NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:296
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 7 : Echoes of Laughter

~Happy Reading~

Kepala yang tertunduk, ujung-ujung jari bergerak menelusuri judul-judul buku yang tidak pernah Jiha baca sebelumnya. Secara mengejutkan Seoryeong punya koleksi novel nyaris lengkap. Nyaris. Bahkan romance literature "Pride and Prejudice"-nya Jane Austen.

Apa Jiha belum pernah bilang kalau sesuka ini dirinya sama novel-novel percintaan.

Dari seluruh kelas, kelas bahasa adalah favoritnya. Melakukan review, membahas makna dan mendiskusikan intisari cerita. Jiha paling mudah mengingat alur dan jalan cerita. Jiha paling gampang meresapi quotes-quotes yang dikatakan tokoh-tokoh dalam cerita. Membawanya masuk terlalu dalam, menyelami dunia yang berbeda dimana Jiha bisa menjadi seorang perawat lalu keesokan harinya dia berpacaran dengan teknisi pesawat.

Jiha mengambil beberapa jilid novel, meletakkan itu di lengannya. Lalu meraih dua lagi.

Sayang, dia tidak punya waktu mendekam di perpus dan membaca di hari-hari biasa, gara-gara teman gengnya, Yerin dan Nayoung, tidak suka membaca. Mereka musuh bebuyutan buku. Mereka cuma tahu bersenang-senang dan pesta-pesta, menghamburkan harta kekayaan orang tua. Spoiled girls jaman now. Let me tell you the truth. Jiha tidak butuh mereka. Mereka yang butuh Jiha. Jiha "otak" dalam kelompok. Tugas-tugas sulit? Ngapain pusing? Ada Jiha! Mager? Ada Jiha!

Kampret memang!

"Wah... ketemu kau!" Jiha membolak-balik novel Lolita di tangannya. Semburan rasa sayang muncul. Novel ini numero uno bagi Jiha. Lalu suatu hari salah seorang teman SMP berkunjung ke rumahnya. Meminjam novel Lolita miliknya, dan sampai mereka lulus novel itu tidak pernah kembali ke tangan Jiha.

Jiha meraih satu novel lagi dari rak buku. Ketika penghalang itu ditarik, mata Jiha bertemu dengan sepasang iris hitam milik Taera.

"Eh!" Jiha agak terkejut, namun mencoba tersenyum. "Hai! Suka baca novel juga?"

Tidak ada jawaban. Tidak ada senyuman. Taera menatap penuh kebencian. Itulah yang diberikan sebagai balasan.

Cewek itu cepat-cepat ngeloyor pergi seakan Jiha penyebar virus mematikan yang pantas dihindari.

Okay... fine. Mereka bukan kawan. Dihukum bareng di hari yang sama tidak akan membuat perbedaan. Dua orang beda pergaulan dan latar belakang tidak bisa tiba-tiba akrab. Jiha tidak berhak protes. Lagipula perlakuan teman-temannya ke Taera tidak pernah bagus.

Apa sudah terlambat untuk menyadari kesalahan?

Menyadari kesalahan berarti menentang kekuasaan Yerin dan Nayoung. Jiha belum pernah mencoba cari ribut.

Terlalu beresiko.

Duo maut itu selalu menghalalkan segala cara untuk memutarbalikkan fakta dan membuat seseorang terlihat seperti pendosa di mata dunia.

"Hai. Suka baca novel juga?"

Jiha merinding. Rambut-rambut di kulitnya langsung bereaksi merespon kehadiran makhluk itu di belakang punggungnya.

Jeon Junseok!

Goddamit! Kenapa sih makhluk itu muncul dimana-mana seperti cicak?

Seringai jahil tersungging di bibir Junseok tepat setelah Jiha balik badan.

"Sejak kapan kau di sini?" Jiha menyipitkan mata.

"Uhm..." Junseok mengetuk-ngetuk dagu, pura-pura mikir. "Sejak sekolah ini menerimaku sebagai murid."

"Bukan itu yang kumaksud! Kau tiba-tiba muncul di belakangku! Lain kali jangan lakukan itu."

"Aku tidak tiba-tiba muncul." Junseok melangkah lebih dekat, Jiha mundur, merapat ke deretan buku di belakangnya. "Noona yang terlalu serius melamun."

Haruskah Jiha berteriak "JANGAN MENDEKAT!" seperti cewek di film-film? Masalahnya dia sudah sangat terpojok. Aroma kuat cowok ini yang memojokkon Jiha.

"Apa rencanamu malam ini, Noona? Duduk di kamar sendirian?" Junseok merentangkan satu tangan di atas kepala Jiha. This is illegal! Terlalu dekat!

"Sebenarnya aku akan memesan junk food dan menonton film sampai pingsan." Jiha berusaha terlihat tenang, "Oh, dan aku berencana menyuruh Yoohan oppa untuk bergabung denganku."

Junseok merasakan sengatan kecemburuan yang ganas. "Yoohan oppa?"

What the heck, man! Sejak kapan Seonbae naik pangkat menjadi Oppa!? Perasaan baru semenit yang lalu. Junseok merasa kecolongan. Dia benci ini. Dia benci keduluan orang lain!

Si polos Jiha ngomong dengan santainya. "Yoohan oppa pindah ke daerah perumahanku, dia bilang adik perempuannya koleksi novel dan mau meminjamiku, kusuruh saja Yoohan oppa main ke rumah."

"Novel?" Junseok mencibir. "Apa bagusnya? Novel adalah penipuan publik. Menyajikan imajinasi yang terlalu muluk-muluk dan meracuni otak."

"Kalau tidak tahu apa-apa mending diam saja!" Jiha menjawab dingin, mengambil beberapa buku dari rak lalu memeluknya. "Aku suka novel kenapa kau yang sewot!"

"Karena kupikir kau cewek keren yang lebih realistis." Junseok mendesis.

"Oh, maaf ya sudah merusak imajinasimu yang terlalu muluk-muluk itu!" balas Jiha ketus.

"Setidaknya aku tidak berguling di kasur seharian memimpikan negeri dongeng," sindir Junseok.

"Setidaknya aku bukan bajingan!"

"Jangan munafik deh. Kau pasti suka bajingan. Cowok-cowok dunia dongeng yang kau baca juga bajingan." Junseok senyum. "Apa aku benar?"

"Fuck you!" Jiha menggeram.

"Dengan senang hati." Junseok memajukan wajah sambil memonyongkan bibir.

Lalu digetok Jiha pakai tumpukan novel. "Aw!" Junseok melotot. "Kok malah mukul? Katanya tadi mau 'fuck'?"

"Go to hell," desis Jiha. "Nilai bahasa inggrismu berapa? Kalau tidak mengerti, baiklah, biar kuterjemahkan. Pergi jauh-jauh sana. Enyahlah. Terbang ke Mars dan jangan kembali lagi."

Junseok berdecak-decak sarkastis. "Aku baru tahu 'fuck' memiliki banyak arti. Meski jujur saja aku lebih suka 'fuck' yang berarti 'Ayo berduaan'."

Kemudian tangan lancang cowok itu merebut novel-novel dari tangan Jiha.

"Heh! Kembalikan!" perintah Jiha dengan suara melengking tinggi penggetar gendang telinga. Untung ini hari minggu, tidak ada penjaga yang bakalan menendang bokong mereka keluar dari perpus. Tahanan lain juga tidak peduli. Sojin, Yoohan, Taera, Haekyung ada di section lain. Terlalu fokus dengan urusan masing-masing.

"Ya ampun, bisa tidak jangan teriak-teriak terus? Lagipula ini milik sekolah. Bukan punyamu. Aku juga murid sekolah ini. Aku bebas mengambilnya kapan saja aku mau. Ini milik bersama."

Junseok melihat satu-satu novel di tangannya, sesekali mencibir lalu terkekeh dengan tampang menyebalkan. "Ckckck... kau suka baca yang beginian?"

"Beginian? Dasar bocah!" ledek Jiha. Si bocah ini bahkan tidak sanggup menyebut novel erotis dengan nama yang sesuai. Apa-apaan 'beginian'. Itu sering dipakai para bocah.

Perhatian Junseok berpindah, melibas Jiha.

"Apa? Mau marah? Memang benar kan? Kau itu bocah! Badanmu saja yang besar!" ejek Jiha.

"Noona... hati-hati kalau bicara." Junseok menatap dengan sorot yang paling intens. Tubuhnya semakin dekat, dan setiap bunyi nafasnya memperngaruhi debaran jantung.

Jiha tidak berani mendongak membalas tatapan cowok itu. Punggung Jiha sampai menyatu dengan rak buku, takut jika dia memberontak sedikit, bisa dipastikan tubuh mereka akan menempel telak-telak, dari atas sampai bawah...

"Usiaku masih tujuh belas tahun ke bawah." Junseok menyunggingkan senyum berbahaya. "But, you can try me."

"Try what?" Jiha membeo dengan dungunya.

Jiha agak risih dengan cara si bocah memandangi semua aspek yang menempel di wajah dan tubuhnya. Matanya lambat-lambat menelusuri alis, hidung, bibir, dagu, kulit leher, sepasang gundukan kembar di dada yang menyembul dan ditutupi blus warna kuning.

Lalu pertanyaan laknat meluncur keluar dari mulut cowok itu. "Noona masih perawan ya?"

Mulut Jiha mangap sedikit akibat shock. "None of your goddamn business!" sembur Jiha.

"Aku berani bertaruh satu juta dollar Noona masih perawan." Junseok menikmati sorot tajam cewek itu tertuju ke matanya, dengan sepenuh hati. Sorot yang tidak cuma memancarkan kemarahan... namun... gairah? Pasti gairah!

"Biarkan aku lewat."

"Lewat saja apa susahnya?" Junseok menyipitkan mata. "Tinggal lewat saja... apa susahnya?"

Puting Jiha tiba-tiba gatal lihat cowok itu tersenyum. Cuma satu senyuman dari si bajingan sok hebat ini bisa berdampak seburuk itu pada tubuhnya.

Brengsek, Jiha tidak suka ini.

Serius, dia tidak suka.

Demi Tuhan! Jiha benci!

"Lolita?" Junseok terkekeh menghina. "Tentang pedofil? Wah... Jiha-sshi, khayalanmu bahaya sekali."

Dari sekian banyak buku kenapa justru yang itu?!

Tangan Jiha berniat merebut, namun sayang kalah cepat dari sorot mata Junseok yang melempar peringatan.

Junseok kesulitan menutupi senyum kurang ajar saat membuka-buka lembaran novel vulgar di tangannya. Dia berdehem sebelum mulai membaca. "Lolita, cahaya hidupku, api ingatanku. Dosaku, jiwaku. Lo-lee-ta... ujung lidah melakukan perjalanan tiga kali menuruni langit-langit mulut." Junseok mempraktekkan ujung lidah naik-turun tiga kali yang sengaja diperlambat dan super dramatis. "Loooo... Leeeee... Taaaa..."

Ekspresi idiot Junseok berhasil mengacak-ngacak dan membanting-banting mood Jiha.

"Please stop." Jiha melotot galak.

"Aku mencium sudut bibirnya dan telinganya yang panas. Sekelompok bintang bersinar terang di atas kami, di antara siluet daun tipis..." Junseok membacanya dengan lagak pembaca puisi, bedanya, ini menggunakan suara dalam yang berat. Seperti pembawa radio tengah malam yang khusus meladeni wanita-wanita haus belaian.

Jiha menunduk malu, secara tidak langsung cowok ini telah menerobos area yang tidak seharusnya dia masuki. Belum saatnya dimasuki. Area terlarang.

"Kakinya yang indah... ekpsresinya setengah senang, setengah sakit..."

Jiha tidak sanggup bernapas. Putingnya, bagian bawah tubuhnya, bahkan kulitnya terasa hipersensitif. Semuanya panas.

"Lututnya yang telanjang menjepit tanganku..."

Jiha menelan ludah. "Kau sengaja memangkasnya 'kan?"

"Diam dulu!"

"Jangan suruh aku diam!" balas Jiha, menahan sensasi menyiksa di antara kedua pahanya, kelaminnya berdenyut-denyut kencang, berdenyut-denyut semakin cepat, nyeri sekali, denyut frustasi. "Kau hanya membaca bagian-bagian yang ingin kau baca! Mana boleh begitu?!"

Tampak tidak peduli, Junseok menyetel tampang ahjussi mesum itu lagi. "Dia menghampiri wajahku. Menggosokkan bibirnya ke bibirku..." Junseok langsung melompat ke halaman tengah, bibirnya bergerak-gerak sedikit membaca setiap kalimat tanpa suara, sesekali mendengus geli. "Jadi, ini tentang hubungan terlarang ayah tiri dan anak tirinya? What a freak," cibir Junseok.

"Itu kenyataan yang sering terjadi di masyrakat," kata Jiha formal seperti anggota dewan. "Karya sastra dibuat tidak hanya sebagai selingan, selalu ada hikmah yang bisa kita petik."

"Oke." Junseok menutup buku itu kemudian mengacungkannya di depan Jiha. "Lalu apa hikmah dari buku semacam ini?"

Jiha merenung sebentar. Menyusun kata-kata di kepala. Tidak akan dia biarkan si panjul ini menang! Lihat senyumnya! Betapa sombongnya! Jiha tidak boleh kalah!

"Lolita..." Jiha memberanikan diri menatap Junseok. "...sebenarnya sering terjadi di keseharian kita. Tentang ego masa muda kita yang sering tidak mempedulikan orang lain. Tentang kesenangan kita yang sering mengorbankan kebahagiaan orang lain. Tentang usaha penebusan kesalahan yang tidak memperbaiki apapun. Dan ya... Lolita memang digambarkan misterius di dalam buku."

"Dia yang kau jadikan panutan?" cibir Junseok.

"Aku belum selesai!" ketus Jiha. "Jadi, menurutku buku ini murni sudut pandang tokoh pria, bagaimana Humbert selalu mengabaikan pikiran-pikiran Lolita demi menenangkan dirinya sendiri. Penggambaran subjektif Lolita yang berat sebelah. Persepsi seorang pria tiga puluhan. Lolita tidak semisterius itu kalau pihak prianya mau lebih mendengarkan."

Jiha kelepasan mereview buku seperti di kelas bahasa. Bodo amat cowok itu tidak mengerti.

"Hmm." Junseok membolak-balik novel di tangannya penuh pertimbangan. "Begitu? Ini bikin kau bernafsu? Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan nonton film porno berdurasi sejam."

"Memangnya kau pernah nonton Lolita?" Jiha tersinggung.

"Kau sudah?" Junseok geleng-geleng. "Ckckckck... dasar perawan!" Dia mendorong tumpukan novel ke pelukan Jiha. "Noona, kalau kau ingin pengalaman, jangan dibayangkan."

"Aku tidak ingin pengalaman!"

Junseok tercengang. "Serius? Kau tidak kepengen menikah?"

"Nanti! Bukan sekarang! Minggir!"

"Hei! Hei! Kalian!" Suara menggelegar Dongwon ssaem mencubit kesadaran. "Sudah puas mesra-mesraannya? Kalian pikir ini terminal?"

Junseok melangkah mundur, tampangnya keruh.

Dengan dagu terangkat, Jiha melenggang cantik, tak lupa menjulurkan lidah panjang-panjang untuk menegaskan betapa payahnya cowok itu serta betapa kuat dirinya bertahan dari godaan.

Junseok menyeringai mesum seperti serigala. "Oh, look at that! Ayo perlihatkan lagi, manisku. My lolita... cahaya hidupku... sayangku... cintaku... api dalam jiwaku. Looo... leee... taaa..."

"Fuck youuu!" teriak Jiha.

"PARK JIHA! Ini bukan pasar!" Gantian Jiha kena semprot. "Taruh kembali novel-novel itu!"

Jiha terhenti di tengah jalan. "Tapi..."

"Kem-ba-li-kan," tuntut Dongwon ssaem tak bisa ditawar lagi.

Sambil menghentakkan kaki karena jengkel, dia jejalkan secara asal-asalan di rak buku. Jiha ngeloyor melewati Dongwon ssaem.

"Jeon, daripada mengikuti perempuan kemana-mana seperti cowok tidak jelas, mending kau bantu Haekyung dan Sojin di belakang."

Junseok belum bergerak juga, hanya bibirnya yang bergerak membentuk seringai pamer gigi.

Dongwon ssaem melangkah pergi sambil geleng-geleng.

Junseok baru bergerak ketika pria itu benar-benar sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Dia jalan santai, berhenti sebentar di rak buku, melirik tumpukan novel yang hampir mau diborong Jiha, tangan lihai Junseok merangkak naik di atas sampul Lolita, disusupkan ke dalam kaos oblong putihnya yang kedodoran, diselipkan ke celana jeans. Matanya melirik waspada, setelah dirasa aman, dia lanjut jalan sambil bersiul-siul.

.

.

.

Air mengalir deras dari keran.

Kedua tangan Namgil berada di bawahnya.

Pemuda itu baru saja menuntaskan panggilan alam di tengah-tengah kesibukan menata buku-buku tebal bersampul keras. Tugas yang lebih melelahkan daripada mengerjakan 10 soal aljabar. Tadinya Namgil kira mereka bakal disuruh mengerjakan soal-soal Matematika dan Fisika sebagai hukuman detensi. Tapi semua guru tahu siapa Kim Namgil, tugas mengerjakan soal perhitungan terlalu mudah, itu bukan hukuman yang sesuai untuk dirinya. Barangkali untuk Junseok, tapi untuk Namgil? Tidak. Namgil harus diberi hukuman yang membosankan seperti duduk-duduk melamun tanpa berbuat apa-apa. Atau sekalian yang menyusahkan seperti mengangkat kardus-kardus berat yang isinya kebanyakan buku-buku hardcover.

Pintu bilik di belakang terbuka. Dongwon keluar dari sana.

Radar murid teladan aktif, Namgil berbagi senyum sopan santun seorang murid kepada guru.

"Gimana? Sudah selesai?" tanya Dongwon sambil membilas tangan di wastafel sebelahnya.

"Apanya, pak? Essai atau buku?"

"Dua-duanya," jawab Dongwon menatap begitu lekat. Dia sering diam-diam mengamati wajah Namgil, entah kenapa, wajah anak ini sungguh mirip mendiang sahabatnya.

"Kalau nulis essai tadi sudah. Kalau buku... anak-anak lagi pada kerja gotong-royong, paling-paling sebentar lagi mereka selesai."

Dongwon masih tidak percaya kenapa Namgil bisa terdampar di gedung ini pada hari Minggu. Sejong memang melaporkan Namgil dan Sojin bermesraan di UKS pada jam pelajaran. Namun Dongwon hanya tidak habis pikir anak-anak berprestasi seperti mereka juga senang menyelinap keluar.

"Menurutmu, kinerja saya sebagai guru selama ini gimana?" Dongwon mendadak penasaran. "Katanya banyak yang tidak suka terhadap cara saya menerapkan kedisiplinan."

Namgil agak bingung tiba-tiba ditanya begitu.

"Mau kejujuran atau saya puji-puji, pak?"

"Kejujuran."

"Kalau menurut saya, ketegasan bapak yang membuat bapak disegani, tapi dalam artian positif. Anak-anak yang salah dan pembangkang akan menghindari bapak karena bapak benar. Teruskan pak! Tapi mereka takut bukan berarti mereka membenci bapak. Mereka hanya takut dihadapkan pada kenyataan dan kebenaran. Mayoritas orang memilih menghindar. Jangan pernah takut dan ragu, pak! Buat kami jadi lebih baik lagi." Namgil begitu menggebu-gebu mirip orang pidato di hari kemerdekaan. "Mohon bimbingan serta arahan dari bapak untuk kebaikan kami."

Dongwon  tercengang sesaat, kemudian geleng-geleng sambil senyam-senyum.

"Eh, bapak ternyata manis juga kalau senyum, sekali-sekali senyum gitu dong, biar anak-anak lain lihat bapak nggak ketakutan terus," seloroh Namgil. "Tuh! Anda dapat dua-duanya dari saya, kejujuran dan pujian. Gimana perasaan bapak?"

Dongwon terkekeh pelan. Bocah ini bisa saja.

"Pak, waktu jaman sekolah dulu, memangnya bapak membayangkan diri bapak sebagai guru?"

Dongwon menarik gulungan tisu, kemudian menyeka tangannya. "Aku justru ingin menjadi penyanyi seperti John Lennon. Kritis, berani mengungkapkan pendapat, kharismatik, berusaha mengubah dunia dengan caranya sendiri, menentang para penguasa yang bersikap semena-mena. Lalu setelah bertemu Jisoo-"

"Jisoo?" Namgil bengong.

"Dia sahabatku. Dia merubah sudut pandangku, dia membuatku ingin menjadi guru. Meski kita semua tahu, menjadi guru banyak tantangannya."

"Di semua pekerjaan ada pressure dan tantangannya," kata Namgil.

"Ya, tapi menjadi guru berbeda. Aku sudah mengajar selama 20 tahun, dan setiap tahun, anak-anak yang kuawasi semakin lama semakin arogan." Dongwon menghela napas sambil menatap ke atas. Merenungkan pilihan hidupnya saat ini. "Kalian dengan ego kalian sering mengaduk-aduk emosi saya. Banyak yang menganggap saya sebagai lelucon."

"Jadi bapak ingin menyerah?"

"Berkali-kali, saya sebenarnya ingin mengundurkan diri. Lalu setelah saya pikir-pikir lagi, kalau saya mundur, yang rugi bukan saya, tapi anak-anak ini. Ke depannya, umur saya semakin bertambah, kalian akan menjadi bagian dari pemerintahan, kalian yang mengambil alih dunia. Ini yang membuat saya terbangun setiap malam, perasaan seperti ini. Ketika saya beranjak tua, saya ingin kalian menjaga saya. Giliran kalian yang merubah dunia."

Namgil menampakkan senyum getir menatap wajah Dongwon yang dipenuhi dengan harapan. "Pak, saya paham niat bapak bagus, tapi sebaiknya jalani saja yang ada sekarang. Jangan terlalu memikirkan bagaimana kami di masa depan. Kami kelak punya jalan masing-masing, mungkin sekarang kami bersikap apatis, tapi saya yakin suatu saat bapak akan bangga."

Dongwon merasa seperti tiga puluh tahun yang lalu. Duduk-duduk di atap sekolah, kaki telanjang mereka diterpa angin. Dan sahabatnya memberi wejangan untuk membuatnya bersemangat. Saat itu mereka sama-sama gagal lulus di kelas aljabar.

Jisoo benci aljabar. Tapi anak yang wajahnya mirip Jisoo ini juara olimpiade.

"Makanya, pak. Jangan mau kalah sama kami-kami yang keras kepala ini."

Dongwon lagi-lagi menghela napas, mati-matian terlihat tegar dan tidak suka menangis.

"Besok adalah peringatan hari kematian Jisoo dan korban-korban lainnya."

"Eh..." Namgil baru ngeh. "Teman bapak juga-"

"Ya." Dongwon mengangguk lesu.

"Maaf pak.. saya tidak tahu." Namgil menampakkan ekspresi menyesal.

"Tidak apa-apa."

"Terus satu lagi gimana, pak? Sudah tertangkap?" Namgil memang pernah mendengar desas-desus yang beredar tentang tiga pria bersenjata. Dua orang berhasil ditangkap. Dua orang ini, yang memang wajahnya mirip, kembar identik, menolak mengakui dimana keberadaan adik bungsu mereka. Mereka juga menolak mengakui saat ditanya apakah mereka bekerja sendiri atau ada orang lain yang mengutus mereka. Tetap bungkam sampai pada saat eksekusi tiba, dua bersaudara ini bersikeras menolak mengungkap informasi sedikitpun.

Dongwon menggeleng putus asa, "Nihil. Polisi menutup kasusnya begitu saja dan membiarkannya terlupakan. Tapi orang bodoh macam apa yang bisa melupakan pembunuhan massal di sekolah? Cerita itu masih hangat dibicarakan dari mulut ke mulut. Persatuan orang tua murid menyarankan siswa diajari karate, cara bertahan dari serangan teroris, dan kursus menembak."

Namgil manggut-manggut. "Itu sebabnya kami dapat di semester satu kelas satu."

Serius. Malahan, setiap bulan, alarm tanda bahaya selalu dibunyikan. Murid-murid diberi simulasi bagaimana caranya jika terjadi musibah atau bencana alam. Para pelatih yang merupakan prajurit-prajurit berseragam asli datang melatih mereka di gedung. Simulasi bencana gempa, kebakaran, serangan teroris, mereka diberi tahu trik-trik untuk bersembunyi dan bertahan hidup. Serta bagaimana mengelabui penjahat. Untuk murid-murid perempuan, setiap hari Senin ada polisi-polisi wanita yang datang untuk memberi kursus kilat bela diri.

"Yap." Dongwon mengangguk. "Itu sebabnya, untuk membuat kalian lebih berguna sedikit. Bukan cuma teriak dan pasrah."

Namgil bergidik membayangkannya.

"Jujur, hari ini saya sebenarnya malas menjadi guru jaga, karena besok bertepatan dengan hari berkabung. Tahun lalu juga begitu, setiap bulan Mei saya selalu minta ada satu minggu khusus yang dikosongkan. Jangan ada waktu detensi dulu. Ternyata kepala sekolah tetap ngotot minggu ini."

Otak kritis Namgil bergerak cepat mengolah informasi. Namgil ingin bertanya kenapa, takutnya malah menyinggung bagian yang sensitif.

"Pak, selama jadi guru jaga di sekolah ini sering mengalami kejadian-kejadian aneh nggak?"

Dongwon mengedikkan bahu. "Sering, guru-guru lain juga begitu, tapi..."

"Tapi apa?"

Pria itu tampak melamun, lalu menggeleng. "Tidak, tidak apa-apa."

Keluar dari toilet, mereka berbelok ke kiri, menapaki anak-anak tangga berdebu menuju lantai atas, menyusuri lorong panjang lagi, jalan bersisian.

Namgil menghentikan langkah ketika mendengar suara di belakang mereka.

Langkah kaki?

Dongwon mendengarnya juga. Dia menoleh.

Tak ada siapa-siapa.

Mereka jalan beberapa langkah lagi. Dan kembali mendengar suara langkah pelan.

Mereka berhenti, pasang telinga.

Ada suara langkah kaki. Kini lebih dekat.

Namgil menoleh dan berbalik ke belakang.

"Jalan terus, jangan diperhatikan," Dongwon berbisik memberitahu Namgil.

Mereka berjalan lebih jauh menyusuri koridor suram itu.

"Seram," bisik Namgil merinding

"Tenang," ujar Dongwon seraya meletakkan tangannya di bahu Namgil. "Jalan saja. Tak ada siapa-siapa di sini."

"Tapi aku mendengar—" Namgil bersikeras.

"Jalan saja!" Dongwon mendorongnya pelan.

Sebelum Namgil sempat menjawab, mereka mendengar suara perempuan tertawa.

Pelan. Samar, seolah tawa itu datang dari jauh.

Suara Namgil tercekat di tenggorokan. "Bapak dengar yang barusan?"

Dongwon mengangguk, matanya terbelalak, namun masih sanggup mengendalikan diri.

Mereka mulai berjalan lebih cepat, seolah-olah berusaha meninggalkan apa pun yang membuntuti mereka.

Semakin mereka jalan, suara tawa perempuan yang melengking dan terdengar gila itu semakin keras, terpantulkan oleh dinding, seolah membuntuti mereka kemana-mana.

Begitu berbelok, mereka mendengar suara orang mengobrol riuh. Lalu suara tawa, kali ini lebih banyak, lebih ramai, lebih berisik.

Namgil menudingkan jemarinya. "Datangnya dari kelas itu!"

Dilihatnya Dongwon bimbang.

Dia ketakutan, Namgil tersadar. Tapi dia tak bisa menunjukkannya.

Namgil mengikuti Dongwon mendekat ke pintu kelas. Mereka bisa mendengar suara-suara tadi datangnya dari ruangan itu.

Dongwon menarik napas dalam-dalam, kemudian mendorong pintu hingga terbuka dengan gerakan hati-hati dan waspada.

Mereka sama-sama melongokkan kepala ke dalam. Ruang itu gelap. Kosong. Bangku-bangku disusun terbalik di atas meja.

Tak ada siapa-siapa di sana. Sama sekali.

Namgil keringat dingin, telapak tangannya mulai basah.

Mereka sama-sama menahan napas saat mendengar tawa melengking dari ruang sebelah.

Dongwon berlari mendatangi sumber suara dan tiba lebih dulu. Didorongnya pintu hingga terbuka.

Lagi-lagi hening.

Tak ada siapa-siapa di dalam sini.

Dongwon menutupnya kembali, lalu menoleh menatap Namgil yang pucat, memeluk lengannya sendiri, tidak sanggup berkata-kata.

"Ayo jalan," ucap Dongwon. "Kali ini tidak usah dipedulikan."

.

.

.

Foto cewek manis berlesung pipi dibalik kaca menarik perhatian Yoohan. Dia mendekat ke lemari kayu dimana di dalamnya terdapat deretan piagam penghargaan serta piala-piala dan kalung medali. Oleh-oleh para murid berprestasi dari tahun ke tahun.

Yoohan mulai membaca tulisan hitam yang tertera di bagian bawah bingkai. "Beasiswa Musik Mengenang Oh Jeongyeon, tahun 1985..." gumamnya. "Oh Jeongyeon?"

Jiha berdiri di sebelah cowok itu. "Dia murid yang kabarnya dibully oleh satu sekolah."

"Satu sekolah?" Yoohan melotot. "Secantik ini dibully?"

Sumpah, Yoohan benar-benar tidak habis pikir.

Cewek manis itu memegang flute, meskipun pakaiannya ketinggalan zaman, gadis itu tidak berdandan dengan gaya kuno yang sejak tadi menjadi bahan tertawaan mereka. Rambutnya ditata dalam dua kepang panjang dan tebal, tidak ada kacamata, kulitnya putih susu, badannya kurus, tulang jemarinya bertonjolan, pergelangan tangannya mungil dan rapuh. Dia menempelkan flute ke bibirnya dan jelas sedang memainkan alat itu, atau pura-pura memainkannya, matanya menatap ke kiri. Oh Jeongyeon memakai sweater kardigan yang dikancing sampai ke atas serta rok lipit panjang yang terlihat usang seperti pakaian bekas.

"Dalam kenangan," gumam Yoohan. "Kenapa dia dibully? Gimana ceritanya bisa sampai dibully?"

Yoohan bertanya pada orang yang tepat. Miss Informasi merasa terhormat untuk menjelaskan. "Jadi korban bully sekelas sama cewek itu, sebenarnya dia meninggal karena penyakit, bukan karena dijahati, dan katanya setelah Oh Jeongyeon meninggal suasana di sekolah berubah jadi aneh, apalagi itu menjelang ujian nasional. Yang menindas dia bukan cuma sekelas atau seangkatan, tapi satu sekolah, nah para pembully ini sepertinya diserang kecemasan dan ketakutan. Mereka jadi lebih kalem, kayak tobat berjamaah gitu. Setelah itu, kabarnya, tidak ada yang pernah membahas Oh Jeongyeon, topik tentang dia selalu jadi sesuatu yang sensitif untuk dibicarakan."

"Kenapa begitu?"

"Dengar-dengar pernah ada anak baru yang membicarakannya, anak baru yang penasaran ini besoknya jatuh sakit selama seminggu."

Yoohan mengernyit. "Jadi setelah ini aku bakal jatuh sakit?"

"Shhhh!" Jiha menyikut lengan cowok itu. "Jangan ngomong gitu!"

"Oke, lalu kenapa dia ditindas?" tanya Yoohan.

"Karena dia kurus seperti penderita anorexia? Aku tidak tahu, kabarnya simpang-siur, ada juga yang bilang si ketua geng bully ini jealous gara-gara cowok yang dia suka lebih memilih Oh Jeongyeon yang jenius musik. Ya... menurutku wajar sih posesif sama sahabat, cuma memang dasarnya murid-murid tukang bully ini selalu punya alasan untuk membuat almarhumah menderita."

Yoohan meringis. "Memangnya yang menindas dia sebagus apa?"

Jiha mengedikkan bahu. "Aku cuma tahu sedikit, mereka anak geng famous yang anggotanya anak-anak beken setiap angkatan."

Junseok berdiri di belakang Jiha, deru napasnya menyapu puncak kepala cewek itu.

Orang itu suka bikin kaget.

"Sudah kubilang jangan tiba-tiba muncul!" desis Jiha sambil menoleh.

Junseok mengeluarkan novel Lolita dari balik kaos oblongnya. Kedua mata Jiha membulat takjub. "Eh! Itu kan-"

"Ssst." Junseok menyelipkannya kembali dalam kaos sambil mengedipkan mata. "Jangan berisik! Kusimpankan untukmu."

Yoohan ngeluyur pergi sambil memutar mata, seperti biasa: Not my business.

Entah Jiha harus tertawa atau menangis terharu. "Kau itu ya... pertama sekrup, sekarang novel vulgar."

"Novel vulgar kesukaanmu," ucap Junseok mengamati deretan piala dalam lemari. "Aku ingin kita membacanya bersama di kamarmu nanti malam."

"HAH?" Jiha shock.

Lalu dengan brengseknya si kampret nyengir. "Bercanda. Loo... lee... taaa..." Dia melotot seperti ikan piranha.

Jiha meninju-ninju lengan keras Junseok. Tidak sakit, tentu saja. Tinjuan imut nan manja Jiha tidak menimbulkan efek di kulit lengan, justru berdampak pada kesehatan jantung. Junseok cuma senyam-senyum.

Sungguh ajaib, dalam waktu kurang dari 24 jam hubungan mereka sudah sedekat itu.

Dongwon masuk bersama Namgil yang masih kelihatan trauma.

"Kalau sudah selesai silahkan kembali ke perpustakaan yang tadi," pria itu menatap ke sekeliling ruangan. "Kalian sudah boleh pulang."

Para bocah bersorak kegirangan.

Hanya Taera yang menyadari perubahan sikap Namgil.

"Kau kenapa?"

Cowok itu bergidik. "Seumur hidup sekolah di sini baru sekarang aku membuktikan langsung seperti apa sensasinya."

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!