Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Edward turun dari lantai dua dengan setelan santai, kemeja hitamnya sedikit terbuka di bagian dada. Ia menatap sekeliling mencari seseorang yang sejak tadi mengisi pikirannya, Ara.
Begitu sampai di ruang makan, ia melihat Ara sedang duduk di kursi panjang, membaca buku resep tua yang sepertinya sudah usang.
Rambut hitamnya digelung sederhana, wajahnya polos tanpa riasan, tapi entah kenapa Edward merasa pemandangan itu begitu, menenagkan.
“Apa yang kau masak hari ini?” tanya Edward tiba-tiba dengan suara datar tapi cukup membuat Ara kaget.
Ara menepuk dahinya, lalu bangkit dengan terburu-buru.
“Astaga! Aku lupa memanaskan makanan semalam.” Ia langsung berlari kecil ke dapur. “Aku sempat memasak banyak, tapi karena kau tidak pulang, aku menyimpannya di kulkas.”
Edward mengikuti dari jauh, bersandar di ambang pintu dapur dengan kedua tangan di saku. Ia memperhatikan cara Ara bergerak ceroboh tapi lincah, panik tapi tetap terlihat manis.
Sial! Sepertinya aku sudah tidak waras! Aku bilang dia manis?
“Tidak usah dipanaskan,” ucapnya santai.
Ara berhenti, menoleh dengan kening berkerut. “Kenapa? Aku sudah menyiapkannya dengan susah payah, kau bahkan belum mencicipinya.”
Edward berjalan mendekat. “Hari ini aku ingin makan di luar. Kau ikut.”
Ara mengerjap. “Makan di luar? Kau?” tanyanya terdengar tak percaya. “Biasanya kau paling malas keluar rumah.”
Edward hanya menatap tanpa menjawab, ekspresinya sulit ditebak.
“Pergilah bersiap. Dan jangan lama.”
Ara mengangguk patuh dan melangkah menuju kamar. Namun sebelum ia sempat menutup pintu, suara Edward terdengar lagi.
“Malam ini kau harus cantik.”
Ara menoleh dengan wajah bingung. “Apa maksudmu?”
Edward mendekat dua langkah, menatapnya datar.
“Aku bosan melihatmu memakai gaun kuno itu. Pakaianmu seperti nenek-nenek dari abad lalu,” ejeknya.
Ara spontan cemberut. “Aku suka bajuku. Itu nyaman, dan—”
“Bobby!” panggil Edward tanpa mendengarkan protesnya.
Bobby muncul tergesa dari lorong. “Ya, Tuan?”
“Pergi ke butik langgananku. Belikan beberapa gaun untuk Ara. Pilih yang sesuai dengan usianya.” Edward berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Ara yang menatapnya tajam. “Dan panggil penata rias ke sini. Aku ingin dia terlihat rapi malam ini.”
Ara hanya bisa menatap suaminya dengan ekspresi campur aduk antara jengkel dan bingung.
“Kau ini kenapa sih? Tidak perlu sampai begitu.”
Edward menatapnya dingin. “Itu bukan permintaan. Itu perintah.”
**
Beberapa jam kemudian, suasana kamar berubah menjadi ramai. Para penata rias keluar masuk membawa alat make-up, catokan rambut, dan beberapa kotak besar berisi gaun elegan.
Ara duduk di depan cermin besar, sedikit gelisah melihat pantulannya sendiri.
Rambutnya yang biasanya dibiarkan tergerai kini ditata rapi, sebagian diikat ke belakang dengan hiasan perak kecil. Kulitnya yang pucat tampak bersinar setelah dipoles lembut dengan make-up tipis.
Gaun berwarna biru muda membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan keanggunan yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Ketika semuanya selesai, Ara berdiri di depan cermin, nyaris tak mengenali dirinya sendiri.
“Cantik sekali…” gumam salah satu penata rias dengan kagum.
Ara tersenyum kecil, pipinya memerah. “Kalian sungguh pandai,” katanya malu-malu.
Begitu ia melangkah keluar kamar, Edward yang sedang menunggu di ruang tamu menoleh. Pandangannya terpaku.
Untuk sesaat, napasnya tertahan. Ara berdiri di depan tangga seperti seorang putri dari negeri dongeng. Mata lembutnya, kulit yang berkilau, dan senyum kecil di bibirnya membuat waktu seolah berhenti.
Dan, tentu saja Edward tidak akan mengakuinya. Ia segera menegakkan tubuhnya, menahan ekspresi terpesona yang sempat muncul.
Ara berjalan mendekat dengan langkah hati-hati.
“Bagaimana penampilanku?” tanyanya dengan suara lembutnya memecah lamunan Edward.
Edward mengalihkan pandangan, lalu memasukkan kedua tangan ke saku celananya. “Jelek!”
Ara terdiam, alisnya terangkat. “Apa?”
“Memakai apapun kau tetap jelek.” Ia berkata dengan wajah datar, meskipun jantungnya berdebar tak karuan.
Ara mendengus kesal, bibirnya mengerucut ke depan.
“Kalau begitu, aku akan ganti baju saja.” Ia berbalik hendak naik ke kamar, tapi Edward lebih dulu menahan pergelangan tangannya.
“Tidak usah,” ucapnya dingin. “Gaun itu sudah kubayar mahal. Kalau kau bosan, buang saja. Tapi malam ini, aku ingin kau memakainya.”
Ara menatapnya tak percaya. “Kau ini benar-benar aneh. Barang semahal ini tidak seharusnya dibuang begitu saja!”
Edward menatapnya lama, seolah menilai sesuatu yang tak ia katakan.
“Kau memang berbeda,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Ara mengerjap. “Apa kau bilang sesuatu?”
Edward berpaling cepat, wajahnya kembali dingin. “Cepat, kita berangkat. Aku tidak suka menunggu.”
Ara tersenyum kecil, mengikuti langkahnya dengan hati berdebar. Meski kata-kata Edward kasar, ada sesuatu dalam tatapannya tadi.
Sesuatu yang lembut, hangat, dan nyaris seperti sedang memujinya.
Sementara itu, Edward berjalan di depan dengan rahang mengeras. Ia sendiri heran mengapa wajah Ara terus menari di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
“Wanita itu…” gumamnya pelan, sambil membuka pintu mobil untuknya. “Benar-benar bencana besar.”
Dalam hati kecilnya, Edward tahu, untuk pertama kalinya, ia tak keberatan dibuat kesulitan oleh istrinya sendiri.
“Ingat Ed, Julia menunggumu!” gumamnya.
pernah lihat film ga Thor
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul