Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Ujian Guru Wen.
Jepit rambut perak itu terasa dingin dan tajam di genggamannya, siap menyambar. Swan Xin tidak bergerak, tubuhnya menegang laksana tali busur yang ditarik penuh. Pria di hadapannya melangkah sekali lagi, keluar sepenuhnya dari kegelapan, seolah bayangan itu sendiri yang memberinya wujud.
“Bagaimana Yang Mulia bisa masuk?” desis Swan, suaranya rendah dan berbahaya. Matanya melesat ke arah pintu yang terkunci, lalu kembali ke sosok Pangeran San Long.
“Tidak semua pintu terbuat dari kayu, Selir Xin,” jawabnya datar. Tatapannya melirik sekilas ke arah jendela berteralis di seberang ruangan. “Beberapa hanya terbuat dari kelengahan.”
“Jadi, Anda memanjat ke kamarku?” tanyanya tak percaya. “Itu melanggar setidaknya selusin peraturan yang sangat dijunjung tinggi, Yang Mulia?"
“Dan membiarkan seorang selir yang jelas-jelas jadi target utama terbunuh dalam tidurnya karena dia terlalu naif untuk mengunci jendelanya adalah pelanggaran tugasku sebagai Pangeran,” balas San Long dingin. “Pilih saja pelanggaran mana yang lebih Anda sukai.”
“Aku bukan target,” sahut Swan cepat. “Dan aku jelas tidak naif.”
“Beneran?” San Long mengangkat alis, ekspresi sinis melintas sesaat di wajahnya yang beku. “Aksi teatrikalmu tadi memang cerdas, aku akui. Kau berhasil menakuti kasim itu dan mengirim pesan balik pada Selir Agung. Tapi kau juga baru saja melukis target sebesar gerbang istana di punggungmu. Ular yang merasa terancam akan menggigit lebih keras lain kali.”
“Aku bisa menjaga diriku sendiri,” kata Swan tegas, cengkeramannya pada jepit rambut mengerat.
“Dengan itu?” San Long mendengus pelan, menunjuk jepit rambut di tangan Swan. “Melawan pembunuh bayaran yang dikirim Selir Agung? Kau akan mati sebelum sempat menggores kulit mereka.” Ia melangkah mendekat, mengabaikan ancaman senjata improvisasi Swan. “Dengar, aku tidak peduli apa misimu di sini. Aku tidak peduli siapa yang kau incar. Tapi caramu ini membahayakan semua orang, termasuk dirimu sendiri. Kau pikir aku tidak tahu kalau kau menyusup ke perpustakaan tadi malam?”
Darah serasa surut dari wajah Swan. “Aku tidak …”
“Hentikan,” potongnya lelah. “Bau debu arsip dari pakaianmu tercium dari jarak lima langkah. Berhenti berbohong. Itu melelahkan.” Ia berhenti, kini hanya berjarak satu lengan darinya. Intensitas di matanya membuat Swan sulit bernapas. “Apa pun yang kau cari, kau sudah mengusik sarangnya. Sekarang mereka tahu ada penyusup. Kau pikir cuma Selir Agung yang akan bergerak?”
“Lalu kenapa Yang Mulia di sini?” tantang Swan, suaranya sedikit bergetar karena amarah dan keterkejutan. “Untuk menghentikanku? Untuk melaporkanku?”
“Untuk memberimu ini,” katanya. Ia meraih sesuatu dari balik jubahnya dan meletakkannya di atas meja rias. Sebuah kantong kulit kecil yang mengeluarkan bunyi denting logam pelan. “Isinya beberapa kait dan kawat baja. Sedikit lebih berguna daripada jepit rambutmu saat kau memutuskan untuk bermain maling malingan lagi.”
Tanpa menunggu reaksi Swan, ia berbalik. “Kunci jendelamu,” katanya dari ambang pintu bayangan tempat ia tadi muncul. “Dan berhenti membuatku harus mengkhawatirkan nyawamu. Aku punya masalah yang lebih besar untuk dipikirkan.”
Dan secepat ia datang, secepat itu pula ia menghilang, hanya menyisakan desir angin malam dan kantong kulit kecil di atas meja. Swan Xin hanya termangu sepersekian detik... dia merasa seperti selir dungu....
Pagi harinya, Istana Naga berdengung oleh bisik-bisik yang penuh semangat dan ketegangan. Sebuah kereta sederhana namun elegan telah tiba di gerbang utama, membawa seorang tamu yang namanya sudah puluhan tahun tidak terdengar di koridor kekuasaan: Guru Besar Wen.
“Beliau benar-benar datang, Nona!” lapor Bi Lan, napasnya sedikit terengah saat ia merapikan lipatan jubah Swan. “Seluruh kasim dan pelayan membicarakannya. Katanya, Kaisar sendiri yang mengundangnya.”
“Kakekku memang suka membuat kejutan,” gumam Swan, menatap pantulan dirinya di cermin perunggu. Hari ini ia memilih jubah berwarna hijau giok yang sederhana namun memancarkan keanggunan. Tidak terlalu mencolok, tidak terlalu polos. Sempurna untuk peran cucu yang berbakti.
“Ketiga Pangeran juga akan hadir untuk menyambutnya di Paviliun Seribu Musim Semi,” tambah Bi Lan dengan suara lebih pelan. “Ini… ini akan jadi pertemuan yang sangat penting, Nona.”
“Aku tahu, Bi Lan,” jawab Swan tenang. Di dalam benaknya, otaknya berpacu. Ini bukan kunjungan biasa. Ini adalah sebuah langkah catur. Sebuah ujian. Dan penontonnya adalah serigala-serigala yang paling lapar di seluruh kekaisaran.
Paviliun Seribu Musim Semi dikelilingi oleh kolam teratai yang tenang dan pohon-pohon willow yang menjuntai. Udaranya sejuk dan damai, sangat kontras dengan ketegangan yang menggantung di antara orang-orang yang berkumpul di dalamnya.
Guru Besar Wen duduk di kursi kehormatan, tampak tenang dan ringkih dalam jubah abu-abunya yang usang. Namun matanya, setajam tatapan elang, mengamati semua orang. Ketiga pangeran duduk mengelilinginya, masing-masing dengan postur yang berbeda. Jiang Long tampak bersemangat, terus-menerus mencoba memulai percakapan dan memamerkan pengetahuannya. Zheng Long lebih pendiam, senyum tipisnya tak pernah lepas dari wajah, matanya menganalisis setiap gerakan. Dan San Long, seperti biasa, hanya duduk diam di sudut terjauh, kehadirannya dingin dan nyaris tak terlihat, seolah ia adalah bagian dari bayang-bayang pilar.
“Ah, cucuku tersayang,” sapa Guru Wen saat Swan masuk dan memberi hormat. Senyum hangatnya tampak tulus, membuat semua orang di ruangan itu percaya pada peran mereka. “Kemarilah, duduk di dekat Kakek.”
“Kakek,” balas Swan lembut, memainkan perannya dengan sempurna saat ia duduk di sebuah bantal di dekat kaki sang guru. Dengan sikap manja dan sedikit slengekan yang dia pertahankan sebagai benteng manipulatifnya.
“Sungguh pemandangan yang mengharukan,” komentar Jiang Long dengan tawa renyahnya. “Kami tidak tahu Guru Besar punya cucu yang begitu menawan.”
“Kejutan terbesar sering kali datang dari tempat yang paling tidak terduga, Pangeran,” sahut Guru Wen, matanya yang tua berkilat jenaka.
Setelah basa-basi yang terasa berlangsung selamanya, Zheng Long akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun memotong obrolan ringan seperti pisau. “Guru Besar Wen, kehadiran Anda di istana saat ini adalah sebuah kehormatan besar. Terutama di masa-masa sulit seperti sekarang. Kami para Pangeran sangat ingin mendengar kebijaksanaan Anda.”
“Kebijaksanaan apa yang bisa ditawarkan oleh orang tua sepertiku?” Guru Wen tertawa kecil. “Aku hanya tahu sedikit tentang tanaman obat dan puisi-puisi lama.” Ia menoleh ke arah Swan. “Mungkin cucuku ini yang bisa menawarkan perspektif baru. Dia masih muda, pikirannya masih segar, belum tercemar oleh politik istana yang rumit.”
Semua mata kini tertuju pada Swan. Jantungnya berdebar pelan. Ujiannya dimulai.
“Mei Lin,” panggil Guru Wen lembut. “Kakek dengar kekaisaran sedang menghadapi dua masalah besar. Pemberontak nomaden semakin berani di perbatasan utara, mengancam jalur perdagangan kita. Sementara itu, kekeringan parah di selatan menyebabkan gagal panen dan kelaparan merajalela. Sumber daya kita terbatas.”
Pria tua itu berhenti, menatap lurus ke dalam mata Swan.
“Menurutmu, sebagai seorang wanita yang baru melihat dunia luar, mana yang harus jadi prioritas Ayahanda Kaisar: mengisi gudang senjata untuk memperkuat perbatasan, atau mengisi lumbung padi untuk memberi makan rakyat yang kelaparan?”
Hening. Pertanyaan itu menggantung di udara, tajam dan berbahaya. Itu bukan sekadar pertanyaan filosofis; itu adalah jebakan politik yang sempurna. Jawaban apa pun akan menunjukkan keberpihakan. Memilih militer akan menyenangkan Jiang Long. Memilih rakyat akan terlihat welas asih, mungkin sejalan dengan citra yang ingin dibangun Zheng Long. Dan apa pun jawabannya, itu akan mengungkap cara berpikirnya.
“Wah, itu pertanyaan yang sulit sekali, Kakek,” kata Swan setelah jeda sesaat, suaranya dibuat terdengar sedikit bingung dan naif. “Aku kan cuma wanita biasa, mana ada aku mengerti soal negara.”cicit slengekan Swan Xin.
“Justru karena itu Kakek bertanya padamu,” desak Guru Wen lembut. “Terkadang, solusi terbaik datang dari pikiran yang paling sederhana.”
Jiang Long tersenyum meremehkan. “Sudah jelas jawabannya, Guru. Tentu saja perbatasan. Tanpa militer yang kuat, kekaisaran kita akan runtuh. Rakyat yang kenyang pun akan jadi budak bangsa lain. Kekuatan adalah segalanya.”
“Tapi, Kakak,” sela Zheng Long dengan senyum tipisnya. “Rakyat yang lapar adalah bibit pemberontakan dari dalam. Apa gunanya perbatasan yang kuat kalo kerajaan kita hancur dari dalam?”
Kedua pangeran itu saling tatap dengan permusuhan yang tak terselubung. Mereka berdua lalu kembali menatap Swan, menunggu ia memilih pihak. Di sudut ruangan, Swan melihat San Long mengangkat kepalanya sedikit, tatapannya yang dingin dan menusuk kini sepenuhnya terfokus padanya.
Swan menundukkan kepalanya, pura-pura berpikir keras. “Kalian berdua ada benarnya, Yang Mulia,” katanya pelan. “Sebagai wanita, aku tentu tidak tega melihat orang kelaparan. Tapi aku juga takut kalau rumahku diserang musuh.”
Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus pada Gurunya. “Kakek, Anda salah bertanya.”
Alis Guru Wen terangkat. “Oh, ya?”
“Pertanyaannya bukan ‘mana yang harus dipilih’,” lanjut Swan, suaranya kini lebih mantap. “Tapi (bagaimana caranya mendapatkan keduanya dengan satu tindakan).”
Keheningan yang berbeda kini menyelimuti paviliun. Keheningan yang disebabkan oleh keterkejutan.
“Jelaskan maksudmu,” kata Guru Wen, nada suaranya kini serius.
“Di kampung halamanku,” Swan mulai berbohong dengan lancar, “para pedagang sering membicarakannya. Katanya, masalah terbesar di selatan bukan cuma kekeringan, tapi jalanan yang rusak dan penuh bandit, jadi bantuan makanan dari provinsi lain tidak pernah sampai. Sementara di utara, para prajurit sering kali hanya duduk diam di barak saat tidak ada serangan, menghabiskan persediaan makanan tanpa melakukan apa-apa.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan semua orang mencerna kata-katanya.
“Jadi… pemikiran sederhanaku adalah,” lanjutnya hati-hati, “Bagaimana kalau sebagian pasukan dari utara yang sedang tidak bertugas itu dikirim ke selatan? Bukan untuk berperang, tapi untuk bekerja. Mereka kuat, disiplin, dan dibayar oleh negara. Gunakan mereka untuk memperbaiki jalan, membangun waduk, dan mengawal iring-iringan gandum dengan aman. Dengan begitu, pedang prajurit tidak hanya melindungi perbatasan, tapi juga secara langsung mengisi perut rakyat. Gudang senjata dan lumbung padi… dilindungi dan diisi oleh tangan yang sama.”
Paviliun itu menjadi begitu sunyi hingga suara kepakan sayap seekor capung di atas kolam teratai terdengar dengan jelas.
Jiang Long mengerutkan kening, tampak bingung. Menggunakan prajurit sebagai pekerja kasar? Itu gagasan yang aneh. Zheng Long, sebaliknya, senyum tipisnya lenyap. Matanya menatap Swan dengan kilatan baru, kilatan tajam seorang ahli strategi yang baru saja mengenali lawannya.
Tapi tatapan yang paling menusuk datang dari sudut ruangan. San Long menatap lurus ke arah Swan, topeng es di wajahnya retak. Di matanya yang gelap, Swan melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bukan lagi kecurigaan atau amarah. Itu adalah keterkejutan yang mendalam. Sebuah pengakuan. Pria itu, sang Pangeran Bungsu yang terbuang dan selalu terabaikan kehadirannya, baru saja mendengar gema strategi militer Jenderal Besar Xin, diucapkan oleh seorang selir muda yang naif.
Guru Wen tersenyum lebar, senyum bangga yang tulus. “Pemikiran yang sangat menarik, cucuku. Sangat menarik.” Ia bangkit berdiri. “Sudah waktunya orang tua ini beristirahat. Terima kasih atas waktu kalian, para Pangeran.”
Setelah sang guru pergi, dan Jiang Long bergegas menyusulnya untuk mencari muka, Swan bangkit untuk kembali ke paviliunnya. Ia merasa berhasil melewati ujian itu. Mungkin bahkan terlalu berhasil.
“Penampilan yang luar biasa, Selir Xin.”
Suara tenang itu menghentikan langkahnya. Pangeran Zheng Long berdiri di hadapannya, menghalangi jalannya. Senyum tipisnya yang menyebalkan telah kembali, tetapi kini ada sesuatu yang berbeda di baliknya. Sesuatu yang lebih dingin dan lebih tajam.
“Anda terlalu memuji, Yang Mulia,” jawab Swan, menundukkan kepalanya.
Zheng Long tertawa pelan. “Oh, aku rasa belum cukup.” Ia mendekat selangkah, suaranya turun menjadi bisikan konspiratif yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. “Aku jadi sangat tertarik untuk mengetahui hal lain yang Kakek Anda ajarkan.”
Ia berhenti sejenak, matanya yang cerdas mengunci mata Swan.
“Misalnya, resep kue jahe apa… yang bisa memenangkan perang?”
trmkash thor good job👍❤