis itu berubah merah padam. "Kamu sendiri yang bilang tugas istri bukan beres-beres. Aku cuma memastikan, siapa tahu kamu tiba-tiba sadar kewajiban," katanya dengan nada menggoda.
Aylin mendengus, lalu melipat tangan di dada dengan ekspresi kesal. "Dengarkan aku baik-baik, Tuan Akay Riandi. Aku nggak akan melakukan ‘tugas istri’ dalam bentuk apa pun!"
Akay hanya terkekeh, lalu berdiri dari kursinya. "Baiklah," ujarnya santai, lalu meraih piring kotor di hadapannya. "Kalau gitu, aku juga nggak akan menjalankan tugas suami."
Aylin mengerutkan dahi. "Tugas suami?"
Akay menoleh, menatapnya sambil mengangkat bahu. "Ya, seperti… menafkahi istri, membiayai kebutuhannya, atau bahkan memastikan dia punya tempat tinggal yang nyaman," katanya dengan nada santai, lalu beranjak ke wastafel.
Aylin melongo, baru sadar ke mana arah pembicaraan ini. "Hei! Aku 'kan masih jadi istrimu! Kamu nggak bisa tiba-tiba berhenti menjalankan tugas suami!"
Akay terkekeh. "Oh? Tapi kamu juga menolak tugas istri. Adil, 'kan?" katanya sebelum mulai mencuci piring dengan santai.
Aylin mendengus kesal, menatap pria itu dengan penuh amarah. "Dasar menyebalkan!" gerutunya, sebelum akhirnya bangkit dengan wajah merengut dan mulai mengumpulkan piring kotor.
Akay tersenyum menang, menikmati kemenangan kecilnya malam ini.
Beberapa menit kemudian, Aylin mengerutkan kening, tangannya masih sibuk mencuci piring saat sesuatu terlintas di kepalanya.
"Tunggu... Kenapa aku harus takut kalau dia nggak menjalankan tugasnya sebagai suami?" pikirnya. "Menafkahi? Sudah. Membiayai kebutuhanku? Sudah. Memberi tempat tinggal yang nyaman? Jelas sudah! Bahkan tanpa dia repot-repot bertindak sebagai suami, aku tetap mendapatkan semuanya."
Rahang Aylin mengeras. "Terus kenapa aku jadi tulalit tiap kali bareng dia? Kenapa aku selalu GeEr kalau dia bilang sesuatu?"
Matanya membelalak saat kesadaran menghantamnya telak. "Sial! Aku baru saja melakukan apa yang dia suruh! Bukan cuma beresin meja makan, sekarang aku malah cuci piring segala! Dasar bodoh, Aylin! Kamu ini apa? Robot yang bisa disuruh-suruh seenak jidat?"
Ia menghela napas kasar, meletakkan piring terakhir dengan sedikit hentakan di rak piring, lalu mengusap wajahnya sendiri dengan frustrasi.
Akay, yang sejak tadi bersandar di meja dapur dengan tangan terlipat, menyaksikan semua itu dalam diam. Mulai dari ekspresi kosong Aylin, alis yang bertaut, lalu perubahan drastis ketika gadis itu tampak marah... entah pada siapa, mungkin pada dirinya sendiri.
Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Kenapa? Menyesal sudah nurut?" tanyanya santai.
Aylin menoleh dengan tatapan tajam. "Aku lagi marah sama diriku sendiri, jangan ikut-ikutan!"
Akay tertawa kecil, tak terpengaruh. "Aku sih nggak nyuruh kamu buat GeEr. Itu murni kesalahanmu sendiri."
Aylin mendengus kesal. "Sial! Dasar cabai setan!" gumamnya, lalu buru-buru pergi sebelum otaknya semakin kusut karena pria menyebalkan itu.
Tapi.
Aylin menghentikan langkahnya secara refleks saat mendengar teriakan Akay. "Bau kencur! Kamu menggemaskan saat marah."
Matanya membulat sesaat sebelum ia menoleh dengan percaya diri. "Baru tahu kalau aku menggemaskan, hah?" Bibirnya membentuk senyum penuh kemenangan.
Namun sebelum ia bisa menikmati momen itu lebih lama, Akay melanjutkan dengan nada santai, "Sayangnya, kamu cuma hiburan buatku."
Senyum Aylin seketika kaku. "Hah?"
Otaknya langsung memproses kata-kata itu dengan cepat. Hiburan? Hanya hiburan?!
"Arrrgh, sial! Kenapa aku selalu ke-GeEr-an tiap kali dia ngomong?" Aylin merutuki dirinya sendiri. "Kenapa otakku langsung berpikir positif kalau dia memuji?"
Rahangnya mengatup, lalu ia mendengus, berusaha menutupi rasa malunya. "Hah! Kayak aku peduli aja!" ujarnya ketus sebelum berbalik, berjalan lebih cepat.
Di belakangnya, Akay tertawa kecil, jelas menikmati reaksinya. "Bau kencur, kamu lucu sekali."
Aylin mengepalkan tangannya. "Demi apa pun, aku harus lebih tahan mental! Jangan sampai ke-GeEr-an lagi!" batinnya, tapi ia tahu, itu hanya harapan kosong.
"Dasar cabai setan!" geram Aylin, wajahnya memerah menahan amarah.
Alih-alih merasa terintimidasi, Akay justru terkekeh pelan. Matanya menyipit, menikmati bagaimana ekspresi istrinya berubah-ubah dalam hitungan detik.
Melihat senyum menyebalkan itu, Aylin semakin kesal. "Kenapa ketawa?! Hah?! Emangnya aku badut buat hiburan?"
Akay menyandarkan tubuhnya ke dinding, kedua tangannya terlipat di dada. "Nggak juga sih, tapi... ekspresimu itu priceless." Senyum liciknya makin melebar. "Kamu kayak bom waktu, gampang meledak."
Aylin mendengus, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. "Mau meledak sekarang juga?! Mau?! Aku nggak akan ragu buat—"
"Tenang, Bau Kencur. Kasihan nanti kalau kamu tambah keriput karena kebanyakan marah."
Aylin hampir melempar sandal ke kepalanya. "Dasar cabai setan! Nyebelin banget, tahu nggak?!"
Sementara Aylin sibuk menggerutu, Akay hanya mengamatinya, lalu mendesah. Jujur saja, ia sendiri tak mengerti kenapa menggoda gadis ini terasa begitu menyenangkan. Meskipun, pada saat yang sama, juga seperti ujian kesabaran paling berat.
Saat bersama Aylin, ia merasa berbeda. Tidak sekaku biasanya. Tidak terlalu serius.
Menjengkelkan? Iya. Menyenangkan? Juga iya.
Sial. Dia harus mulai berhati-hati. Sebab, ia tak yakin bisa bertahan lama jika terus menikmati kehadiran istrinya seperti ini.
Malam semakin larut.
"Ayo, tidur!" ujar Akay sambil melangkah menuju kamarnya.
Saat melirik ke belakang, ia mendapati Aylin mengekor tanpa sadar. Sudut bibirnya terangkat, menahan tawa. "Dia pasti belum sadar mengikuti aku," batinnya, menikmati momen kecil ini.
Sebentar lagi, Aylin pasti akan tersadar dan bereaksi seperti yang ia duga—mata melebar, ekspresi terkejut, lalu merengut sebal. Istrinya ini benar-benar menggemaskan.
Setelah duduk di tepi ranjang, Akay menatap Aylin yang masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa bengong di situ?" tanyanya santai, tapi nada menggoda jelas terasa.
Aylin menelan ludah, pandangannya tertuju pada ranjang besar di tengah kamar dengan kewaspadaan penuh. Perlahan, kesadarannya kembali, dan seperti yang Akay duga, matanya melebar, ekspresi terkejut terpampang jelas, lalu berubah merengut sebal.
"Kenapa aku ngikutin dia kayak anak ayam ngikutin induknya?" batinnya mengutuk diri sendiri. Wajahnya memerah karena malu, dan refleks ia mundur selangkah. Namun, sudah terlambat. Akay yang kini tersenyum puas, jelas tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggodanya lebih jauh.
Akay yang sudah bersandar santai di kepala ranjang, mengenakan kaus lengan pendek dan celana tidur, menyunggingkan senyum jail. "Kau mau berdiri di situ semalaman? Atau perlu aku gendong ke ranjang?"
Aylin langsung menegang, wajahnya merona. "Siapa juga yang mau tidur sama kamu!" sergahnya cepat.
Akay mengangkat alis. "Oh? Jadi mau tidur di sofa? Atau di lantai?" Ia menghela napas dramatis, lalu menepuk kasurnya. "Di sini lebih empuk, tahu?"
Aylin mengerjap. Ini jebakan, kan? Pasti jebakan!
"Aku tidur di sofa!" putusnya cepat sebelum pria itu bisa menjebaknya lebih jauh.
Namun sebelum ia sempat berbalik, Akay sudah turun dari ranjang dan menarik pergelangan tangannya.
"Siapa bilang kamu punya pilihan?" bisiknya tepat di telinga Aylin.
Gadis itu membeku. Jantungnya mendadak berdebar tak keruan.
"Sial!" batinnya. "Kenapa aku jadi gugup?! Dasar setan menyebalkan!"
...🌟...
..."Kadang sisi diri kita yang jarang kita tunjukan pada orang lain muncul saat bersama seseorang yang spesial bagi hati kita tanpa kita sadari."...
..."Mata bisa tertipu, logika bisa berdebat, tapi hati selalu tahu pada siapa ia menemukan kenyamanan."...
..."Nyaman itu sederhana. Hati yang memilih, bukan logika yang menghitung."...
..."Kebahagiaan tak perlu dicari, kenyamanan tak bisa dipalsukan. Hati selalu tahu ke mana ia ingin pulang."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍