NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:691
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

Sudah tiga malam Nathan mengirim pesan yang tak pernah dibalas. Ini adalah pertama kalinya ia diabaikan dalam hidup.

Malam pertama, ia hanya mengetik, [Sayang, kita bisa ngobrol?] Lalu menunggu. Tak ada centang dua. Ia meyakinkan diri mungkin Kayla sibuk, mungkin sinyalnya jelek.

Malam kedua, ia mencoba lagi. [Sayang, angkat teleponnya.] Masih tidak dibalas.

Malam ketiga, ia menatap layar ponsel lebih lama. Jari-jarinya mengetik, menghapus, mengetik lagi. Ujungnya hanya ada satu pesan yang dikirim.

[Aku kangen, Kayla.]

Akhirnya pesan itu terbaca setelah beberapa jam terkirim.

Namun tetap, tak ada balasan.

Nathan terbaring di sofa, lampu ruang tamu menyala redup. Televisi menyala tanpa suara. Saluran berita berganti menjadi iklan, lalu film lama, lalu tayangan masak. Tapi tak satu pun menarik perhatiannya. Ia menatap kosong ke langit-langit, memeluk bantal kecil seolah itu bisa menenangkan dadanya yang kosong.

Setelah kepergian orang tuanya, malam menjadi bagian paling sunyi dalam hidupnya. Dulu, suara ibunya di dapur, atau denting gelas dari ruang makan, selalu memberi tanda bahwa ia tidak benar-benar sendirian. Sekarang, yang ada hanya suara pendingin ruangan dan detak jam dinding yang terasa terlalu nyaring.

Ponselnya bergetar. Ia langsung mengangkatnya, tapi hanya email. Dari Alea.

Subjek: Laporan Harian.

Laporan detail. Rapi seperti biasa. Disusun dengan ringkas, tapi lengkap. Ia membaca setengah hati, lalu meletakkan ponsel di meja. Wajahnya tertunduk. "Kenapa hidup gue sekarang kayak gini?"

Ia bangkit pelan, berjalan ke dapur. Membuat kopi instan. Airnya terlalu panas, bubuknya terlalu banyak. Tapi ia tetap meneguknya perlahan. Mungkin pahitnya bisa menutupi pahit yang lain.

Ia membuka pintu geser menuju balkon kecil di dekat dapur. Angin malam menyambut pelan, membawa aroma samar asap kendaraan dan tanah lembap. Ia duduk di kursi rotan usang, meletakkan cangkir kopi panas di atas meja kaca kecil yang sudah retak di sudutnya.

Jakarta malam itu tidak terlalu bising. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang di bumi. Terlihat indah, tapi tetap dingin. Seperti hidupnya belakangan ini, tampak baik-baik saja dari luar, padahal dalamnya kosong.

Nathan memandang langit. Gelap, tanpa bintang.

"Ma, Pa... aku harap kalian nggak kecewa lihat hidupku sekarang. Aku tahu, aku banyak salah. Aku nggak pernah benar-benar dengerin kalian tentang gimana seharusnya aku mulai menata hidup di usia yang udah segini. Maaf karena dulu lebih milih ngelakuin apa yang aku mau, daripada ngedengerin nasihat kalian. Andai aku tahu apa yang bakal terjadi... aku lebih milih dihujani nasihat dari kalian, daripada harus belajar langsung dari caranya semesta ngajarin, dengan kehilangan."

Nathan menghabiskan sisa kopinya dalam satu tegukan, meski panasnya masih mengigit. Ia letakkan cangkir kosong di meja kaca yang dingin, lalu berdiri pelan, seolah langkahnya sendiri terlalu berat untuk dilanjutkan.

Ia tahu diam di balkon hanya akan membuatnya semakin larut dalam pikiran sendiri. Dan malam itu, ia tidak ingin sendirian lagi.

Ponselnya kembali digenggam. Ia melihat layar yang menampilkan foto dirinya dan Kayla di hari jadi mereka tahun lalu. Senyum mereka lebar, seperti tidak pernah ada masalah. Seperti tidak ada ruang bagi keheningan seperti sekarang.

Ia menarik napas panjang, lalu mengetik.

[Aku ke tempatmu sekarang.]

Tak ada jawaban. Tapi kali ini ia tidak menunggu. Ia mengambil kunci mobil, jaket, dan dompet, lalu melangkah keluar dari apartemen.

Hujan gerimis mulai turun di luar. Jalanan basah memantulkan lampu-lampu kota yang temaram. Di dalam mobil, Nathan tidak menyalakan musik. Hanya suara mesin dan ritme penghapus kaca yang menemani.

Setibanya di apartemen Kayla, Nathan memarkir mobilnya di area bawah. Hujan sudah berhenti, menyisakan aroma aspal basah yang menguar lembut di udara. Ia berjalan pelan ke arah lobi, tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok yang familiar di ujung lorong parkiran.

Kayla.

Sendirian. Berdiri di depan mobilnya sendiri, seperti sedang mencari sesuatu di tas.

Nathan menahan napas sejenak. Ini pertama kalinya ia melihat Kayla sejak pertengkaran terakhir mereka. Ia sempat ragu untuk melangkah, tapi akhirnya suaranya terdengar lirih.

"Kayla..."

Wanita itu menoleh pelan. Wajahnya datar, tidak terkejut, tapi juga tidak menunjukkan kehangatan.

"Kamu ngapain ke sini?" tanyanya, tanpa mendekat.

"Aku cuma mau ngomong. Lima menit aja."

Kayla diam beberapa detik, lalu menghela napas pelan dan menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil. "Ngomong apa lagi?"

Nathan berjalan pelan mendekat, menjaga jarak tapi cukup dekat untuk bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia mengangkat satu kantong kecil dari balik jaket. Puding favorit Kayla, masih utuh dalam plastik.

"Masih dari toko yang sama. Kamu suka rasa coklatnya, kan?"

Tatapan Kayla menurun, menatap kantong itu sebentar, lalu kembali ke wajah Nathan. "Kamu pikir puding bisa nyelesain semua?"

"Enggak," jawab Nathan pelan. "Aku tahu aku salah. Aku terlalu sibuk sampai lupa ngabarin kamu. Aku salah karena biarin kamu ngerasa sendirian, salah karena waktu luang yang seharusnya buat kamu... malah aku habisin sama temen-temen."

Ia menatap Kayla dalam-dalam, matanya sedikit memerah.

"Tolong beri aku pengertian sedikit lagi, Kay. Satu kesempatan lagi buat ngebenerin semuanya. Aku lagi belajar nata hidup aku dan aku butuh kamu tetap di sampingku. Karena aku cuma punya kamu. Dan aku tahu... kamu juga cuma punya aku."

Kayla masih diam. Matanya bergerak pelan menatap wajah Nathan. Wajah yang dulu selalu berhasil membuatnya luluh. Tapi malam ini terasa berbeda. Ada jarak di antara mereka yang tidak bisa dijangkau hanya dengan permintaan maaf.

"Aku tahu kamu capek, Nat..." Suaranya mulai pelan, namun terdengar jelas di lorong parkiran yang sunyi. "...aku tahu kamu lagi berjuang di hidup yang baru, di dunia yang belum pernah kamu sentuh sebelumnya. Makanya aku nggak pernah maksa. Aku cuma nanya kabar. Satu dua chat sehari, cuma buat pastiin kamu baik-baik aja."

Ia menelan ludah, menahan sesuatu di tenggorokannya yang mulai terasa sesak. Matanya berkedip cepat, berusaha mengusir air yang menggantung di pelupuknya.

"Aku cuma pengen tahu kamu bisa lewatin hari itu dengan tenang. Itu aja. Tapi... sebulan ini, berapa kali kamu bales chat aku, Nat? Bisa dihitung jari." Suaranya mulai bergetar, sedikit meninggi.

"Apa aku marah? Nggak, kan? Apa aku berhenti ngasih kabar? Nggak juga. Aku masih kirim pesan, masih bilang jaga kesehatan, masih ingetin kamu buat makan. Aku nggak pernah nuntut kamu dateng ke apartemen, nggak pernah maksa ketemu, nggak nyelonong ke kantor. Aku ngasih ruang buat kamu belajar jadi dewasa. Tapi ruang yang kamu minta itu... berubah jadi jarak."

Air matanya jatuh satu. Ia cepat menyekanya, namun Nathan melihatnya dan dadanya seperti diremas dari dalam.

"Dan yang paling nyakitin itu... waktu senggang kamu. Waktu yang harusnya bisa kamu sempetin buat sekedar bilang ‘aku kangen’, malah kamu kasih ke orang lain. Kamu nongkrong, kamu ketawa, kamu posting story... Tapi ke aku? Nggak ada waktu."

Kayla menghela napas panjang, suara seraknya pecah di ujung kalimat.

"Kalau kamu bilang kerja itu capek... aku lebih dulu kerja dibanding kamu, Nat. Di saat kamu masih ngabisin uang orang tua kamu buat hal-hal yang nggak penting, aku udah tahu gimana rasanya mikir tagihan di akhir bulan. Jadi jangan ngomong soal lelah ke aku seolah kamu yang paling berat hidupnya."

Nathan tertunduk. Pahit. Semua kata-kata itu benar, dan semakin dalam karena disampaikan oleh orang yang tidak sedang marah, tapi kecewa. Dan kekecewaan selalu lebih menyakitkan dari kemarahan.

"Sayang…"

Kayla menggeleng pelan, menahan isak.

"Aku nggak mau minta kamu berubah sekarang. Tapi tolong, jangan lagi bikin aku ngerasa kayak aku ini cuma pilihan kesekian. Aku bisa ngerti kamu, bisa nunggu kamu, asal kamu nggak ninggalin aku di tengah jalan tanpa kabar, tanpa arah."

Ia melangkah mundur perlahan, meninggalkan Nathan yang mematung.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!