Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kutukan atau anugrah?
Suasana kantin siang itu ramai, suara sendok garpu beradu dengan obrolan para karyawan. Audy, Nadine, dan Clara sudah duduk di pojok favorit dekat jendela, masing-masing membawa nampan berisi makanan.
Audy menatap mie ayam di depannya tanpa selera, lalu meletakkan sendok dengan dramatis.
“Aku punya kabar buruk.”
Clara langsung mencondongkan badan. “Kau dipecat?”
“Tidak,” jawab Audy cepat.
Nadine ikut menebak. “Apa kau disuruh push-up seratus kali?”
“Bukan juga.”
Clara makin kepo. “Atau… tadi Pak Aldrich melamarmu di ruang rapat?”
Audy melotot. “Clara! Serius sedikit, bisa tidak?”
Nadine dan Clara menahan tawa. “Lalu apa? Kau membuat kami penasaran,” desak Nadine.
Audy menarik napas panjang. “Aku… dinaikkan jabatan.”
Hening sepersekian detik. Lalu—
“Apa?!” Nadine dan Clara hampir menjatuhkan sendok mereka bersamaan.
Audy mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Iya, aku sendiri masih syok. Katanya aku pindah ke divisi strategis.”
Clara langsung memukul pelan meja. “Divisi strategis? Audy, itu level atas! Staff baru mana ada yang langsung lompat ke sana?!”
Nadine menggeleng tak percaya. “Aku sudah kerja di sini tiga tahun, baru juga dapat kesempatan ikut rapat kecil. Kau? Satu minggu pun belum ada, langsung naik jabatan? Tuhan, ini apa kutukan atau anugerah?”
Audy menutupi wajah dengan kedua tangan. “Aku juga bingung! Aku sudah bilang tidak mau, aku masih nyaman bersama kalian. Tapi si Pak Aldrich itu… ya ampun, dia seperti hakim dalam acara sidang kilat. ‘Kau naik jabatan. Titik.’ Mana bisa aku menolak?”
Clara sudah setengah berdiri di kursinya, tangannya mengepal. “Audy, kau sadar tidak? Itu mimpi semua staff di sini. Jika kabar ini menyebar, siap-siap saja kau jadi pusat gosip.”
Audy menunduk, wajahnya panik. “Astaga, jangan bilang-bilang pada orang lain. Aku tidak mau jadi headline di grup WhatsApp kantor.”
Nadine mengunyah ayam gorengnya dengan wajah masam. “Hidup memang tidak adil. Aku dulu lembur sampai mata panda, tetap saja nasibku mentok di sini. Kau? Baru masuk, langsung diseret ke level bos.”
Clara menyikut Nadine. “Sudahlah, Nad. Anggap saja kita punya ‘orang dalam’. Jika Audy naik, kita bisa nebeng ikut naik, kan?”
Audy memukul jidatnya sendiri. “Kalian serius sekali. Aku malah takut, kalau ternyata ini hanya jebakan. Bisa jadi bos menyebalkan itu masih dendam gara-gara aku menabraknya di lobi.”
Nadine dan Clara terbahak. Clara menambahkan, “Audyku yang galak nan menggemaskan, kalau pun ini jebakan, paling parah juga kau dijadikan asisten pribadinya. Siapa tahu, kau akan dapat fasilitas makan siang gratis setap hari.”
Audy menatap mereka dengan wajah putus asa. “Kalian berdua sungguh tidak menolong.”
Nadine menepuk bahu Audy sambil nyengir. “Tenang saja, Audy. Apapun jabatanmu nanti, bagi kita kau tetap… si galak polos yang hobinya mengomel.”
Mereka bertiga pun tertawa bersama, meski di kepala Audy masih penuh tanda tanya.
_____
Pukul tujuh malam, suara mobil yang familiar berhenti di halaman depan. Audy yang sejak setengah jam lalu mondar-mandir di ruang TV langsung berdiri sigap begitu mendengar derap langkah dari sepatu kulit sang ayah. Ia berlari kecil ke arah pintu utama, matanya berbinar seperti anak kecil yang menanti hadiah.
“Daddy!” serunya begitu antusias. Begitu sang ayah masuk, Audy langsung melingkarkan tangannya ke tubuh daddy-nya, memeluk erat tanpa malu-malu.
Pria itu terkekeh kecil, mengusap puncak kepala putri semata wayangnya.
“Kenapa, hm? Kau heboh sekali menyambut Daddy pulang, seperti tidak bertemu saty bulan.”
Audy melepas pelukan, lalu buru-buru menggiring sang ayah ke ruang TV.
“Pokoknya Daddy harus duduk di sini dulu, aku sudah siapkan sesuatu.”
Di meja sudah tertata rapi: makanan kesukaan sang ayah—sate kambing dengan bumbu kacang kental, lengkap dengan acar segar, serta es teh manis dingin. Aromanya memenuhi ruangan.
Daddy mengangkat alisnya, separuh kaget, separuh geli.
“Apa-apaan ini? Kau berbuat salah? Lalu menyogok Daddy dengan makanan favorit?”
“Bukan!” Audy tertawa, pipinya memerah. Ia duduk di samping, lalu mulai bercerita dengan semangat. Tentang bagaimana dirinya tiba-tiba ditarik ikut rapat eksternal pagi tadi, bagaimana Aldrich melempar pertanyaan super berat, bagaimana ia menjawab dengan percaya diri, hingga semua orang terperangah ketika ia melanjutkan presentasi.
Sang ayah mendengarkan sambil sesekali mengangguk, matanya tajam tapi senyumnya hangat. Ia bangga, meski berusaha tidak menunjukkannya terlalu terang.
“Dan—dan—” Audy menekankan, suaranya meninggi, “akhirnya aku… naik jabatan, Daddy. Aku dipilih langsung oleh bos yang super galak itu!”
Pria itu terdiam sejenak, lalu menaruh sendok yang sudah ia pegang. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya jelas berbinar bangga.
“Naik jabatan, hm? Cepat juga. Baru beberapa hari kerja, sudah membuat bos-mu angkat tangan.”
Audy menggigit bibir bawahnya, antara bangga dan malu.
“Tapi aku sempat menolak, Daddy. Aku bilang masih baru, masih butuh Nadine dan Clara. Tapi—yah, bosku tidak peduli. Dia tetap memutuskan aku harus naik.”
Sang ayah tertawa pelan, menepuk punggung putrinya.
“Ya jelas. Kau ini bukan anak sembarangan, Audy. Daddy tahu, suatu hari pasti kau tidak akan bbisa terus sembunyi di balik meja administrasi. Cepat atau lambat dunia akan melihat kemampuanmu sendiri.”
Audy mengembungkan pipi, pura-pura kesal.
“Daddy jangan bilang-bilang soal aku sembunyi, ya. Itu rahasia.”
“Tenang saja,” jawab sang ayah sambil menyendok sate, “Daddy hanya gemas. Tapi jika melihatmu bercerita seperti ini, Daddy senang sekali. Kau kerja keras, dan hasilnya terlihat. Itu lebih penting daripada siapa kau sebenarnya.”
Audy menunduk sebentar, lalu tersenyum lebar. Rasa lelah dan tegangnya rapat tadi seakan terbayar lunas hanya karena satu kalimat sederhana dari sang ayah.
.....
Aroma sate yang masih mengepul memenuhi ruang TV. Audy duduk bersila di karpet, sementara sang ayah tetap di sofa dengan piring di pangkuannya. Di meja rendah, sate, acar, lontong, dan es teh manis tersaji. Para pelayan sesekali masuk keluar, menambahkan piring kosong atau mengambil sisa tusuk sate, tapi suasana tetap santai dan hangat.
“Daddy, jangan lupa pakai sambalnya,” ujar Audy sambil mendorongkan mangkuk kecil ke arah ayahnya.
Pria itu menggeleng, menatap putrinya dengan wajah pura-pura serius.
“Daddy sudah cukup tua untuk tahu berapa level pedas yang bisa Daddy tahan.”
Audy cekikikan, lalu dengan jahil menyendokkan sambal banyak-banyak ke piring ayahnya.
“Coba saja dulu, Daddy. Agar tidak kalah denganku.”
Sang ayah menatapnya dengan ekspresi setengah jengkel, setengah geli. “Anak kurang ajar, mengajak Daddynya lomba pedas. Oke, Daddy terima tantangan ini.”
Ia menyuapkan potongan sate dengan sambal melimpah. Detik berikutnya wajahnya sedikit merah, tapi ia tetap mengangkat dagu sok gagah.
“Biasa saja.”
Audy tertawa keras, hampir tersedak lontong di mulutnya.
“Ya ampun, Daddy, wajahnya merah seperti kepiting rebus. Ngaku saja pedas!”
Pria itu mendengus sambil meraih es teh manis.
“Biarkan saja, yang penting Daddy tetap keren.”
Mereka berdua tertawa, lalu hening sebentar saat televisi menampilkan acara komedi favorit mereka. Audy mencondongkan tubuh, bersandar santai ke sofa ayahnya.
“Tau tidak, Daddy… jika sedang seperti ini, aku terkadang aku lupa kalau kita ini—ya, you know—Sinclair. Rasanya seperti keluarga biasa saja.”
Sang ayah mengusap kepala putrinya lembut, nada suaranya tenang.
“Karena memang kita keluarga biasa, Audy. Yang membedakan hanya, orang lain suka melihat kita dari sisi yang berbeda. Padahal di rumah, ya kita tetap sama—makan sate di ruang TV, rebutan sambal, nonton TV.”
Audy tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia lalu mengangkat tusuk sate terakhir di piringnya.
“Ya sudah, kita cheers pakai sate saja, Daddy. Selamat untuk aku yang naik jabatan.”
Pria itu menempelkan tusuk satenya ke sate Audy, seakan-akan itu gelas champagne.
“Selamat untukmu, yang selalu membuat Daddy bangga.”
Mereka berdua tergelak, melanjutkan makan malam tanpa formalitas, seolah dunia luar dengan segala kesibukan, bisnis, dan gengsi keluarga Sinclair tidak pernah ada.