Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.
Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.
Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Keputusan Di Balik Pintu Terkunci
Ia berpikir... mungkinkah ini bagian dari rencana? Tapi untuk apa?
Andika bukan tipe pria main-main. Apalagi, sebagai satu-satunya ahli waris dari keluarga terpandang, kehidupannya selalu dalam pengawasan. Bahkan Tiny tahu—keluarga Andika punya pengawal pribadi.
Diculik? Tidak masuk akal.
Sakit? Tidak ada kabar.
Meninggal? Hatinya menolak kemungkinan itu mentah-mentah.
Sebelum pikirannya makin liar, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
Tiny mendesah lemas. Ia malas bangun, hanya menjawab, “Masuk...” dengan nada lelah.
Pintu terbuka perlahan.
Xion muncul. Tetap dengan kemeja sederhana, celana kain, dan... wajah tenangnya yang seperti selalu siap menghadapi apapun.
Ia berdiri di ambang pintu.
“Boleh masuk?” tanyanya, sopan seperti biasa.
Tiny mengangguk pelan.
Xion pun masuk dan duduk di kursi sudut ruangan—jauh dari tempat tidur, menjaga jarak. Ia tidak bertele-tele.
“Tiny, aku besok udah harus balik ke Jakarta.” Nada suaranya rendah tapi tegas.
“Aku sebenarnya hari ini harusnya udah balik. Tapi, ya... kamu tahu sendiri kejadian tadi kayak apa.” Ia menghela napas singkat. “Besok pun aku harus cuti. Kerjaanku nggak bisa ditunda lebih lama.”
Tiny hanya diam, menatapnya.
Ia tahu Xion adalah dosen di salah satu universitas besar di Jakarta. Bahkan, ia juga tengah melanjutkan kuliah magister di kampus tempat ia mengajar. Pria ini sibuk. Terstruktur. Punya hidup yang sudah dijalani dengan disiplin.
Kini, hidup Xion berubah. Sama seperti dirinya.
Xion menatap langsung ke arah Tiny. “Makanya... aku mau tanya,” lanjutnya.
“Kamu mau ikut aku ke Jakarta... atau tetap tinggal di sini dulu?”
Pertanyaannya lugas. Tanpa tekanan. Tapi juga bukan basa-basi.
Tiny masih diam.
Layar ponsel telah ia matikan, kini tergeletak begitu saja di samping bantal. Tatapannya tertuju pada Xion, pria yang kini—secara sah—adalah suaminya.
“Aku nggak mau maksa,” kata Xion, perlahan. Nada suaranya tetap berat, tapi tak meninggi. Tetap seperti dirinya: to the point, tapi lembut.
“Aku Cuma nggak mau kamu ada di antara omongan orang. Gimanapun... kamu sekarang istri aku. Tapi kalau kamu butuh waktu, aku bisa ngerti.”
Tiny menggigit bibir bawahnya, pelan. Ia menatap Xion dengan pandangan tak berkedip.
“Kamu sendiri...,” katanya lirih, “menurut kamu, aku... lebih baik ikut?”
Xion tidak langsung menjawab. Ia diam sejenak, seperti mempertimbangkan tiap kata.
“Kalau Cuma dari sisi praktis, iya. Lebih baik kamu ikut.” Nadanya masih lembut, tapi jelas. “Aku bisa jagain kamu langsung. Kita bisa obrolin semuanya lebih tenang. Nggak usah mikirin omongan orang. Kamu juga bisa mulai adaptasi.”
Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Tapi kalau kamu masih terlalu berat buat ninggalin semuanya sekarang—keluarga, rumah, keadaan Andika yang belum jelas... aku ngerti. Aku nggak akan marah.”
Tiny menunduk. Ada kejujuran dalam setiap kalimat Xion. Ia tidak menuntut. Tapi juga tidak lari dari tanggung jawab.
Xion berdiri pelan dari kursinya.
“Yang penting, kamu tahu... kamu nggak sendiri.”
Lalu ia berjalan ke pintu. Tapi sebelum membuka, ia menoleh sedikit ke arah Tiny. “Aku tunggu jawaban kamu besok pagi. Aku nggak maksa. Tapi aku harus jalan jam 08.00.”
Tiny mengangguk. “Oke.”
Xion berkata, “Yaudah, kalau mau tidur, tidur aja.”
Tiny hanya mengangguk pelan.
Xion pun perlahan bangkit dari kursi, berjalan tenang menuju pintu kamar. Saat tangannya memutar gagang, ekspresinya berubah—pintu tak bergerak. Terkunci.
Ia mencoba sekali lagi. Tetap terkunci.
Di dalam kamar, Tiny menoleh heran. “Kenapa?”
“Pintunya... kekunci,” gumam Xion pelan.
Sementara itu, di luar kamar, dua pria berdiri beberapa langkah dari pintu. Salah satunya menyeringai puas.
Gery.
Dengan kunci cadangan di tangan, ia menepuk bahu Rez pelan. “Thanks, Bro. Sahabat paling visioner se-Indonesia.”
Rez hanya mengangkat alis, santai. “Mereka Cuma butuh... ruang tertutup. Biar bisa ngobrol beneran, nggak lari-larian terus.”
Gery menyelipkan kunci ke saku celananya. “Sepakat. Dan kalau bisa sekalian... runtuhin sekat yang terlalu dijaga itu.”
Lalu mereka berdua mundur perlahan, meninggalkan pasangan baru itu di balik pintu yang kini... tak bisa dibuka sembarangan.
°°°°
Xion kembali mencoba memutar gagang pintu.
Tak berhasil. Ia mengernyit. “Aneh... padahal tadi nggak kekunci.”
Tiny bangkit dari tempat tidur, menghampiri pelan. Ia mencoba sendiri—tetap terkunci. “Kamu yakin nggak ngunci tadi?” tanya Tiny, mencoba menyembunyikan nada panik kecil.
Xion mengangguk. “Nggak. Tadi pintu sempat kebuka, kok. Ini kayak... dikunci dari luar.”
Keduanya terdiam.
Tiny menatap Xion. Xion menatap balik. Sama-sama bingung, tapi tak bisa menyalahkan siapa pun.
Tiny menghela napas. “Siapa sih yang iseng banget ngunci?” gumamnya, separuh kesal, separuh bingung.
Xion hanya mengangkat bahu, wajahnya datar tapi jelas kebingungan juga. “Nggak tahu. Mungkin... kakak-kakak kamu?”
Tiny memutar bola mata pelan. “Yaudah deh... daripada nungguin pintu terbuka sendiri, kamu tidur di kamar aja.”
Xion menoleh cepat. “Yakin nggak apa-apa?”
Tiny mengangguk, pelan tapi mantap. “Ya mau gimana lagi, pintunya kekunci. Masa kamu tidur berdiri?”
Xion terkekeh singkat, tapi masih tetap berwibawa. “Kalau perlu tidur di lantai juga nggak masalah, asal kamu nyaman.”
Tapi Tiny langsung menggeleng. “Jangan. Badan kamu bisa sakit. Di kasur aja. Gak apa-apa, gede kok.”
Xion terdiam sejenak. Ia tak menyangka gadis itu akan seizin itu. Jujur saja, ia pikir Tiny akan jaga jarak. Tapi ternyata... tidak.
Xion mengangguk. Ia memang sudah sangat letih. Perjalanan dari Jakarta subuh tadi membuat tubuhnya mulai terasa pegal. Tapi siapa sangka, niat datang untuk menghadiri akad iparnya justru berubah drastis. Pukul enam pagi ia masih sebagai tamu. Pukul sembilan, statusnya resmi jadi suami.
Sungguh... sebuah plot twist yang bahkan ia sendiri tidak siap menuliskannya di hidupnya.
Kasur cukup besar, tapi rasanya seperti terlalu sempit untuk dua orang yang baru menikah... dalam keadaan tanpa rencana.
Tiny duduk di tepi, menarik selimut pelan. Xion masih berdiri di sisi seberang, seolah menimbang—mulai dari sisi mana ia harus naik ke kasur tanpa membuat suasana makin canggung.
“Udah...” ucap Tiny, pelan. “Nggak usah terlalu kaku gitu amat,”
Xion mengangguk kecil. “Maaf. Refleks.”
Ia lalu naik perlahan ke sisi kanan kasur. Tak bersuara. Tak banyak gerak. Hanya diam—dan menarik napas pelan.
Tiny membaringkan tubuhnya, membelakangi Xion. Tatapannya menembus tembok, namun pikirannya mengambang.
Beberapa menit hening. Hanya suara jam dinding dan dengusan nafas tipis yang terdengar.
Xion berdehem pelan. “Kalau kamu risih, bilang aja ya. Aku bisa... geser ke ujung banget.”
Tiny menjawab tanpa menoleh. “Nggak risih, kok.”
Xion mengangguk lagi, matanya menatap langit-langit. Tapi pikirannya mulai mencari celah jawaban.
Lalu ia bertanya, pelan, “Kamu masih kuliah, kan?”
Tiny mengerutkan alis sedikit, meski masih membelakangi. “Masih.”
Ada jeda. Suara napas Xion terdengar lebih dalam.
Tiny melanjutkan dengan nada pelan, tapi serius, “Terus... kalau seandainya aku ikut kamu ke Jakarta... kuliah aku gimana?”
Xion diam sesaat. Lalu ia bergumam, “Itu juga yang aku pikirin.”
Tiny membalikkan badan, menghadap Xion. Tak terlalu dekat, tapi cukup membuat percakapan terasa lebih nyata.
Xion menatapnya sebentar, lalu berkata, “Aku udah sempat mikir kemungkinan itu. Kalau kamu ikut, paling nggak... kamu bisa ajukan pindah ke universitas yang satu jaringan sama kampus kamu sekarang. Biasanya bisa kok, tinggal transfer SKS dan adaptasi bentar.”
Tiny mendengarkan dalam diam.
Xion melanjutkan, “Kalau kamu tetap mau di kampus yang sekarang... ya berarti kita LDR dulu.”
Tiny mendesah. “Tapi kita baru nikah. LDR kesannya... aneh.”
Xion tersenyum samar. “Kita nikahnya juga aneh.”
Tiny nyaris tertawa. Tapi ia tahan. “Iya juga.”
Suasana kembali senyap sesaat. Lalu Xion, dengan suara pelan dan jujur, berkata,
“Yang penting... kamu jangan merasa terpaksa ikut. Aku nggak akan bilang ‘ikut aja biar enak’. Tapi... kalau kamu ikut, aku pastiin kamu tetap bisa lanjut kuliah. Bahkan kalau perlu, aku bantu urus administrasi kamu pindah ke kampus aku ngajar.”
Tiny menatap mata pria itu. Lama. Lalu mengangguk kecil. “Aku pikirin lagi malam ini... besok aku jawab.”
Xion mengangguk. “Oke. Aku tunggu.”
Tiny kembali membalikkan badan, membelakangi Xion lagi.