Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipertenlove~ Bab 9
Amih Sekar Taji
Neng, dimana? Kenapa belum pulang?!
Dan pesan itu tak terdengar oleh Sasi apalagi dibaca, mengingat deru mesin motor dan bisingnya jalanan.
Faktanya, sore ini Sasi masih menyusuri jalanan kota Bandung bersama Bagaskara, menuju studio musik.
Tidak semewah studio musiknya para artis yang ampe bertingkat-tingkat sekaligus banyak fasilitas hidup di dalamnya, tapi lumayan lah daripada engga ada. Ditambah, tempat ini pula lah yang menjadi saksi bisu bertumbuhnya band kecil Bagas.
Dari kejauhan saja, sudah dapat Sasi lihat segerombol lelaki yang bercengkrama seraya nyemilin kacang rebus bersama bandrek dan batangan tembakau, yaaa...meskipun ngga nyambung antara bandrek dan ro kok. Persis se-engga nyambung, tujuan ke Cibaduyut naek angkotnya ke Korea.
Semakin dekat, matanya langsung waspada dan melihat mereka satu persatu. Tak jauh seperti circle kang Alva yang isinya alien jejadian semua, meskipun yaaa---tampilan mereka sedikit lebih oke, hanya nyempil satu dua orang yang lebih udzur disana.
Dan mata Sasi jatuh pada Deva, dimana ia juga merupakan mahasiswa perguruan tinggi di Bandung meski tak satu kampus dengan Bagas.
Kemeja navy coraknya menambah kesan cool namun manis di diri lelaki itu. Giginya dipager persis halaman rumah pak raden, katanya sih biar giginya ngga lari kemana-mana. Point manis untuk cowok satu itu. Nyatanya, di dunia ini... yang manis bukan cuma teh, tapi ada aa juga, acikiwirrr!!
"Weyyyy, Gas!" seru mereka saat moncong motor Bagas berhasil masuk ke dalam halaman.
Hingga tak lama, mereka sadar dengan kehadiran Sasi di boncengan belakang Bagas.
"Saha, euy? Kabogoh?" (siapa, nih? Pacar?)
"Eh, Sasi ya...." tebak Deva yang pernah bertemu dengannya di rumah Bagas. Senyum Sasi melebar manakala melihat Deva, sosok si aa manis buatan dalam negri itu.
"Wah, anak SMA sekarang mah mainannya..." cibir lainnya.
Bagas hanya mendengus terkekeh, namun Sasi langsung menjawab dan meralatnya, "bukan kang. Sasi adeknya a Bagas..." jelasnya polos sembari membetulkan tali tas di pundak, ia juga menarik-narik rok seragamnya agar tak mengundang suitan mesum dari para lelaki itu. Bagaimana pun seluruh inci badannya bukan untuk disedekahkan.
Kang Apox dan yang lain terkekeh tanpa suara sembari menggeleng, cukup dibuat surprise dengan alur hidup Tuhan yang bisa se-emejing ini, Bagas yang terkenal anti bawa-bawa cewek pas nongkrong justru bawa adek. Itu artinya, baru Sasi lah yang punya power sehingga Bagas pun mengesampingkan prinsip hidupnya.
"Lebih tepatnya adeknya teh Asmi." Jelas Sasi singkat, sebagai penegas jika ia tak mau disamakan dengan cabe-cabean peliharaan Bagas, atau cewek bo doh yang mau-maunya dikadalin si buaya satu ini.
Seolah kontras dengan pengakuan Sasi, Bagas cukup overprotektif pada Sasi. Tak tangung-tanggung, Bagas benar-benar menggenggam pergelangan tangan Sasi dan menyembunyikannya di belakang, seolah ia menyimpan Sasi untuk dirinya sendiri, membawa Sasi berjalan tepat menempel di belakang badannya sebagai kode keras untuk lalat lain untuk ---jangan pernah berani mengganggu Sasi--
"Mau nunggu dimana, jangan jauh-jauh...kalo kamu ilang, nanti leher aa yang ditebas apih sama amih kamu..." ujarnya.
Dan Kang Apox justru dibuat canggung dengan interaksi Bagas pada Sasi yang perhatiannya berlebihan itu, sesekali ia menahan kedutan di bibirnya agar tak semakin melebar.
"Biarin atuh Gas, biar si dedek maen, liar, jarambah..." cibirnya mengundang tawa yang lain. (jarambah: mainnya jauh)
"Anak menak kang, lecet sedikit wahhhh! Imah urang digusur pemerintah atuh..." balas Bagas tak kalah memancing tawa mereka, Sasi yang merasa dirinya dijadikan bahan bullyan Bagas dan kawan-kawan mendaratkan pukulannya di punggung Bagas keras hingga kembali mereka tertawa. (imah urang \=rumah saya)
"Saravv." Umpat kang Apox.
"Jangan ikut duduk disini, pada lagi ngero kok." Ujar Bagas, dan Sasi menurut dengan kembali duduk di atas motor Bagas saja. Untuk selanjutnya mereka masuk ke dalam untuk cek otot tangan dan mulut di dalam, barang satu lagi dua lagu. Dan Bagas memanggil Sasi untuk ikut masuk dan memilih duduk di salah satu pojokan bersama dengan tas ransel Bagas, "jagain. Ada janda kembang di dalemnya..." ia terkekeh demi melihat respon Sasi yang menatapnya horor lalu mencebik, "dasar ngga waras."
Ruangan dengan bahan kedap suara ciri khas studio musik membuat suara di dalamnya tak sampai bocor begitu keras ke luar.
Sasi duduk di kursi bulat beraksen kayu dan menjadi penonton gratis band ini latihan. Namun sungguh ia tak terlalu excited atau terpukau melihatnya. Sebab sudah sering ia bertemu dan mendengar mereka bermain.
Gadis itu justru lebih memilih mainan ponselnya meski sesekali memperhatikan behind the scenes-nya band ini, yang terkadang suara Bagas hanya check sound saja, ber-improvisasi menemukan nada yang tepat dan beradu argumen, terkadang juga berembuk bersama kang Apox yang ikut bergabung memberikan suara serta pendapatnya.
Deva yang bertindak sebagai bassist duduk sejenak untuk beristirahat, dan mau tak mau ia duduk di samping Sasi, lebih tepatnya melantai di bawah karena kursi satu-satunya yang nganggur selain dari kursi drummer dan vokalis ya...yang ditempati Sasi.
"Eh, a...disini aja atuh---" Sasi bersedia beranjak, jangan sampai kedatangannya itu justru mengusik dan membuat risih para personel band Bagas, sesuai perjanjiannya di awal.
"Eh engga, sok aja Sasi yang duduk disitu. Udah lah... ini mah udah biasa duduk di bawah." Ujarnya enteng menepis udara.
Dan Sasi tersenyum tipis atas respon be hero-nya Deva. Namun alih-alih membiarkan itu terjadi, Sasi justru ikut duduk melantai membiarkan kursi disana terisi tas saja.
"Eh, kenapa malah ikut di lantai, jangan atuh...Sasi itu pakai rok, nanti kotor, ada semut nakal gigit."
Sasi menggeleng, "ngga apa-apa, a. Justru kalo di atas----" Sasi meringis bukan ia yang kepedean namun akan beresiko Deva memandang pa ha dalamnya. Tidak! Ia tak mau begitu.
Deva paham apa yang ditakuti Sasi, dan sejurus kemudian ikut tertawa.
"Aduhhh, jangan ketawa a!" ujarnya berseloroh.
"Kenapa gitu? Behelnya copot ya? Atau ada yang nyangkut?" Deva langsung mengatupkan mulutnya dan terlihat di balik mulutnya lidah Deva mengecek satu persatu gigi dan pagarnya barangkali ada kotoran, sisa makanan, kukit cabe, dosa koruptor atau ca wattt b4n cii yang nyangkut.
Sasi tertawa melihat hal polos itu, aaaa! A Deva meni lucu! Gigit Sasi atuh, aaaaa!
"Engga." Sasi menggeleng, "ternyata bukan cuma gula aja yang bikin diabetes teh, ya....tapi aa kalo ketawa juga bikin giung (manis keterlaluan)...." godanya tertawa renyah dibalas tawa serupa oleh Deva, "kamu mah...bahaya!" ujarnya mencibir Sasi si bocah penggombal itu. Kayanya Sasi kebanyakan gaul sama Bagas, jadi ketularan suhu!
"Apanya yang bahaya?" tanya Sasi bertanya, bermaksud ingin tau apakah Deva pun bisa se-mengalir itu dengannya?
"Bahaya. Bikin jantung meleleh----" jawab Deva mengundang kekehan Sasi.
Sasi memang tipe anak yang gampang akrab dengan orang lain, bahkan bukan akrab lagi, Deva merasa...Sasi memiliki spek yang diakuinya cocok buat jadi pacar, ia bisa mengimbangi siapapun lelaki dan mampu mencairkan suasana, terkesan menghibur di kala lelah menjelang.
Mendengar tawa Sasi dan Deva di sudut sana, tak bisa untuk tak mengacaukan fokus Bagas, karena nyatanya saat ini penampakan yang terpampang di depan sana adalah Deva dan Sasi yang sudah mengobrol hangat, bertanya biodata masing-masing hingga berlanjut pada keseruan aktivitas sehari-hari satu sama lain.
"Kuliah tuh, ada suka dukanya....suka, sebab euforia jadi mahasiswa barunya-nya masih kerasa sampe seminggu lah....tapi dukanya ya nangis-nangis karena pusingnya 4 tahun." Angguk Deva tertawa bersama Sasi.
Ck! Bagas berdecak kesal. Hawa panas menyerangnya, bukan karena ruangan kedap suara yang di dalamnya ada AC, namun sumber terbesar adalah di depan sana.
"Oke, kang. Siap ntar aja dulu itu mah lah...gampang." Pungkas Bagas kini sudah melangkah ke arah kedua sejoli yang tengah ketawa-tiwi sambil ngobrol santai.
"Jangan di denger Dev, bahaya...bisa ke-ghosting sama nih bocah mah, apalagi kalo ngga kuat iman..." tiba-tiba suara sumbang Bagas ikut bergabung diantara obrolan yang telah mengalir hangat persis air ketuban.
Wajah Sasi berubah malas dan sewot saat Bagas justru ikut melantai di sampingnya dan menaruh tangan di tumpukan jaket Bagas di pangkuan Sasi.
"Aa ngapain juga gabung disini. Ah, ganggu." Hardiknya merutuki.
"Dia mah kecil-kecil udah jadi mamahnya buaya, bahaya." Cibir Bagas lagi, seolah mewanti-wanti Deva untuk tak dekat-dekat dengan Sasi, apalagi termakan gombalannya.
Dan tawa Deva tak pernah luntur ketika Sasi sewot membalas Bagas, sesekali ia juga menyarangkan tepukan dan pukulannya di lengan, ke bahu Bagas.
"Sebentar lagi naik jadi mahasiswa, banyak korbannya gera..." ujar Deva sama halnya Bagas.
"Aslinya!" angguk Bagas setuju dan sontak tak disetujui Sasi, "ih! Engga gitu, Sasi mah becanda!"
"Mau masuk kampus mana, Si?" tanya Deva serius ingin tau hanya saja diiringi senyuman.
"Maunya mah sih ke---"
"Dia mah mau langsung nikah cenah, da." potong Bagas yang kembali memancing pukulan Sasi. (katanya)
"Ih engga!" teriaknya melayangkan kepalan tangan di udara dan mendarat mencubit pa ha Bagas yang untungnya terlapisi celana jeans.
"Aa aja dulu yang banyak pacarnya." tuduh Sasi kemudian.
"A Bagas..." Suara Sasi beradu dengan angin jalanan, waktu sudah menunjukan hari yang semakin tergelincir ke petang. Bahkan sudah hampir magrib.
"Apa?"
"Mau minta nomornya a Deva lah...mau nanya-nanya soal kampus Obor Kujang..." alibinya bertanya, tentu saja Bagas tau pertanyaan ini hanyalah topeng, demi menutupi tujuan sebenarnya. Jelas, karena Bagas adalah suhunya dalam hal begini.
Ia berdecih dengan dengusan sumbang, "ngga ah. Tau da aa juga.. Kamu mah mau pedekate sama Deva, bukan nanya-nanya kampus. Bisa wae kembang peuteuy (pete)!" cibir Bagas membuat Sasi merengut, "ih, beneran A, Sasi pengen masuk ke sana nanti."
"Masih lama, Si. Kamunya aja masih kelas XI...jangan obor kujang atuh, kan kata apih sama amih minimalnya sama kaya teh Asmi...atau mau di kampus aa? Nanti kan lebih gampang kalo ada apa-apa..."
"Engga mau ah. Pengen yang beda..." tolaknya. "Ya biarin atuh. Nanya mah bebas, biar ada persiapan...mesti nyiapin apa aja, gimana alur buat camaba atau ospeknya, seenggaknya nanti ada senior yang kenal, biar gampang pas ngerjain tugas ospeknya." Badass! Alasan si anak buaya itu begitu masuk akal, namun sayangnya Bagas begitu pelit untuk sekedar memberikan nomor Deva. Ia menggeleng, "nanti aja."
Kecewa, tau akan begini tadi ia minta sendiri pas di studio.
"Pelit!" umpat Sasi melepaskan pegangannya di pinggang Bagas.
.
.
.
.
.
sainganmu berat a'...banyak lg yg kesemsem ama si neng...bukan wilang lagi yg udah sedari piyik memendam rasa ada jg tuh si akang surya kembara jg.... hmmm lika liku buat ngedapetin si eneng agaknya susah nie a"klo emang kmu dah sadar ama perasaanmu buat si neng....siap siap ajalah a"...😊
mb sin kebanyakan nongolin walang sihhh
gantung yeuh, pengin tau ketemuan mereka di rumah Alva
sugan Weh Aya selegit2 setrum diantara keduanya🤭😅
sedih aku kalau ingat kamu Lang, tapi mohon maaf, restu aku sudah kuberikan pada a' Bagas. kamu sama yang lain aja ya 🙏🙏🙏
haturnuhun updatenya teh Sin, semoga selalu sehat dan dilancarkan urusannya 🤲🤲😇