NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masuk Sekolah

Pagi hari dimulai bahkan sebelum matahari terbit sempurna. Suara pertama yang memecah keheningan kamar Zoya bukanlah kicau burung, melainkan nada dering K-Pop ceria yang disetel dengan volume maksimal.

DRRRTTT— "Ring ding dong, ring ding dong, ring digi-digi-ring-ding-dong..."

Bram, yang tidak pernah benar-benar tidur nyenyak, membuka matanya seketika. Tubuhnya menegang, naluri membunuhnya langsung siaga satu, mencari sumber ancaman dari suara memekakkan telinga itu.

"Hnggghh..."

Ancaman itu ternyata adalah Zoya.

Gadis itu menggeliat di kasur lipatnya di lantai, tangannya meraba-raba nakas di sebelahnya, berusaha mematikan alarm ponsel. Setelah tiga kali gagal dan hampir menjatuhkan lampu meja, ia berhasil membungkamnya.

Hening…

Selama beberapa detik, satu-satunya suara adalah nafas mereka. Bram masih menatap tajam ke arah gundukan selimut di lantai.

Tiba-tiba, gundukan itu menyibak. Zoya duduk, rambutnya mencuat ke segala arah seperti sarang burung yang baru diterpa badai. Matanya masih setengah terpejam.

Hal pertama yang ia lakukan adalah menoleh ke arah ranjang.

"Hoaaahmm... Pagi, Pak," gumamnya, suaranya serak khas orang baru bangun tidur. "Masih hidup, kan?"

Bram tidak menjawab. Ia hanya menatap dingin.

Zoya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Oke, masih hidup."

Ia berdiri, meregangkan tubuhnya dengan suara 'krek' pelan, lalu beringsut pelan ke arah ranjang. Tanpa izin, ia menempelkan punggung tangannya ke dahi Bram.

Refleks Bram adalah mematahkan pergelangan tangan itu, tapi ia terlalu lemas, dan sentuhan itu anehnya terasa... nyaman. Tidak mengancam.

"Hmm, udah nggak panas. Bagus," Zoya menarik kesimpulan. "Bapak tunggu sini, jangan ke mana-mana. Zoya mau mandi dulu. Hari ini Zoya harus sekolah."

Bram hanya mendengus pelan. 'Memangnya aku bisa ke mana?' batinnya sarkastis.

Zoya menyambar handuk bergambar beruang kartun dan menghilang di balik pintu kamar mandi, meninggalkannya dalam keheningan yang familiar. Bram memejamkan mata, mencoba menikmati momen damai itu. Ia mendengar suara Bi Inem di dapur, gemerincing panci dan aroma bubur ayam yang samar-samar tercium. Ini adalah pemandangan domestik yang begitu asing baginya.

Sepuluh menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Zoya keluar, sudah segar, meski wajahnya cemberut.

Zoya menghentak hentakan kakinya menuju pintu kamar, lalu membukanya dengan kasar. "Biii! Zoya nggak mau sekolah, ah!" teriaknya dari arah pintu.

"SEKOLAH! ATAU UANG JAJAN BIBI POTONG SEBULAN!" suara Bi Inem dari lantai bawah, tak kalah kencang.

"IYA, IYA!" Zoya menggerutu.

Bram memperhatikannya dalam diam. Gadis itu mulai memakai seragam putih abu-abunya dengan gerakan cepat dan sedikit asal-asalan. Kemejanya dimasukkan, tapi bagian belakangnya sedikit keluar. Ia menyisir rambutnya dengan jari, lalu mengikatnya asal-asalan menjadi kuncir kuda.

Transformasi dari 'gremlin' berpiyama menjadi seorang siswi SMA yang... normal... selesai dalam tiga menit.

"Duh, gimana ya," gumam Zoya sambil mondar-mandir cemas. "Kalo Bapak tiba-tiba kebelet pipis gimana? Kalo Bapak jatoh lagi? Kalo Bapak... mati?"

Bram memutar bola matanya.

"Nanti Zoya masuk penjara," lanjut gadis itu, lebih khawatir pada polisi daripada nyawa Bram.

Ia berhenti mondar-mandir, matanya memindai kamarnya yang berantakan. Ia seperti mencari sesuatu. Matanya tertuju pada sebuah kotak mainan bekas di bawah meja belajarnya.

"Aha!"

Zoya berjongkok, mengaduk-aduk isi kotak itu, mengeluarkan boneka tanpa kepala dan beberapa mobil-mobilan rusak, sebelum akhirnya menemukan apa yang ia cari.

Bram menatapnya, bertanya-tanya apa lagi ide gila yang ada di kepala bocah itu.

Wajah cemberut Zoya langsung cerah. Menemukan sepasang walkie-talkie mainan berwarna biru pudar. Ia meniup debu di atasnya, mengotak-atik tombolnya, dan benda itu berbunyi krrzztt pelan. Baterainya masih ada.

Zoya mengangkat salah satu walkie-talkie itu. "Nih!" Zoya melemparnya ke arah Bram.

"Itu punya Zoya waktu kecil. Masih nyala. Bi Inem kan di bawah terus, di dapur atau di warung. Kalo Bapak butuh apa-apa, atau kalo ada yang aneh-aneh, Bapak panggil aja," jelas Zoya sambil memakai sepatu sekolahnya.

Bram menatap walkie-talkie itu dengan pandangan jijik. Dari pembunuh bayaran profesional menjadi pasien yang memakan popcorn, kini ia harus menggunakan mainan anak-anak untuk komunikasi. Harga dirinya benar-benar hancur lebur.

"Saya nggak butuh ini," tolak Bram.

"Butuh! Pokoknya butuh!" paksa Zoya. "Nanti kalo Bapak pingsan lagi gimana? Masa saya harus nyeret Bapak dari kamar mandi lagi? Berat tau!"

Ia kemudian berbalik badan, berdiri di ambang pintu kamarnya, ia sudah rapi menurut versinya, dengan seragam putih abu-abu dan rambut kuncir kudanya. Tak lupa menaruh tasnya di punggung.

"Zoya tinggal, ya. Di meja ada air minum sama roti. Jangan banyak gerak. Jangan nonton TV kenceng-kenceng. Jangan mati!"

Setelah rentetan perintah itu, Zoya berlari keluar kamar, menuruni tangga sambil berteriak, "Biii! Zoya berangkat!"

Pintu rumah ditutup. Keheningan total menyelimuti kamar.

Bram memejamkan matanya, menikmati ketenangan yang sudah lama ia rindukan. Tidak ada ocehan Zoya, tidak ada drama Korea, tidak ada…

KRRRZZZTTT…

Walkie-talkie di tangannya berbunyi.

"Pak Genderuwo... Pak Genderuwo... Roger... Ganti!" Suara Zoya terdengar, penuh statik.

Bram membuka matanya, menahan keinginan untuk melempar mainan itu ke dinding.

"Bapak denger Zoya, kan? Tadi Zoya lupa. Jangan lupa minum obatnya! Ada di samping gelas! Over and out!"

KRRZZZTT... Hening.

Bram menghela nafas panjang. Ia menatap walkie-talkie biru di tangannya, lalu ke pergelangan tangannya yang diperban.

Mungkin, neraka kecil yang berisik ini tidak seburuk itu. Setidaknya, neraka ini memastikan dia tetap hidup.

...***...

Gerbang sekolah hampir ditutup saat Zoya melompat turun dari ojek dengan cengiran lebar, dan melesat masuk dengan nafas terengah-engah. Penjaga sekolah, Pak Udin, hanya menggelengkan kepala melihat Zoya yang berlari sambil merapikan kuncir kudanya yang sudah miring.

"PAGI, PAK UDIN!" sapanya ceria luar biasa.

​"Empat hari absen, sekalinya masuk telat, Neng Zoya!" tegur Pak Udin. “Bisulnya udah pecah, Neng?”

"Udah, Pak! Pecahnya indah banget, kayak kembang api! Ini lagi masa nifas," balas Zoya asal, lalu berlari kecil menyusuri koridor.

Pikirannya tidak di pelajaran. Pikirannya ada di walkie-talkie biru di dalam tasnya. Membayangkan hal jahil yang akan dilakukan pada pria yang sedang mendekam di kamarnya. Ia merasa pria kaku itu pasti sedang bosan setengah mati sendirian di kamar. Dan Zoya, sebagai "sipir penjara" yang baik, merasa berkewajiban memberi sedikit hiburan.

Sesampainya di depan kelas Zoya menerobos masuk ke kelas XI IPA 3 yang sudah ramai.

"SELAMAT PAGIIII, RAKYAT JELATA IPA TIGA! RATU KALIAN TELAH KEMBALI DARI PERTAPAAN!"

Satu kelas menoleh. Dandi yang sedang menyalin PR langsung bersorak.

"WEEEE! SANG RATU BISUL AKHIRNYA MUNCUL!"

​Riani dan Andre langsung mengerubunginya. Tasnya bahkan belum sempat ia letakkan di kursi.

​"Gila lo, Zoy! Sehat? Bisul lo segede apa sih? Empat hari, gila," Riani memegang dahi Zoya. "Nggak panas. Sehat lo."

“Iya Alhamdulillah udah sehat, hehehe..” dusta zoya sambil cengengesan.

Riani menepuk-nepuk pipi Zoya. "Eh tapi Zoy kok muka lo... glowing sih? Kan biasanya kucel."

"Sirik aja lo," balas Zoya, meletakkan tasnya di kursi. Tapi ia tidak duduk.

"Zoy," Andre, si penakut, berbisik ngeri. "Lo udah... ngusir... 'itu' nya?"

Zoya menahan senyum. "Oh, 'itu'? Belum. Malah kayaknya udah mulai betah. Udah jinak," katanya santai, membuat Andre makin pucat.

"Lo gila ya," desis Riani, mulai curiga. "Lo nyembunyiin apa sih?"

​"Iya lo aneh banget kemarin, Zoy," Dandi menimpali, sudah bergabung dengan mereka. "Lo nyembunyiin sesuatu, kan? Lo nggak lagi diculik trus kena Stockholm Syndrome?"

​"Nonton film kebanyakan lo!"

"Serius, Zoy," Riani menahan lengan Zoya yang hendak duduk. "Lemari itu... isinya apa?"

Zoya mengedipkan sebelah matanya secara misterius. "Kepo."

Ia melirik jam dinding. Masih lama sebelum bel masuk. Sempurna.

"Bentar, ya," katanya pada Riani. "Gue ada urusan negara dulu."

"Hah? Urusan apa?"

"Panggilan alam!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, Zoya menyambar tasnya dan melesat keluar kelas, mengabaikan tatapan bingung teman-temannya, dan berlari menuju kamar mandi siswi di ujung koridor.

Ia memilih bilik paling pojok, mengunci pintunya rapat-rapat. Suasana kamar mandi sepi, hanya ada suara air menetes.

Zoya menjatuhkan tasnya, tangannya bergetar bukan karena takut, tapi karena menahan tawa.

Ia merogoh tasnya, menarik walkie-talkie biru itu seperti menarik pedang Excalibur.

Ia menarik antenanya, lalu menekan tombol 'Talk' di samping.

KRRRZZZTTT… "Pst... Pst..." bisiknya, berusaha terdengar serius.

Hening.

Ia tahu Bram mendengarnya. Pria itu pasti sedang menatap mainan biru itu dengan tatapan membunuh.

Zoya menekan tombol itu lagi, kali ini ia tidak bisa menahan senyum jahilnya.

KRRRZZZTTT… "Lapor, Komandan. Agen Kupu-kupu Malam sudah tiba di markas musuh. Situasi aman terkendali. Ganti."

Hening total di seberang sana.

Zoya terkikik pelan.

KRRRZZZTTT… "Aduh, Pak Genderuwo… kacang banget sih, didiemin doang. Jawab, dong. Kan Zoya khawatir... Kalo Bapak kangen gimana?"

Di kamarnya, Bram membuka mata. Tangannya terkepal di samping bantal, menahan keinginan untuk menghancurkan benda biru menyebalkan itu.

KRRRZZZTTT… Terdengar suara helaan nafas yang sangat berat dan penuh kekesalan dari walkie-talkie Zoya.

"...Pergi. Belajar."

Suara serak dan dingin itu adalah musik terindah bagi Zoya.

"SIAP, LAKSANAKAN, KOMANDAN!" seru Zoya, terlalu kencang.

KRRRZZZTTT...

"Jangan berteriak, bodoh."

"Oke, oke! Jam istirahat Zoya lapor lagi, ya! Jangan lupa sarapan rotinya! Over and out!"

Zoya mematikan sambungan, memeluk walkie-talkie itu sambil terkikik geli. Menggoda pembunuh bayaran paling berbahaya yang sedang tak berdaya di kamarnya, ternyata lebih seru daripada pelajaran Sosiologi.

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!