NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:400
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 — Pintu Air Terbuka

Malam itu mencapai puncaknya di Lapangan Waringin. Hujan turun seperti hujan batu, setiap tetesan menghantam tanah dengan kekuatan yang mengerikan. Angin berputar di atas Sumur Tua, menciptakan pusaran yang terasa seperti napas raksasa yang dingin.

Rendra dan Dimas tiba di tepi Sumur Tua. Batu penutup sumur telah bergeser sepenuhnya, menyisakan lubang gelap yang menganga. Dari kegelapan itu, uap dingin menyembur keluar, membawa aroma lumpur dan besi yang memabukkan.

Dimas jatuh kejang di lumpur, berteriak kesakitan.

“Dia mau keluar! Dia mau keluar!”

Dari dalam lubang, tangan-tangan pucat muncul—tangan-tangan yang tampak terbuat dari lumpur dan akar—mencengkeram tepi batu, menarik diri keluar. Manifestasi fisik Yang Basah sedang berusaha membebaskan dirinya, didorong oleh amarah dan darah yang tumpah di Balai Desa.

Rendra mengabaikan horor di depannya. Ia mencengkeram sekop lipatnya. Ia harus mendengarkan pengakuan terakhir Pak Darmo dan petunjuk dari Dimas.

“Di mana, Dimas? Di mana peti matinya?” teriak Rendra di tengah badai, menahan guncangan tubuh Dimas.

Dimas menunjuk ke tanah, tepat di samping Sumur Tua, di mana batu penutup besar itu biasa berdiam.

“Di sini! Tepat di bawah batu itu! Ayahku bilang… dia harus istirahat… di tempat yang suci…”

Rendra tidak membuang waktu. Ia harus bekerja cepat sebelum Manifestasi itu berhasil keluar, atau sebelum massa yang dipimpin Sanusi kembali.

Ia mulai menggali. Lumpur di sana terasa lebih keras, lebih dingin, dan baunya sangat kental. Rendra menggali dengan panik, lumpur merah dan air hujan memerciki wajahnya. Ia menggali ke dalam kegelapan, didampingi oleh jeritan Dimas dan suara desisan air dari Sumur Tua.

Sekopnya menghantam sesuatu yang keras.

Rendra mendorong lumpur ke samping, dan di bawah lapisan tanah yang tebal, ia melihat kayu.

Peti kayu kecil.

Peti mati yang dibuat Ayah Dimas. Peti yang menampung tubuh Laras, Gadis Tumbal yang dinodai.

Rendra melempar sekopnya, berlutut, dan mulai membersihkan lumpur yang menutupi peti itu. Kayunya sudah lapuk, tetapi ukirannya masih terlihat, dilindungi oleh tanah.

Ia mengeluarkan kunci kuningan yang ia temukan di kotak Rani. Kunci yang ia gunakan untuk membuka batu penutup Sumur Tua.

Tangan Rendra gemetar. Kunci itu berkarat, tetapi pas di lubang kunci peti mati. Ia memutar kunci itu.

KLIK!

Kunci peti mati itu terbuka.

Rendra menoleh ke Dimas. Anak itu kini diam, kejangnya berhenti. Ia hanya menatap peti itu dengan mata basah.

Rendra melihat ke Sumur Tua. Manifestasi lumpur dan air telah menarik sebagian besar tubuhnya keluar. Bagian atas tubuhnya kini mencengkeram tepi batu, lehernya memanjang dan basah, dan ia mengeluarkan suara gemericik yang memuakkan.

“Kembalikan… kebenaran… air… minum… darahku!” raung Manifestasi itu, suaranya bercampur dengan jeritan Laras.

Rendra tahu, ia tidak punya waktu lagi. Ia harus menyelesaikan ritual ini.

Ia membuka peti mati itu.

Di dalamnya, terbaring sesosok tubuh. Tubuh seorang gadis muda, dibungkus kain putih yang kini telah berubah menjadi kain basah berwarna cokelat gelap, menyatu dengan lumpur. Tubuhnya utuh, namun terlihat rapuh, dingin, dan basah.

Rendra teringat peringatan Pak Darmo: “Jangan lihat wajahnya.”

Rendra tidak melihat wajah gadis itu. Ia hanya melihat kain yang membungkusnya. Kain itu kotor, di bagian bawahnya terdapat noda gelap yang jelas—noda dari penodaan itu.

Ia harus mencuci noda ini. Ia harus mengembalikan kesucian Laras.

Rendra mengeluarkan tas kamera Ayahnya. Ia merogoh ke dalam dan mengeluarkan dua roll film tua. Film yang Ayahnya sembunyikan selama tiga puluh tahun. Film yang memuat wajah pelaku penodaan itu.

Rendra kemudian meraih tubuh Laras. Tubuhnya terasa ringan dan dingin, seperti memegang kain basah yang berat.

“Dimas, bantu aku!”

Dimas, dengan kekuatan yang tiba-tiba, membantu Rendra mengangkat peti mati itu, membawa tubuh Laras yang rapuh dan terkubur.

Mereka membawa peti itu ke tepi lubang Sumur Tua yang menganga.

Rendra melihat ke Manifestasi di tepi sumur. Wajahnya yang tidak berbentuk kini bergerak, seolah-olah mata lumpur itu melihat film di tangan Rendra.

Manifestasi itu mengulurkan tangan lumpurnya ke Rendra.

“Berikan… buktinya… aku akan istirahat… berikan!”

Rendra memegang film Ayahnya di satu tangan, dan Dimas mencengkeram peti mati di tangan yang lain.

“Aku akan berikan buktinya!” teriak Rendra, suaranya parau. “Tapi kau harus berjanji, Rani akan bebas! Dan kau akan menghentikan hujan ini!”

Manifestasi itu tertawa. Tawa yang terdengar seperti air yang mendidih.

“Rani… sudah jadi bagian dariku! Hujan… hanya akan berhenti jika semua berbohong sudah dicuci!”

Rendra tahu, Manifestasi itu tidak akan menepati janji. Tapi ia harus bertaruh.

Ia melempar satu roll film ke dalam Sumur Tua.

Film itu jatuh, menghilang ke dalam air yang bergejolak. Seketika, Manifestasi itu tersentak. Seluruh tubuh lumpurnya bergetar, dan ia menjerit kesakitan dan kenikmatan.

“Ya… kebenaran… tunjukkan… wajahnya!”

Rendra kemudian mengambil keputusan terakhirnya. Ia tahu, kebenaran harus dicuci oleh air suci.

Ia meraih roll film kedua—film yang berisi foto penodaan Laras dan wajah pelaku—dan ia mencelupkannya ke dalam air keruh Sumur Tua.

Saat film itu menyentuh air, Manifestasi itu meraung. Raungan itu adalah kombinasi dari air terjun yang runtuh dan tangisan yang tak terhingga. Manifestasi itu runtuh, kembali ke dalam Sumur Tua dengan bunyi “BLARGH!” yang memekakkan telinga.

Sumur Tua bergejolak hebat, uapnya menyembur, dan Dimas, di samping Rendra, menjerit histeris.

Rendra mencengkeram roll film yang basah. Bukti itu kini tercuci, siap dicetak, tetapi ia harus menyelesaikan ritualnya.

Ia dan Dimas mendorong peti mati Laras ke tepi sumur. Mereka membanting peti itu ke dalam lubang.

BRUK!

Peti mati itu menghilang ke dalam air yang berputar.

Saat peti itu menyentuh air di dasar sumur, Sumur Tua tiba-tiba menjadi hening. Air yang bergejolak menjadi tenang. Uap dingin menghilang. Jeritan Laras lenyap.

Keheningan total menyelimuti Lapangan Waringin. Hanya ada suara hujan batu yang masih turun, tetapi kini, warnanya kembali menjadi kelabu pucat—bukan merah darah.

Hujan masih turun, tetapi amarahnya telah mereda.

Rendra berdiri di tepi sumur, terengah-engah. Ia berhasil.

Dimas, di sampingnya, tiba-tiba kejang hebat, lalu jatuh lemas. Kuku hitamnya perlahan-lahan kembali ke warna kulitnya yang pucat. Ia tertidur, damai, namun basah kuyup.

Rendra membungkuk, mengambil Dimas, dan memeluknya.

Saat ia melihat ke dalam Sumur Tua yang tenang, di permukaan air yang gelap, ia melihat pantulan.

Bukan lagi pantulan wajah Laras yang marah. Hanya pantulan air.

Lalu, di tengah air yang tenang itu, ia melihat refleksi adiknya, Rani.

Rani tersenyum, senyum yang nyata, damai, dan penuh air mata. Matanya tidak lagi gelap. Ia mengangguk pada Rendra.

“Selamat datang di bawah hujan, Mas.”

Bisikan Rani terdengar, tetapi kali ini, bisikan itu lembut, penuh rasa syukur.

Rendra merasa lega, air mata bercampur dengan hujan. Ia berhasil menyelamatkan jiwa adiknya.

Namun, ia merasa lumpuh. Kakinya terasa lemas. Ia menyadari ia terlalu lama berada di luar. Rendra mulai kehilangan kesadaran, kelelahan, dan dingin yang luar biasa menyerangnya.

Ia terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan di tepi Sumur Tua. Ia melepaskan pegangannya pada Dimas, yang terbaring lemas.

Rendra jatuh.

Pandangannya gelap. Hanya suara air yang menelannya, dan bisikan Rani yang terakhir.

“Selamat datang di bawah hujan, Mas. Sekarang giliranmu untuk membuktikan kebenaman Ayah.”

Rendra tenggelam ke dalam air dingin, film Ayahnya tergenggam erat di tangan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!