"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan Denis dan kegelisahan Tiara
Jauh dari kehidupan Tiara saat ini. Denis sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Sejak berbicara dengan Saskia. Perkataan Saskia membuat dirinya seperti orang yang tidak memiliki perasaan. Apalagi permintaan ibunya untuk segera menikah dan memiliki momongan semakin membuatnya frustrasi.
Tok tok tok
Ketukan pada pintu kamarnya selalu mengganggunya. Tak pernah sedetik pun dirinya merasakan ketenangan sejak Tiara pergi. Ibunya tak pernah berhenti mengusiknya.
"Denis, buka pintunya!" pekik Nancy.
"Aku bilang buka pintunya, Denis!" suara Nancy kembali menggema, kali ini lebih tajam.
Dengan gerakan malas, Denis bangkit dari tempat tidur. Rambutnya acak-acakan, matanya sembab, dan di tangan kirinya masih tergenggam sebotol kecil obat penenang yang sudah hampir kosong. Ia menatapnya sejenak sebelum akhirnya menaruh botol itu di meja.
Pintu terbuka. Wajah Nancy langsung muncul, riasannya masih sempurna meski waktu sudah lewat tengah malam.
"Apa lagi, Ma?" suara Denis serak, nyaris tanpa tenaga.
Nancy memandang putranya dari atas ke bawah. Tatapannya tajam, tapi ada sedikit kelelahan di dalamnya.
"Bersiaplah! Kita akan pergi makan malam. Aku sudah mengaturnya untukmu." kata Nancy
"Lagi? Ma... belum genap sebulan. Mama ingin aku menikah lagi? Bagaimana jika wanita itu tidak sesuai dengan keinginan Mama?" kata Denis sambil berkata getir.
"Aku sudah memastikannya, dia bahkan bisa memberi mu anak.Dan dia dari keluarga baik-baik, tentunya tidak miskin." sahut Nancy.
Denis tertawa getir, menatap ibunya lama, tawa getirnya berubah menjadi senyum sinis.
"Anak, ya? Mama bahkan tahu dari mana kalau dia bisa memberiku anak? Mama pikir semua ini semudah transaksi bisnis?"
Nancy menarik napas panjang, berusaha menahan nada suaranya agar tidak pecah.
"Denis, kau tidak bisa terus begini. Setiap malam mengurung diri, menatap kosong, menenggak obat seperti itu... Aku tidak mau melihat anakku hancur hanya karena perempuan yang bahkan tidak pantas disebut namanya lagi."
"Cukup, Ma."
Nada suara Denis turun drastis, berat dan mengancam.
"Jangan pernah sebut Tiara seperti itu. Aku sudah menuruti keinginan Mama untuk menceraikannya. Sekarang, aku yang akan menentukan dengan siapa aku akan menikah lagi."
Nancy mendengus, berjalan masuk lebih dalam ke kamar, menatap sekeliling ruangan yang berantakan, pakaian berserakan, botol-botol kosong, dan foto Tiara di meja yang sudah mulai pudar warnanya.
"Lihat ruangan ini, Denis. Ini bukan rumah, ini kuburan! Kau mengubur dirimu sendiri bersama kenangan perempuan itu!"
Denis berjalan pelan ke meja, mengambil foto itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya sendu, tapi ada bara kecil di matanya.
"Kalau ini kuburan, berarti di sinilah aku paling hidup."
Nancy memutar bola matanya dengan jengkel. Seolah merasa jengah dengan tingkah laku putranya.
"Kau keras kepala, sama seperti ayahmu dulu. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku sudah mengatur makan malam dengan keluarga Mulyawan. Putri mereka, Anindya, gadis baik dan berpendidikan. Kau akan datang, Denis. Titik."
"Dan kalau aku menolak?" sahut Denis sambil menatap sinis Nancy.
Nancy mendekat, suaranya lebih tajam, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lain mungkin ketakutan.
"Maka kau akan kehilangan segalanya, Denis. Termasuk perusahaan yang kini masih atas namaku. Aku tidak main-main."
Suasana hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara mereka. Denis menatap ibunya lama, sebelum akhirnya tersenyum samar, senyum yang lebih menyakitkan daripada amarah.
"Perusahaan, nama keluarga, harta… semuanya bisa Mama ambil. Tapi satu hal yang Mama tidak akan pernah punya, hati yang tenang."
Nancy menatap putranya, rahangnya mengeras, namun ada sedikit goyah dalam sorot matanya.Ia berbalik menuju pintu.
"Setengah jam lagi sopir menjemputmu. Aku tidak mau alasan."
Begitu pintu tertutup, Denis menghempaskan tubuhnya ke kursi. Ia menatap kembali foto Tiara, mengusap wajah perempuan itu dengan ibu jarinya.
"Maafkan aku, Tiara…" bisiknya lirih.
***
Tiara merasa gelisah sepanjang malam, sebab ia sudah terbiasa tidur bersama Reihan di pelukannya. Bayi mungil yang menyembuhkan lukanya perlahan, kini membuatnya gelisah. Hingga membuatnya Tiara turun dari ranjang. Mencoba keluar dari kamar untuk sekedar menengok Reihan.
Langkah kakinya pelan, hampir tanpa suara, menaiki tangga kayu yang remang. Udara malam terasa dingin, tapi bukan hanya itu yang membuat tubuh Tiara bergetar , ada perasaan rindu aneh yang sulit dijelaskan, seperti sesuatu di dalam dirinya tengah gelisah tanpa sebab.
Lampu di lorong menuju kamar bayi masih menyala temaram. Tiara membuka pintu perlahan, berusaha tidak membuat suara, tapi begitu pandangannya menembus celah pintu, langkahnya langsung terhenti.
Di sana, Galang masih terjaga. Ia duduk di kursi dekat ranjang bayi, dengan Reihan tertidur lelap di pelukannya. Cahaya lampu redup menyorot sebagian wajah Galang , mata yang biasanya tajam kini tampak lembut, seolah dunia di sekelilingnya tidak ada lagi selain bayi kecil itu.
Tiara terpaku. Ada sesuatu dalam pemandangan itu yang membuat dadanya hangat sekaligus nyeri. Pria yang selama ini ia anggap dingin, ternyata punya sisi yang begitu manusiawi… begitu rapuh. Galang menoleh perlahan.
"Masuklah. Aku tahu kau di situ."
Tiara sedikit terlonjak, lalu melangkah pelan masuk.
"Maaf, Tuan.. Aku hanya ingin memastikan Reihan tidur nyenyak."
"Kau pikir aku tak akan bisa menenangkannya?"
"Bukan...bukan begitu, Tuan. Hanya saja..."
"Kau tak bisa tidur?" sambung Galang cepat.
Tiara kembali terhenyak, ia tak menyangka Galang memahami perasaannya.
"Kalau begitu kau bisa tidur di sini."
Tiara menatap Galang sejenak, terkejut sekaligus bingung.
"Di sini, Tuan?"
Suaranya pelan, nyaris berbisik. Galang mengangguk, tetap menatap Reihan yang mulai bergerak kecil di pelukannya.
"Ya… di ranjang. Dekat dengan Reihan. Aku tidak akan membiarkanmu gelisah seorang diri."
Tiara menghela napas panjang, kemudian perlahan melangkah mendekat. Ia duduk di tepi ranjang, menjaga jarak, tapi tetap cukup dekat untuk merasakan kehadiran Galang.
Suasana kamar itu sunyi, hanya terdengar napas Reihan dan detak jam dinding yang monoton. Tapi ada kehangatan aneh yang memenuhi ruangan, sesuatu yang membuat hati Tiara sedikit lega, meski pikirannya masih kacau. Galang menoleh sekilas padanya.
"Kau sengaja masuk ke rumah ini?!" ucap Galang seketika.
Tiara mendongak, ia merasa Galang menganggapnya wanita yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tiara menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Ia menggigit bibir, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab.
"Tidak, Tuan… Aku hanya… tidak tahu kenapa aku bisa berakhir di sini." jawabnya pelan, suaranya bergetar.
Galang menatapnya beberapa saat, matanya menyelidik seolah mencoba menembus hatinya. Ada ketegangan yang jelas, tapi juga sesuatu yang lebih… kepedulian yang tak bisa disembunyikan.
"Kau tahu, " kata Galang akhirnya, suaranya masih rendah tapi lebih tenang,
"aku tidak suka orang yang hanya memanfaatkan situasi. Tapi… aku juga bisa membedakan niat baik dari yang pura-pura." sambungnya.
Tiara menunduk, merasa bersalah sekaligus lega.
"Aku… aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Reihan. Hanya itu…"
Galang mengangguk, perlahan, matanya masih menatap bayi di pangkuannya.
"Baik. Maka lakukan itu… bukan karena aku memintamu, tapi karena hatimu sendiri yang mengatakan begitu."
Tiara tersenyum tipis, dada terasa hangat. Ada rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meski Galang kadang terlihat dingin, di saat seperti ini, ia bisa melihat sisi manusiawinya, lembut, penuh perhatian, dan… tulus.
"Malam ini… aku akan tetap di sini. Jadi jangan khawatir," tambah Galang sambil menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus pada Reihan.
Tiara menunduk, mengangguk, menahan senyum. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia tinggal di rumah itu, hatinya tenang. Tidak hanya karena Reihan tidur nyenyak, tapi juga karena ia merasa diizinkan untuk berada di sisi orang yang selama ini membuatnya gelisah.
Sunyi kamar itu terasa berbeda, lebih hangat, lebih hidup. Dan di tengah ketenangan itu, Tiara tahu, perlahan tapi pasti, rasa canggung dan gugupnya mulai menghilang.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️