Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Keesokan harinya dokter sudah memperbolehkan Karan untuk membawa Helena pulang.
"Lebih baik, pasien dirawat di rumah. Ini perban, obat dan vitamin untuk pasien. Untuk sementara waktu jangan mandi dulu." pinta dokter.
Karan menganggukkan kepalanya dan setelah itu ia membopong tubuh istrinya untuk ia bawa pulang.
"Masih ngantuk?" tanya Karan.
Helena menganggukkan kepalanya dan ia kembali memejamkan matanya dipelukan Karan.
Dion membukakan pintu mobil dan Karan membungkukkan badan, membaringkan Helena perlahan di kursi belakang dengan penuh hati-hati.
“Terima kasih, Mas. Sudah nggak marah sama aku lagi.”
“Jangan banyak bicara dulu. Istirahat saja. Aku janji, mulai sekarang aku cuma akan jaga kamu.”
Dion melirik dari kaca spion dan ia bisa tersenyum tipis melihat kemesraan mereka berdua.
"Mas, apakah Firdaus tidak pernah mengatakan kalau aku Helena teman masa kecil kamu?" tanya Helena.
"Tidak pernah, Hel. Firdaus tidak pernah sekalipun menyebutmu sebagai teman masa kecilku. Dia selalu membuatmu tampak asing bagiku.”
Helena menunduk, menggenggam kalung manik-manik yang masih menggantung di lehernya.
“Padahal aku menunggu hari itu, Mas. Hari di mana kamu ingat janji kecil kita. Tapi saat kita menikah, aku bahkan merasa seperti orang asing di rumah sendiri.”
Karan yang mendengarnya langsung memeluk tubuh istrinya di dalam mobil.
"Lalu, bagaimana dengan kamu yang akan menikah dengan Firdaus? Kenapa kamu tidak menghubungiku?" tanya Karan.
Helena menatap wajah suaminya dan air matanya mengalir.
"A-aku tidak bisa menghubungi kamu, Mas. Firdaus mengancamku akan membunuh kamu. A-aku nggak bisa melihat lelaki yang aku cintai, disakiti karena aku." jawab Helena.
Karan menundukkan kepalanya dan air matanya jatuh ke punggung tangan Helena yang masih digenggam erat.
“Ya Tuhan, Hel, aku bahkan menyiksa kamu, padahal selama ini kamu hanya berusaha melindungiku dari Firdaus.”
Helena tersenyum tipis meski air matanya mengalir.
“Aku cuma ingin kamu selamat, Mas. Walaupun kamu benci aku, walaupun kamu sakiti aku, setidaknya kamu masih hidup. Itu sudah cukup buatku.”
Karan menghela napas panjang, menatap jalanan yang dilalui mobil dari balik kaca depan.
Sinar matahari pagi menyelinap melalui awan tipis, seolah memberi harapan kecil di balik malam yang baru saja mereka lalui.
“Aku janji, Hel. Mulai sekarang aku akan lindungi kamu. Aku akan cari tahu siapa sebenarnya Firdaus dan siapa yang berada di belakang semua ini.”
Tak berselang lama mereka telah sampai di rumah.
Dion membukakan pintu mobil dan Karan kembali membopong tubuh Helena yang tertidur pulas.
Bi Fia membuka pintu kamar Karan yang dimana ia sudah menyiapkan beberapa bantal dan selimut untuk Helena.
Karan membaringkan Helena dengan hati-hati di atas ranjang. Wajah istrinya tampak pucat, tapi damai dalam tidurnya.
Bi Fia menaruh segelas air dan obat di nakas, lalu pamit keluar.
Karan mengangguk, lalu duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Helena.
Tiba-tiba Helena menggeliat pelan, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Bibirnya bergetar, suara lirih keluar di antara igauannya.
“Karan, jangan pergi, jangan tinggalkan aku…”
Air mata menetes dari sudut matanya, membasahi bantal putih di bawah kepala.
Karan langsung terkejut dan segera meraih tangan Helena, menggenggam erat seolah ingin menyalurkan kekuatannya.
“Shhh… aku di sini, Hel. Aku nggak akan ke mana-mana. Dengar suaraku, sayang, aku janji, aku akan selalu ada buat kamu,” bisiknya lembut.
Helena menggeliat lagi, dadanya naik-turun tak beraturan.
Air matanya terus menetes, seolah hatinya masih disiksa oleh mimpi buruk yang menempel begitu dalam.
Karan menunduk, mengecup punggung tangan Helena dengan gemetar.
“Maafkan aku Hel, atas apa yang sudah kulakukan. Mulai sekarang biar aku yang menanggung semuanya. Kamu nggak sendiri lagi, Hel.”
Perlahan-lahan tarikan napas Helena mulai tenang.
Jemarinya yang kurus menggenggam balik tangan Karan dalam tidurnya.
Tok… tok… tok…
Karan yang masih duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang tertidur, menoleh cepat. Ia berdiri, membuka pintu kamar, mendapati Dion dengan wajah tegang.
“Ada apa, Dion?” suara Karan terdengar rendah, penuh kewaspadaan.
Dion menelan ludah, lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat lusuh.
“Tuan, saya rasa anda harus melihat sendiri isi amplop ini,"
Karan meraih amplop itu dan langsung membukanya.
Beberapa lembar foto jatuh ke lantai dimana foto-foto Helena dengan kondisi tak senonoh, wajahnya pucat dan ia menatap seseorang yang sedang memotretnya.
Karan menunduk, matanya membesar saat menatap foto-foto yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar ketika mengambil salah satunya.
Helena tampak dalam kondisi tak berdaya, duduk di kursi dengan tangan terikat.
Cahaya lampu redup menyorot wajahnya yang penuh ketakutan.
Karan mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
“Siapa yang berani melakukan ini pada Helena?!”
“Amplop ini saya temukan di depan gerbang, Tuan. Tidak ada nama pengirim. Tapi saya yakin, ini peringatan. Atau mungkin jebakan.” jawab Dion sambil menundukkan kepalanya.
Karan mendengus keras, melempar foto ke meja makan.
“Firdaus. Hanya dia yang bisa sekejam ini.” ujar Karan dengan wajah penuh emosi.
Helena membuka matanya perlahan, napasnya masih berat.
Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat Karan berdiri di dekat meja, wajahnya menegang.
Tatapannya lalu jatuh pada beberapa foto yang berserakan di lantai.
Begitu jelas, wajah dirinya sendiri diikat, pucat, tak berdaya.
“Ya Tuhan.”
Helena mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya.
"M-mas, jangan lihat foto itu."
Karan melihat istrinya yang berjalan sempoyongan.
"Hel, jangan bangkit dari tempat tidur. Kamu harus istirahat."
Helena menggelengkan kepalanya dan merobek foto-fotonya.
Helena merobek foto-foto itu dengan gemetar, air matanya mengalir deras.
“Aku nggak mau kamu lihat ini, Mas. Jangan sampai kamu percaya kalau aku.”
Karan segera meraih kedua tangan Helena, menghentikan gerakannya.
“Helena, berhenti! Aku nggak peduli dengan foto-foto ini. Aku cuma peduli sama kamu. Dengarkan aku! Aku percaya sama kamu.”
Helena menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar menahan tangis.
“Tapi kalau orang lain melihatnya, mereka akan berpikir aku...”
“Tidak ada yang akan menyentuhmu lagi. Tidak ada yang berhak menghinamu. Aku janji, Hel, siapa pun yang ada di balik semua ini akan aku habisi.”
Helena menangis sesenggukan saat mendengar perkataan dari suaminya.
Karan kembali membopong tubuh istrinya dan membawanya ke atas tempat tidur.
Bi Fia membawa nampan berisi bubur dan susu kedelai.
"Terima kasih, Bi." ucap Karan.
"Nyonya Helena, semoga anda lekas sembuh."
Helena menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih kepada Bi Fia.
Helena sudah kembali berbaring, meski tubuhnya masih bergetar. Karan duduk di sisi ranjang, memegang tangannya erat.
“Hel, mulai sekarang kamu jangan takut. Aku nggak akan biarkan siapa pun menyentuhmu lagi. Kalau ini ulah Firdaus, aku akan pastikan dia sendiri yang menyesal.”
“Mas, janji sama aku. Jangan sampai dia tarik kamu masuk ke dalam permainannya.”
Karan mengangguk, tapi dalam hatinya api amarah sudah menyala.
Ia mengambil mangkuk bubur dan menyuapi Helena.