Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 30
“Terima kasih karena sudah mau menerima undangan ibuku,” ucap Liam lembut ketika mobilnya berhenti di depan gedung apartemen Lara. Lampu-lampu jalan di Annecy yang baru mencair dari musim dingin memantulkan cahaya hangat di kap mobil, sementara sisa-sisa salju jatuh perlahan seperti debu perak.
Lara tersenyum kecil, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel tebalnya. “Aku yang harus berterima kasih. Ibumu… orangnya hangat sekali. Rasanya seperti sudah mengenalnya lama.”
Liam ikut tersenyum, meski hatinya masih dipenuhi rasa hangat dari makan malam tadi, suara tawa ibunya, wajah Lara yang sesekali tersipu, dan percakapan ringan yang seolah mengalir tanpa usaha. Ada bagian dari dirinya yang hampir tidak ingin malam itu berakhir.
Lara membuka pintu mobil, udara musim semi yang masih dingin mengusap wajahnya. “Kalau begitu, aku naik dulu, ya.”
“Baik,” jawab Liam. Suaranya terdengar normal, tapi sorot matanya jelas menunjukkan bahwa ia sulit melepas kehadiran perempuan itu begitu saja.
Lara berbalik hendak berjalan menuju pintu masuk apartemen, langkahnya ringan namun ragu. Baru beberapa langkah, suara Liam memanggil.
“Lara…”
Lara berhenti. Ia menoleh, menunggu.
Liam berdiri di sisi mobil dengan pintu terbuka setengah, wajahnya serius namun penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan. “Aku tidak akan menyerah,” katanya pelan. “Aku tidak akan berhenti… sampai hatimu akhirnya terbuka untukku.”
Kata-kata itu membuat dada Lara menghangat sekaligus menegang. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya malam itu, sesuatu yang ia belum berani akui.
Liam hendak masuk ke mobil ketika Lara yang kini memanggil.
“Liam…”
Liam menoleh cepat. “Ya?”
Lara menarik napas panjang, seolah mempersiapkan dirinya untuk melompat ke dalam sesuatu yang selama ini ia hindari. “Kamu tidak perlu berusaha lagi.”
Liam mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Saat makan malam tadi, ucapan ibumu menyadarkanku.” Lara menatap lantai sebelum kembali mengangkat kepala. “Aku tidak perlu terus bersembunyi di balik masa lalu. Aku tidak perlu melepaskan sesuatu yang ada tepat di depanku hanya karena aku pernah hancur.”
Liam seperti mematung. Matanya melebar sedikit.
Lara melanjutkan, kini dengan suara yang lebih mantap, “Aku, juga menyukaimu.”
Detik berikutnya adalah keheningan yang nyaris suci. Hembusan napas Liam lenyap, diganti denyut jantung yang terdengar begitu keras sampai ia yakin Lara bisa mendengarnya.
Dia menutup pintu mobil perlahan, tanpa sadar. Lalu berjalan cepat, hampir berlari kecil, ke arah Lara. Kini ia berdiri tepat di depannya, jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
“Kamu serius?” bisiknya, seakan takut ucapan itu hilang jika ia berbicara terlalu keras.
Lara mengangkat satu alis. “Menurutmu, ucapanku terdengar seperti lelucon?”
Liam menggeleng cepat. “Tidak… hanya saja aku tidak percaya. Rasanya seperti mimpi.”
“Kamu tidak sedang mimpi, Liam.” Lara tersenyum tipis, hangat namun masih menyimpan gugup. “Dan aku sungguh-sungguh.”
Seolah seluruh ketegangan yang sejak awal membelenggu Liam runtuh dalam satu detik, senyum besar dan tulus muncul di wajahnya. Dia mengangkat kedua tangan, ragu sekejap, namun akhirnya menarik Lara ke dalam pelukannya, hangat, dalam, dan penuh rasa lega.
Lara terkejut, tubuhnya sempat menegang, tetapi perlahan ia membalas pelukan itu. Di antara lapisan mantel tebal, ia bisa merasakan jantung Liam berdetak kencang.
“Aku pikir aku harus mengejarmu sangat lama,” gumam Liam di bahunya.
Lara terkekeh pelan. “Dan aku pikir aku akan terus berlari darimu.”
Keduanya tertawa kecil, tawa yang bukan dari lelucon, namun dari rasa lega yang lahir setelah sekian lama menahan diri.
Liam melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun jelas ia ingin menahan Lara lebih lama. Namun tangannya tetap menggenggam tangan Lara, seolah enggan berpisah sepenuhnya.
“Terima kasih,” ucap Liam, suaranya hangat namun bergetar sedikit. “Untuk keberanianmu malam ini.”
Lara menunduk malu. “Aku juga harus berterima kasih karena kamu tidak menyerah.”
Saat angin malam berembus, menerbangkan beberapa serpihan salju kecil yang tersisa, Liam menatap Lara seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang berharga, lebih berharga dari apa pun.
“Kamu sebaiknya pulang sekarang,” ucap Lara, tersenyum lembut. “Sebelum salju turun lagi.”
Liam mengangguk. “Baik.” Meski sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar ingin beranjak.
“Selamat malam, Liam.”
“Selamat malam, Lara.”
Lara berbalik, berjalan menuju pintu otomatis apartemen. Namun sebelum pintu itu menutup, ia menoleh sekali lagi.
Liam masih berdiri di tempat yang sama, memandangnya dengan ekspresi yang begitu jernih, bahagia, lega, dan penuh cinta.
Lara tersenyum. Senyum itu kecil, tetapi cukup untuk membuat hati Liam terasa seperti meledak oleh rasa syukur.
********
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
CUMA MENTOK DISITU DOANG, GUE JAMIN SIH YANG BACA NYA UDAH BORING DULUAN
jd malas bacanya